Setelah sebelumnya kita bahas akan sulitnya berbuat ikhlas namun manfaat agung akan diraih bagi yang mampu mengikhlaskan niat dalam ibadah. maka pada tulisan kali ini kita akan membahas bentuk-bentuk ketidak ikhlasan hati atau ikhlas sudah tercampur
Imam Ghozali menyebutkan bentuk-bentuk ketidakikhlasan atau keikhlasan yang sudah tercampur dengan hal yang selainnya. Membaca hal tersebut menyebabkan hati berkeping-keping karena banyak orang terjerumus di dalamnya, perkara-perkara ini demikian samar dan orang yang melakukannya menyangka bahwa dia adalah termasuk orang-orang yang berbuat baik.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Sekarang kita akan membicarakan tentang orang yang melakukan ibadah dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah namun dorongan ini tercampuri dorongan lain semisal riya’ atau interes pribadi yang lain. Contohnya adalah:
1. Berpuasa dalam rangka mendapatkan berbagai pencegahan penyakit yang dihasilkan oleh puasa disamping bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2. Memerdekakan budak agar tidak lagi terbebani biaya untuk menghidupi budak tersebut dan terhindar dari perilakunya yang buruk.
3. Berhaji agar dikatakan pernah bepergian, terbebas dari marabahaya yang ada di negerinya, atau karena menghindar dari musuh yang ada di rumahnya, atau karena kesal dengan anak dan isterinya atau karena ingin beristirahat dari kesibukan yang menyita waktunya.
4. Memerangi musuh untuk mempraktekkan teori perang dan belajar cara-cara perang yang baik sehingga mampu dengan baik mengatur dan membentuk pasukan.
5. Shalat malam dengan tujuan untuk mengusir kantuk sehingga bisa mengawasi isterinya dan menjaga rumahnya.
6. Belajar ilmu agama agar mudah mendapatkan harta yang bisa mencukupi atau agar disegani di tengah-tengah masyarakat atau agar harta dan rumah yang ditempatinya terlindungi dari orang-orang yang memiliki maksud yang tidak baik dikarenakan kemuliaan ilmu.
7. Menyibukkan diri dengan mengisi pengajian dan memberikan nasehat agar punya kesempatan untuk bicara dan tidak tersiksa karena tidak ada kesempatan untuk berbicara.
8. Rajin melayani ulama dan para ahli ibadah agar mendapatkan penghormatan dari mereka dan dari masyarakat atau agar mendapatkan teman di dunia.
9. Menyalin mushaf Al-Quran dengan tulisan tangan untuk meningkatkan kualitas tulisan karena terbiasa menulis.
10. Berwudhu agar bersih atau segar.
11. Meriwayatkan hadits agar diketahui memiliki ilmu yang tinggi.
12. Berpuasa agar tidak sering masak atau agar bisa berkonsentrasi menangani pekerjaannya sehingga waktunya tidak tersita untuk makan.
13. Bersedekah kepada pengemis agar dia berhenti meminta-minta kepadanya.
14. Membezuk orang sakit agar jika sakit dibezuk.
15. Mengiringi jenazah agar ada orang yang mengiringi anggota keluarganya yang meninggal.
Atau melakukan hal-hal di atas agar dikenal dan disebut orang yang shaleh serta dipandang sebagai orang yang shaleh sehingga mendapatkan penghormatan. Jadi jika motivator untuk beramal adalah mendekatkan diri kepada Allah namun dilengkapi dengan lintasan-lintasan di atas sehingga mengerjakan amal terasa lebih ringan disebabkan hal ini maka amalnya telah keluar dari batasan ikhlas.
Ringkasnya seluruh kesenangan dunia yang disukai oleh hati dan jiwa baik sedikit ataupun banyak jika menyusup ke dalam suatu amal shaleh maka amal yang semula jernih berubah menjadi keruh dan sirna keikhlasannya. Namun manusia itu terikat dengan kesenangan dan tenggelam dalam syahwat sangat sulit membersihkan amal dan ibadah yang kita lakukan dari pamrih dan tujuan duniawi semisal di atas.
Karena itu ada orang yang bilang “Barangsiapa pernah sekejap mata dalam hidupnya bisa berbuat ikhlas karena semata mengharap wajah Allah maka dia telah selamat karena ikhlas adalah suatu hal sulit dan karena membersihkan hati dari hal-hal yang menodai keikhlasan adalah suatu hal yang tidak mudah (Ittihaf as Saadah al Muttaqin 13/93-95).
