Dalam hal ini, kami membahas ibadah-ibadah hati dengan panjang lebar karena ibadah hati merupakan pijakan amal shaleh seorang hamba. Jika ibadah hati seseorang baik maka amalnya akan menjadi baik dan akhlaknya menjadi bagus. Hanya kepada Allah, kita meminta agar diberi kekuatan untuk merealisasikan berbagai ibadah dan akhlak ini baik dengan ucapan ataupun perbuatan, saat ini maupun di waktu yang akan datang, sehingga kita bisa berbahagia di dunia dan di akhirat dan menempuh jalan orang-orang yang ikhlas beramal sehingga amal kita bisa diterima di sisi-Nya.
1. Ikhlas
Ikhlas merupakan ibadah hati yang paling mulia dan paling riskan. Karenanya terdapat berbagai ayat, hadis dan riwayat dari ulama’ salaf yang menjelaskan kelebihan ikhlas dan mengingatkan agar kita tidak menyepelekannya.
Pengertian Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas diambil dari kata-kata khalusho, yakhlushu, khulushan wa khalashan yang berarti selamat dan terbebas setelah dahulunya melekat pada sesuatu. Sedangkan mukhlish adalah orang yang mengesakan Allah. Sedangkan kholishon dan mukhlashon bermakna adalah orang yang Allah pilih, atau dengan kata lain adalah orang yang Allah jadikan pilihan dengan terbebas dari berbagai kotoran. Kalimat ikhlas bermakna kalimat tauhid. Ikhlas dalam ketaatan berarti tidak pamer (Lihat Lisanul Arab).
Sedangkan secara istilah terdapat berbagai definisi yang bagus dan menarik yang diberikan oleh para ulama’. Diantaranya adalah:
- Keadaan lahiriah sama dengan keadaan batiniah.
- Ikhlas adalah hanya mencari Allah sebagai saksi dan pembalas bagi amal kebaikan yang kita lakukan.
- Menyingkirkan pandangan makhluk dari amal perbuatan kita. (lihat Tahdzi Madarijis Salikin hal. 322)
Keikhlasan itu memiliki beberapa tingkat dan beberapa derajat, sebagian tingkat lebih tinggi daripada tingkat yang lain. Diantara tingkatan ikhlas adalah keadaan batin lebih baik daripada keadaan lahiriah. Keikhlasan bisa didapatkan dengan menyamakan keadaan lahiriah dengan keadaan batiniah. Tingkatan ikhlas yang paling tinggi didapatkan dengan menyempurnakan keadaan batiniah.
Ikhlas merupakan amal yang tidak diketahui oleh orang lain bahkan malaikat dan setan pun tidak mengetahuinya. Malaikat tidak bisa mencatat keikhlasan demikian pula setan tidak bisa merusak keikhlasan. Nabi bersabda:
يُؤْتَ يَوْمَ القِيَامَةِ بِصُحُفٍ مُخْتَمَةٍ فَتُنْصَبُ بَيْنَ يَدَيْ اللهِ تَعَالىَ فَيَقُوْلُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى : اَلْقُوْا هَذِهِ وَ اقْبَلُوْا هَذِهِ فَتَقُوْلُ المَلاَئِكَةُ: وَعِزَّتِكَ وَجَلاَلِكَ مَا رَأَيْنَا اِلَّا خَيْرُا فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ: إِنَّ هَذَا كَانَ لِغَيْرِ وَجْهِي وَأَنِّي لاَ أَقْبَلُ إِلاَّ مَا ابْتُغِىَ بِهِ وَجْهِي
Pada hari kiamat kelak, didatangkan lembaran-lembaran yang bersegel lalu diletakkan di hadapan Allah. Allah lantas berfirman, Buang lembaran ini dan terimalah lembaran itu. Para malaikat berkomentar: Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, kami tidak melihat melainkan kebaikan. Allah berfirman: Amal ini tidak karena wajahku (tidak ikhlas). Padahal aku hanya menerima amal yang ikhlas untukku (Al Hafizh al Mundziri mengatakan diriwayatkan oleh Bazar dan Thabrani melalui dua jalur periwayatan. Para rawi pada salah satu jalur adalah para rawi kitab shahih) (Targhib wa Tarhib 1/73).
Ayat-ayat al Quran yang berkenaan dengan keikhlasan banyak sekali, diantaranya adalah sebagai berikut:
وَ مَا أُمِِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan untuk-Nya (QS. al Bayyinah: 5).
فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّيْنَ. اَلآ ِللهِ الدِّيْنُ الخَالِصُ
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan untuk-Nya ketaatan. Ingatlah hanya milik Allah ketaatan yang murni (QS az Zumar: 2-3).
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمََلاٌ صَالِحٌا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan rabbnya maka hendaklah dia beramal shalih dan tidak menyekutukan dengan seorangpun ketika beribadah kepada rabbnya (QS al Kahfi: 110).
Dalam hadits qudsi ilahi, Allah berfirman:
اََنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاٌ اَشْرَكَ مَعِي فِيْهِ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ
Aku adalah dzat yang tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dengan menyekutukan diriku dengan yang lain dalam amal tersebut kubiarkan dirinya bersama sekutunya (HR. Muslim no.2985).
