Telaah Kritis Hadis: Tujuh Amalan yang Pahalanya Terus Mengalir
Teks Hadis
سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ، وهُو فِي قَبْرِهِ، مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا، أَوْ كَرَى نَهْرًا، أَوْ حَفَرَ بِئْرًا، أَوْ غَرَسَ نَخْلا، أَوْ بَنَى مَسْجِدًا، أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا، أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ
“Ada tujuh (amalan) yang pahalanya terus mengalir untuk seorang hamba setelah ia dikuburkan (meninggal): (1) seorang yang mengajarkan ilmu, (2) membuat pengairan (untuk umum), (3) menggali sumur, (4) menanam pohon kurma, (5) membangun mesjid, (6) membagikan mushaf, dan (7) meninggalkan anak yang senantiasa memohon ampunan baginya setelah kematiannya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al Bazzar dalam Musnadnya (13/483-484/no. 7289), ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/247), dan Abu Nu’aim dalam Hilyat Al Auliya (2/343-344), semua riwayat tersebut berporos di Abu Nu’aim An Nakha’i, dari Muhammad bin Ubaidullah Al ‘Arzami, dari Qatadah, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Skema Sanad
Hadis di atas memiliki masalah dari dua aspek; sanad dan matan/teks. Berikut ulasannya:
Pertama: Aspek sanad.
Setidaknya ada dua perawi bermasalah di rangkaian sanad hadis. Abu Nu’aim An-Nakha’i dan Muhammad Al ‘Arzami. Abu Nu’aim An Nakha’i dinilai lemah oleh mayoritas ulama hadis. Bahkan, menurut ibnu ‘Adi, Abu Nuaim suka nyeleneh dalam menyampaikan hadis.
Demikian juga makna keterangan ibnu Hajar. Abu Nuaim An Nakha’i memiliki sejumlah kesalahan dalam periwayatan hadis. (lihat: Tahdzib at-Tahdzib, 2/561-562).
Sedangkan Muhamad Al ‘Arzami, merupakan perawi yang lebih parah tingkat kelemahannya. Para pakar kritikus hadis telah memberikan komentar pedas terhadapnya. Rangkuman dari komentar tersebut, bahwa si Muhamad bin Ubaidullah Al ‘Arzami adalah perawi matruk, alias riwayat hadisnya tidak boleh diterima sama sekali, karena terdapat kesalahan-kesalahan yang fatal.
Masalah di atas terjadi karena ia adalah seorang yang buruk daya ingatnya, sehingga sangat bergantung pada catatan hadis yang ia miliki. Sayangnya, catatan tersebut hilang. Nah, ia pun menyampaikan hadis-hadis yang terdapat di catatan tersebut dengan mengandalkan hafalannya yang buruk. Maka banyak terjadi kesalahan dalam riwayatnya, serta rusaklah hadis-hadis yang ia sampaikan. Ia pun tidak masuk kategori informan kredibel. (Tahdzib at-Tahdzib, 3/637-638)
Oleh karena itu, tatkala Imam ibnu Hibban menyebutkan Muhammad bin Ubaidullah Al ‘Arzami di dalam karyanya ‘al-Majruhin (para rawi yang dikritik/dicela)’, lalu memberikan komentar pedas kepadanya, maka beliau pun membawakan hadis di atas sebagai contoh yang menunjukkan lemahnya si rawi ini.
Di samping itu, Muhamad Al Arzami ini satu-satunya orang yang menyampaikan hadis di atas dari seorang ulama besar kota bashrah, yaitu Qatadah. tentunya ini sesuatu yang aneh. Kok bisa, tak ada seorang pun dari murid-murid terdekat Qatadah yang menyampaikan riwayat hadis ini darinya?
Logikanya begini, ada seorang ulama A yang sangat populer di tanah air kita. Ia memiliki murid-murid terdekat yang sangat antusias menghadiri pengajiannya. Lalu ada fulan B yang tidak dikenal sebagai murid terdekat Si Ulama A tersebut, dan tak dikenal sebagai orang yang kredibel dalam menyampaikan informasi. Nah, tiba-tiba ia menyampaikan informasi bahwa si Ulama A akan mengisi pengajian di mesjid C.
Namun, anehnya tak seorang pun dari murid ulama A yang menyampaikan informasi tersebut. Satu-satunya sumber informasinya adalah si fulan B. Akankah kita menerima informasi pengajian dari fulan B, tanpa ada info dari murid-murid lain yang jauh lebih terpercaya dan dekat dengan ulama A? Justru, boleh jadi kita menilai bahwa informasi pengajian tersebut keliru.
Kedua: Aspek matan/teks. Sebenarnya tidak ada masalah dalam konten hadis ini. Bahkan kandungannya terdapat di sejumlah hadis sahih. Namun, yang menjadi problem pada teksnya adalah kata ‘Mushaf’. Sebab, mushaf belum ada di masa rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam.
Menurut keterangan imam Adz Dzhabi, mushaf itu ada setelah wafatnya nabi shallallahu alaih wasallam. Keterangan ini beliau sampaikan tatkala menilai sebuah hadis populer yang berbunyi,
“Barangsiapa yang ingin mencintai Allah dan rasul-Nya, maka hendaknya ia membaca di mushaf.”