Termasuk salah satu bentuk keikhlasan yang ternodai adalah orang yang berusaha mati-matian agar bisa ikhlas dalam shalatnya. Namun demikian ada seseorang atau sekelompok orang masuk ke dalam masjid, lantas dia berkata dalam hatinya: Shalatlah dengan baik sehingga orang ini memandangmu dengan penuh penghormatan, menilaimu sebagai orang yang saleh, tidak meremehkanmu serta tidak menggunjingmu. Anggota tubuhnya lantas berubah menjadi tenang, tidak bergerak-gerak dan dia melaksanakan shalat dengan baik.
Ada pula bentuk yang lebih halus dan lebih tersamar dalam kaitannya dengan keikhlasan. Seorang yang melaksanakan shalat tanpa peduli dan memperhatikan setan dan waswasnya, akhirnya setan menggoda dengan cara yang lain. Setan mengatakan, “Engkau adalah orang yang diikuti dan diperhatikan banyak orang, serta dijadikan teladan. Semua yang kau lakukan diikuti orang lain dan dicerita-ceritakan. Engkau akan mendapatkan pahala orang yang mengikutimu jika engkau melaksanakan shalat dengan baik namun sebaliknya engkau akan mendapatkan dosa jika shalatmu tidak bagus. Oleh karena itu perbaguslah shalatmu di hadapan orang tersebut mudah-mudahan khusyu’ dan memperbagus ibadah yang kaulakukan akan diikutinya”. Ini merupakan tujuan yang terpuji namun jika orang tersebut ketika shalat sendirian tidak melaksanakannya dengan khusyu’ dan dengan bagus dan berbeda jika dilakukan di hadapan banyak orang maka hal ini termasuk was-was dan tipuan Iblis.
Adalagi bentuk yang lebih tersamar dariapda bentuk di atas. Orang yang mengerjakan shalat sebenarnya telah mengetahui bahwa ikhlas adalah manakala shalat yang dikerjakan sendirian itu sebagaimana ketika dilakukan di hadapan banyak orang. Orang tersebut malu terhadap dirinya sendiri dan kepada Allah jika di hadapan orang banyak dia lebih khusyu’ yang tidak biasa dia lakukan. Oleh karena itu, dia lalu melaksanakan sholat ketika seorang diri dan dia perbagus shalat yang dia kerjakan sebagaimana yang ingin dia kerjakan di hadapan banyak orang. Lalu dia kerjakan shalat di hadapan banyak orang seperti itu. Hal ini termasuk riya’ yang samar karena orang tersebut memperbagus shalatnya ketika sendirian agar ketika di hadapan banyak orang shalatnya tetap bagus. Jadi orang tersebut tidak membedakan antara shalat ketika sendirian dan ketika di hadapan banyak orang. Ketika seorang diri dan ketika di hadapan banyak orang, perhatiannya tertuju kepada makhluk. Padahal ikhlas adalah manakala shalat yang dikerjakan di hadapan hewan atau di hadapan orang itu sama saja. (Ittihaf Saadh al Muttaqin 13/107-110).
Ada lagi tingkatan riya’ yang lebih halus daripada kasus di atas. Setan berkata kepada orang yang mengerjakan shalat di hadapan banyak orang “Renungkanlah keagungan dan kebesaran Allah dan saat kau akan berdiri di hadapanNya. Merasalah malu manakala Allah memandang hatimu saat hatimu lalai dariNya”. Hati orang tersebut lantas menuruti nasehat ini dan seluruh anggota tubuhnya menjadi tenang. Orang tersebut mengira bahwa inilah ikhlas yang sebenarnya. Padahal ini merupakan makar dan tipuan yang sebenarnya. Karena andai kekhusyuan tersebut karena memandang keagungannya tentu kiat ini muncul ketika dia shalat sendirian.
Riya’ dengan bentuk ini mungkin tidak disadari oleh seseorang sehingga setan bisa mencuri keikhlasannya, Laa haula wala Quwata illa billah.
Sesungguhnya tidak akan selamat dari godaan setan kecuali orang yang memiliki pandangan yang jeli dan mendapatkan perlindungan, taufik dan hidayah-Nya, karena setan itu selalu menguntit orang yang hendak beribadah kepada Allah tanpa pernah silap darinya meski hanya sekejap mata sehingga setan berhasil menumbuhkan riya’ dalam seluruh gerak geriknya, sampai-sampai ketika mencelaki mata, menggunting kumis, memakai parfum pada hari Jum’at dan saat mengenakan pakaian.
Semoga Alah mudahkan kita untuk memurnikan dan membersihkan niat-niat baik kita dalam beribadah kepada Allah.
Referensi: Al ‘Ibadaat Al Qolbiyyah wa Atsaruha fi Hayatil Mu’minin ditulis oleh Dr. Muhammad bin Hasan bin ‘Uqail Musa Al-Syarif
Ditulis Oleh: Muhammad Fatwa Hamidan, B.A