Dari Khaitsamah bin Abdir Rahman, beliau mengatakan Aku duduk bersama Abdullah bin Amr dan Abdullah bin ‘Umar. Ibnu Umar lantas berkata: Sungguh setan itu berjalan pada pembuluh darah manusia. Mendengar hal tersebut, Abdullah bin amr lalu menangis dan berkata Aku mendengar Rasulullah bersabda:
مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ بِعِمَلِهِ سَمَّعَ اللهُ بِهِ سَامِعَ خَلْقِهِ وَ صَغَّرَهُ وَ حَقَّرَهُ
Barangsiapa memperdengarkan amalnya kepada banyak orang maka Allah akan memperdengarkannya kepada seluruh makhluk, meremehkan dan merendahkannya. (HR Ahmad dan Thabarani. Para perawi yang terdapat pada salah satu jalur periwayatannya yang terdapat dalam Mu’jam Kabir karya Imam Thabrani adalah para perawi yang terdapat dalam kitab shahih. Hal ini dituturkan oleh Imam Haitsami dalam Majmuz Zawaid 10/225).
Para ulama’ salaf juga menghasung kita agar memiliki keikhlasan. Ar Rabi’ bin Khutsaim (salah seorang tokoh tabi’in, semasa dengan nabi namun tidak melihat beliau, wafat sebelum 65 H) mengatakan: “Rahasia adalah sesuatu yang tersembunyi di hadapan orang lain namun tampak jelas dalam pandangan Allah. Carilah obat penyembuhnya. Obatnya hanyalah doa kemudian tidak mengulangi lagi (Nuzhatul Fudhala’ 1/380).
Beliau juga mengatakan, “Segala sesuatu yang bukan karena Allah akan lenyap”. (Nuzhatul Fudhala’ 1/381).
Ikhlas itu sulit
Ikhlas adalah suatu hal yang berat, sulit didapatkan dan tidak dipahami oleh banyak orang. Oleh karena itu para ulama’ salaf berdoa kepada Allah agar diberikan keikhlasan. Semisal doa sayid Ali bin Husain bin Ali (salah satu tokoh para ahli beribadah, meninggal di Madinah tahun 94 H):
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ تُحْسِنَ فِي لَوَائِحِ العُيُوْنِ عَلاَنِيَتِيْ وَ تُقَبِّحَ فِي خَفِيَاتِ الْعُيُوْنِ سَرِيْرَتِيْ
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari memperbagus penampilan lahiriah pada saat dilihat banyak orang namun memiliki batin yang buruk saat tidak diketahui oleh orang lain. (Nuzhatul Fudhala’ 1/407).
Beliau berdoa agas bisa ikhlas karena ikhlas adalah suatu hal yang berat dan tidak ada orang yang bisa melakukannya kecuali orang yang sangat beruntung. “Keikhlasan tidak akan sempurna kecuali dengan ketulusan. Ketulusan tidak akan sempurna kecuali dengan keikhlasan. Keduanya tidak akan sempurna kecuali dengan kesabaran”. (Tahdzib Madarijis Salikin hal. 322).
Pernah dikatakan kepada seorang yang shaleh, Sesuatu apakah yang paling berat bagi jiwa? Beliau berkata: Ikhlas, karena jiwa itu tidak memiliki potensi untuk ikhlas (Tahdzib Madarijis Salikim hal. 322).
Abu Ayub as Sakhtiyani al Bashri (wafat tahun 131 H dalam usia 65 tahun) menyatakan: “Usaha untuk mengikhlaskan niat bagi orang yang beramal jauh lebih sulit daripada seluruh bentuk amal shaleh” (Tahdzib Madarijis Salikin hal 322).
Imam al Fudhail bin Iyad, menjelaskan betapa sulit berbuat ikhlas dan menyebutkan hal yang sering rancu dalam pandangan sebagian besar ahli ibadah dengan mengatakan “Andai dikatakan kepadamu, wahai orang yang riya’ tentu engkau akan marah dan kau merasa berat untuk menerima ucapan tersebut. Boleh jadi tidak ada kebenaran yang dikatakan kepadamu. Kau bersikap pura-pura dan menampakkan kebaikan kepada dunia. Kau tinggikan pakaianmu, kau baguskan penampilanmu dan kau tahan dirimu agar tidak menggganggu orang lain sehingga dikatakan bahwa Abu Fulan adalah seorang yang ahli ibadah, betapa bagus perilakunya. Setelah itu banyak orang datang kepadamu dan memberikan hadiah kepedamu semisal dirham palsu (nampaknya perak padahal sebenarnya tembaga). Dirham ini tidak diketahui oleh setiap orang. Dirham ini setelah diperiksa ternyata adalah tembaga” (Nuzhatul Fudhala’ 2/667).
Semoga Allah karuniakan kepada kita keikhlasan dalam setiap amal ibadah. Aamiin
Referensi: Al ‘Ibadaat Al Qolbiyyah wa Atsaruha fi Hayatil Mu’minin ditulis oleh Dr. Muhammad bin Hasan bin ‘Uqail Musa Al-Syarif
Ditulis Oleh: Muhammad Fatwa Hamidan, B.A