Komentar adz Dzahabi, hadis tersebut batil. karena mushaf itu ada setelah wafatnya nabi shallallahu alaih wasallam. (mizan al I’tidal, 1/471)
Keterangan ini didasari sejumlah riwayat dari sahabat. Di antaranya ucapan sahabat Zaid bin Tsabit tatkala diperintahkan oleh khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq untuk menghimpun Alquran,
فَتَتَبَّعْتُ القُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنَ الرِّقَاعِ وَالأَكْتَافِ، وَالعُسُبِ وَصُدُورِ الرِّجَال
“Akupun mulai mencari dan menghimpun alquran dari potongan kulit, tulang belulang, pelepah kurma, dan hafalan orang-orang.”
Artinya, Ayat-ayat Alquran masih ditulis secara terpisah di berbagai sarana yang ada.
Kemudian lanjut Zaid bin Tsabit,
وَكَانَتِ الصُّحُفُ الَّتِي جُمِعَ فِيهَا القُرْآنُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ عِنْدَ عُمَرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ
“lalu Shuhuf (lembaran-lembaran) yang ditulisi Alquran tersebut berada di tangan Abu Bakar sampai ia wafat. Lalu berpindah ke Umar sampai ia wafat. Lalu berpindah ke Hafshah binti Umar.”(HR. Al Bukhari, no. 4679)
Bukti lain yang menguatkan statemen di atas, adalah ucapan sahabat Utsman bin ‘Affan, ketika beliau meminta kepada Hafshah binti Umar lembaran-lembaran ayat Alquran untuk disalin ulang,
أَنْ أَرْسِلِي إِلَيْنَا بِالصُّحُفِ نَنْسَخُهَا فِي المَصَاحِفِ، ثُمَّ نَرُدُّهَا إِلَيْكِ
“Kirimkan kepada kami shuhuf/lembaran-lembaran ayat Alquran (yang dihimpun di masa Abu Bakar), kami ingin menyalinnya ulang di sejumlah mushaf, kemudian kami kembalikan kepadamu.” (HR. Al Bukhari 4987).
Ibnu Hajar Al’Asqalani memberikan keterangan terkait ucapan Utsman bin ‘Affan. Katanya, seraya membedakan antara shuhuf dan mushaf,
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الصُّحُفِ وَالْمُصْحَفِ أَنَّ الصُّحُفَ الْأَوْرَاقُ الْمُجَرَّدَةُ الَّتِي جُمِعَ فِيهَا الْقُرْآنُ فِي عَهْدِ أَبى بكر وَكَانَت سُوَرًا مُفَرَّقَةً كُلُّ سُورَةٍ مُرَتَّبَةٌ بِآيَاتِهَا عَلَى حِدَةٍ لَكِنْ لَمْ يُرَتَّبْ بَعْضُهَا إِثْرَ بَعْضٍ فَلَمَّا نُسِخَتْ وَرُتِّبَ بَعْضُهَا إِثْرَ بَعْضٍ صَارَتْ مُصْحَفًا
“Perbedaan antara shuhuf dan Mushaf adalah, shuhuf merupakan lembaran-lembaran yang ditulisi Alquran di masa kepemimpinan sahabat Abu Bakar. Itu pun sekedar surat-surat yang terpisah. Setiap surat ditulis di lembaran tersendiri, dan belum disusun secara urut.
Tatkala (ayat-ayat Alquran dilembaran itu) disalin ulang dan disusun sesuai urutannya, maka itu dinamakan Mushaf. (fathu Al Bari, 9/18)
Pernyataan sahabat di atas menjadi bukti kuat, bahwa mushaf memang belum ada di masa rasulullah shallallahu alaih wasallam. Karena ayat-ayat Alquran masih ditulis secara terpisah, sesuai sarana dan media yang tersedia di masa itu.
Maka dari itu, penyebutan mushaf pada redaksi hadis di atas merupakan kesalahan dari si perawi hadis.
Kesimpulan
Status hadis di atas “sangat lemah”. Tidak boleh disandarkan kepada nabi shallallahu’alaih wasallam, dan tak bisa dijadikan sebagai pijakan. Sebagaimana juga dinilai lemah oleh imam ibnu Hibban, imam Abu Nu’aim Al Ashfahani, imam Al Baihaqi, Al Iraqi, Al Haitsami, dll. (lihat: Syu’ab al-Iman, 3/122-123. Takhrij ahadits al-Ihya, 1/80. Majma’ Az Zawaid, 1/167)
Sebagian ulama menerima hadis ini karena ada riwayat semakna yang menopangnya. Tetapi pandangan ini kurang tepat. Karena status hadis di atas sangat lemah/parah. Di antara kriteria hadis lemah yang dapat ditopang dengan hadis lain (semakna) adalah jika tingkat kelemahannya ringan. Sedangkan hadis di atas tingkat kelemahannya parah. Sehingga tak dapat ditopang atau dikuatkan dengan hadis lain yang semakna dengannya.
Meskipun sebagian dari redaksi hadis di atas benar. Namun, tidak semua ungkapan yang benar, boleh disandarkan kepada rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam. Camkan!
Hadis di atas dapat digantikan dengan hadis sahih berikut,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“(Pahala) amalan seseorang yang sudah meninggal akan terputus, kecuali tiga: (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang bermanfaat, (3) anak saleh yang senantiasa mendoakan orangtuanya.” (HR. Muslim, no. 1631)
***
Ditulis oleh: Abu Huraerah, Lc.
(Alumni PP Hamalatul Quran dan mahasiswa pascasarjana jurusan Ilmu Hadis, Fak. Hadis, Universitas Islam Madinah)
artikel: Hamalatulquran.Com