Hati yang hidup dan sadar merupakan sebuah anugerah dari Allah. Sedangkan orang yang memiliki hati yang mati maka sebenarnya dia telah mati sebelum waktunya, karena hidupnya di dunia ini tidak mengandung arti dan nilai.
Diantara kiat-kita agar hati kita adalah hati yang hidup:
- Mengingat Allah.
Manfaat dzikir tidak lagi perlu diragukan lagi. Orang yang berdzikir adalah orang yang hatinya tidak rusak dan tidak mati. Nabi bersabda:
مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ مَثَلُ الحَيِّ وَ المَيِّتِ
Permisalan orang yang mengingat Allah dengan orang yang tidak mengingat Allah adalah sebagaimana orang yang hidup dengan orang yang mati. (HR Bukhari)
- Mengingat Kematian.
Orang yang mengingat kematian akan sedikit berangan-angan, giat beramal sehingga sedikit dosanya.
Al Imam al Hafizh Sa’id bin Jubair al Kufi (dibunuh oleh Hajjaj pada tahun 95 H) mengatakan: Andai hatiku tidak mengingat kematian, aku khawatir hatiku akan menjadi rusak. (Nuzhalul Fudhala’ 1/393-396)
- Berziarah Kubur.
Ziarah kubur merupakan sunnah nabi yang sudah ditinggalkan dan saat ini dilupakan oleh sebagian besar orang-orang shalih bahkan umat Islam secara umum. Padahal ziarah kubur termasuk sarana yang paling efektif agar hati kita hidup dan memiliki hubungan dengan Allah, dzat yang mengetahui hal-hal yang gaib. Oleh karena itu para ulama’ salaf berantusias tinggi untuk melaksanakannya.
Safwan bin Salim (wafat pada tahun 132 H dalam usia 72 tahun) pernah hendak mendatangi Baqi’. Hal ini diketahui oleh salah seorang yang shalih karena itu dia lantas membuntutinya sambil bergunam, “Aku hendak melihat apa yang dia lakukan? Sofwan lalu duduk di dekat sebuah kubur. Dia terus menangis hingga aku merasa kasihan kepadanya dan aku mengira bahwa kubur tersebut merupakan salah seorang anggota keluarganya. Suatu ketika yang lain, Sofwan melintas di dekatku. Aku puun lantas membuntutinya. Dia lalu duduk di dekat kubur yang lain. Di kubur inipun beliau menangis sebagaimana dahulu.
Hal ini kuceritakan kepada Muhammad al Munkadir(lahir 30-an H, wafat 130 H) “Aku kira kubur itu merupakan kubur salah satu sanak keluarganya”, komentarku. Kata Ibnu al Munkadir: “Semua penghuni kubur itu merupakan keluarga dan saudara-saudaranya. Karena beliau adalah orang yang tersentuh hatinya karena mengingat orang-orang yang telah meninggal. Hal ini beliau lakukan setiap kali hati beliau hendak mengeras. (Nuzhatul Fudhala’ 1/395-397).
- Mengunjungi orang-orang shaleh dan mengetahui amal yang mereka lakukan.
Hal ini merupakan suatu hal yang sangat bermanfaat. Jika tidak memungkinkan untuk dilakukan maka dengan mengunjungi orang-orang shaleh dan meminta izin kepada mereka melalui buku-buku yang menceritakan perjalanan hidup mereka, karena ini juga merupakan suatu hal yang sangat berfaedah.
Ja’far bin Sulaiman mengatakan “Setiap kali hatiku mulai mengeras, aku pergi pagi-pagi untuk menatap wajah Muhammad bin Wasi’ (Abu Bakr AL Azdi al Bashri, salah seorang tokoh tabi’in, wafat 123 H). Wajah Muhammad bin Wasi’ seperti orang yang baru saja ditinggal mati oleh sanak keluarganya (Nuzhatul Fudhala’ 1/526).
Salah satu kewajiban kita adalah selalu menjaga hati, jangan sampai terasuki was-was setan dan berbagai penyakit hati semisal riya’ dan syirik.
Abu Hafsh an Naisaburi (Amr bin Salam an Naisaburi, wafat 264 H) mengatakan, Kujaga hatiku selama 20 tahun akibatnya aku dijaga oleh hatiku selama 20 tahun (Nuzhatul Fudhala’ 2/513).
Referensi: Al ‘Ibadaat Al Qolbiyyah wa Atsaruha fi Hayatil Mu’minin ditulis oleh Dr. Muhammad bin Hasan bin ‘Uqail Musa Al-Syarif