Alhamdulillah, segala puji bagi Allah ta’ala, Sang Rabb semesta alam. Shalawat beriring salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam, seorang Rasul yang telah Allah perintahkan untuk mendakwahkan tauhid di muka bumi.
Akidah adalah hal yang sangat amat penting untuk dikaji oleh setiap muslim, dengannya seorang muslim dapat beribadah kepada Allah secara benar dan terarah. Terlebih dewasa ini sering kita jumpai baik dengan mata kepala sendiri atau dengan membaca berbagai berita di sosial media, bahwa telah banyak saudara-saudara kita yang melakukan berbagai ritual yang bernafaskan kesyirikan.
Tentunya sebagai saudara seislam, hati kita akan merasa prihatin dan miris melihat realita tersebut, serta akan muncul pula rasa takut, bagaimana jika fitnah kesyirikan itu menimpa diri kita? bagaimana jika fitnah tersebut menimpa ayah ibu kita? bagaimana jika fitnah tersebut menimpa kerabat dan saudara kita?
Berawal dari fenomean diatas, redaksi hamalatul quran memiliki keinginan untuk ikut andil dalam menyebarkan dakwah tauhid. Oleh sebab itu, insyaallah kami akan berusaha menyajikan artikel bersambung dengan tagline “Akidah Imam Asy Syafi’”. Kajian dalam artikel ini akan berfokus pada berbagai prinsip dasar akidah Imam Asy Syafi’i yang kami sadur dari “Kitab At Tauhid fi Dhoui Aqidah Al Imam Asy Syafi’i”
Kenapa Berfokus pada Akidah Imam Asy Syafi’i?
Karena masyarakat di Indonesia terkenal dengan Madzhab Syafi’iyah, maka insyaAllah akan semakin mudah diterima oleh masyarakat bila kami sampaikan dasar-dasar akidah melalui karya dan pendapat-pendapat beliau rahimahullah.
Sebelum kita mengkaji lebih dalam prinsip-prinsip dan dasar akidah beliau ada baiknya kita kaji terlebih dahulu biografi beliau rahimahullah.
Nama dan Nasab
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al ‘Abbas bin ‘Utsman bin As Saib bin ‘Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Al Muthallib bin Abdil Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib, Abu ‘Abdillah Al Qurasyi Asy Syafi’i Al Makki.
Al Muththalib adalah saudara Hasyim, ayah dari ‘Abdul Muththalib. Kakek Rasulullah dan kakek Imam Syafi’i bertemu nasabnya pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga.
Imam an-Nawawi berkata: “Imam asy-Syafi’i adalah Qurasyi (berasal dari suku Quraisy) dan Muththalibi (keturunan Muththalib) berdasarkan ijma’ para ahli riwayat dari semua golongan, sementara ibunya berasal dari suku Azdiyah”. (Tahdzribul Asmaa’ wal Lughaat oleh an-Nawawi 1/44).
Imam Asy Syafi’i dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin As-Saib, seorang Sahabat kecil yang sempat bertemu dengan Rasulullah ketika masih muda.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berada di sebuah tempat yang bernama Fusthath. Kemudian, datanglah kepadanya As-Saib bin ‘Ubaid beserta putranya yaitu, Syafi’ bin as-Saib. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memandangnya dan bersabda:
مِنْ سَعَادَةِ الْـمَرْءِ أَنْ يُشْبِهَ أَبَاهُ
“Suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya”. (Al-Ishaabah 2/11)
Tahun dan Tempat Kelahiran
Para sejarawan sepakat bahwa Imam Asy Syafi’i lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Hakim berkata: “Saya tidak menemukan adanya perselisihan pendapat bahwa Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Hal ini mengisyaratkan bahwa Imam Syafi’i menggantikan Imam Abu Hanifah dalam bidang yang digelutinya.”
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam Asy Syafi’i lahir pada hari meninggalnya Imam Abu Hanifah. Pendapat ini disinyalir tidak benar, tetapi pendapat ini bukan pendapat yang sangat lemah karena Abul Hasan Muhammad bin Husain bin Ibrahim dalam Manaaqib Asy Syafi’i meriwayatkan dengan sanad jayyid bahwa Imam ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata,
وُلِدَ فِيْ الْيَوْمِ الَّذِيْ تُوُفِّيَ فِيْهِ أبُو حَنِيْفَة
“Imam asy-Syafi’i lahir pada hari kematian Imam Abu Hanifah.”
Namun, kata yaum pada kalimat ini dapat diartikan lain, karena secara umum kata itu bisa diartikan masa atau zaman.
Sedangkan terkait tempat lahirnya Imam Asy Syafi’i ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang tempat kelahiran beliau, yang paling populer adalah beliau dilahirkan di kota Ghazzah. Pendapat lain mengatakan di kota ‘Asqalan, sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim dari ‘Amr bin Sawad, ia berkata: “Imam Syafi’i berkata kepadaku: “Aku dilahirkan di negeri ‘Asqalan. Ketika aku berusia dua tahun, ibuku membawaku ke Makkah.”
Sementara Imam Baihaqi menyebutkan dengan sanadnya, dari Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdul Hakim, ia berkata: “Aku mendengar Imam asy-Syafi’i berkata: “Aku dilahirkan di negeri Ghazzah kemudian aku dibawa oleh ibuku ke “Asqalan.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada putra saudaranya, ‘Abdullah bin Wahb dia berkata: “Aku mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata: “Aku dilahirkan di Yaman. Karena ibuku khawatir aku terlantar, ia pun berkata: “Temuilah keluargamu agar engkau menjadi seperti mereka sebab aku khawatir nasabmu terkalahkan. Maka ibuku membawaku ke Makkah ketika aku berusia sepuluh tahun.
Lebih lanjut Imam Baihaqi berkata: “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di kota Ghazzah kemudian ia dibawa ke ‘Asqalan lalu ke Makkah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Tidak ada pertentangan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain. ‘Asqalan adalah kota yang sejak dahulu telah dikenal, sementara Ghazzah berdekatan dengan-nya. Jadi, bila Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa ia dilahirkan di ‘Asqalan, berarti maksudnya adalah kotanya, sedangkan Ghazzah adalah kampungnya.”
Ibnu Hajar rahimahullah kembali berkata: “Pendapat-pendapat ini dapat dipadukan, yakni bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di ‘Asqalan. Ketika memasuki usia dua tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman karena ibunya dari suku Azdiyah. Ketika Imam Asy-Syafi’i berumur sepuluh tahun, ia dibawa ke Makkah karena ibunya khawatir nasab (keturunannya) yang mulia itu lenyap dan terlupakan.”
Referensi:
– Kitab At Tauhid fi Dhoui Aqidah Al Imam Asy Syafi’i
– Manhaj Al Imam Asy Syafi’i fi Itsbat Al ‘Aqidaha
***
Ditulis oleh: Muhammad Fatwa Hamidan
(Alumni PP Hamalatul Quran dan Mahasiswa S1 Fakultas Syariah, Universitas Islam Madinah)
Artikel: www.hamalatulquran.com