Meluruskan Anggapan Pakaian Sunah
Bismillah…
Masih ada anggapan di masyarakat, bahwa ketika seorang komitmen mengikuti manhaj salaf, maka dia harus memakai kostum tertentu, seperti yang populer jubah atau gamis, surban atau simagh (penutup kepala yang biasa dipakai orang Saudi). Sampai ada penilaian, siapa yang tidak memakai pakaian model seperti itu, maka dia tidak dianggap bermanhaj salaf, atau pakaiannya tidak nyunnah. Demikian, saat manusia tidak mengetahui, kebodohannya, akan menjadi musuh kebenaran yang dia tidak ketahui. Sebagaimana tersebut dalam pepatah Arab,
الإنسان عدو ما يجهل
Manusia akan menjadi musuh bagi sesuatu yang dia tidak ketahui.
Mari simak beberapa ulasan berikut untuk meluruskan kesalah anggapan tersebut :
Pertama, hukum asal berpakaian adalah mubah/halal
Ada kaidah fikih yang sangat terkenal
الأصل في الأشياء الإباحة
Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.
“Segala sesuatu” di sini maksudnya, perkara-perkara duniawi. Mulai dari makanan, minuman, pakaian, transaksi dll.
Allah ta’ala berfirman,
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا
Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk kalian seluruhnya. (QS. Al-Baqarah : 29)
Huruf ma (ما) pada ayat di atas, disebut maa al maushulah. Fungsinya menunjukkan makna umum. Artinya segala yang ada di bumi ini, Allah ciptakan sebagai fasilitas bagi manusia. Bahkan Allah tekankan keumuman ini dengan kata jamii’a جميعا, yang berarti seluruhnya. Sehingga makna ayat, Allah ciptakan segala sesuatu di dunia ini, SEMUANYA untuk kalian wahai manusia!
(Lihat : Majmu’ Fatawa Ibnu’ Utsaimin, 45/253)
Konsekuensinya : saat Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini untuk manusia, menunjukkan semua itu halal dinikmati manusia, sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Pakaian sesuai adat masyarakat yang kita tinggali, masuk dalam ranah ini. Selama tidak melanggar norma agama, seperti tetap menutup aurat, tidak isbal, tidak tasyabbuh dengan lawan jenis dll, maka tidak berhak seorangpun melarangnya. Karena Allah telah menghalalkan. Apalagi menjadikannya sebagai tolak ukur manhaj beragama seseorang.
Kedua, Islam dapat selaras untuk setiap zaman dan tempat.
Ini diantara karakteristik agama Islam. Ajarannya sesuai dengan waktu apapun, generasi kapanpun dan tempat manapun.
Sebagaimana diungkapkan oleh para ulama dengan semboyan,
“الإسلام صالح لكل زمان ومكان”.
Islam selalu sesuai dengan segala waktu dan tempat.
Inilah indikasi dari kesempurnaan Islam. Agama yang fleksibel, tidak kaku, tidak mengekang, tapi membahagiakan manusia, bisa menyesuaikan zaman dan waktu serta rahmat bagi segenap alam. Meskipun fleksibilitas ini ada ruangnya sendiri. Ada bagian dari Islam yang memang tidak bisa berubah dan diubah. Karena ia perkara prinsip, yaitu ruang Ibadah mahdoh, Iman dan akidah. Adapun perkara duniawi, Islam memberikan kelonggaran dengan tetap memberikan panduan, untuk tetap menjaga martabat manusia.
Fleksibilitas Islam diantaranya terukir melalui model berpakaian. Islam tak mewajibkan umatnya untuk memakai model pakaian tertentu. Asal tidak melanggar norma syariat, maka boleh dipakai. Bahkan Islam menganjurkan umatnya untuk memakai model pakaian yang lumrah di masyarakat yang kita tinggali. insyaAllah akan kami uraikan pada point berikutnya.
Ketiga, yang disebut pakaian sunah adalah pakaian yang lumrah di masyarakat yang kita tinggali.
Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang definisi pakaian Sunah,
فالمستحب أن تلبس ما اعتاده الناس عندنا ، ولهذا كان الصحابة رضي الله عنهم لما فتحوا
البلاد صاروا يلبسون لباس الناس؛ لئلا يكون الإنسان متميزة يشتهر في المجالس، يقولون : فلان كذا.
Yang disunahkan adalah, anda memakai pakaian yang lumrah dipakai masyarakat di daerah yang kita tinggali. Oleh karena itu, para sahabat Nabi -semoga Allah meridhoi mereka-, ketika berhasil menaklukkan banyak negeri, mereka berpakaian sebagaimana pakaian masyarakat setempat. Supaya seorang tidak tampak menonjol, sehingga membuatnya jadi bahan omongan. Orang-orangpun membicarakannya, “Itu lho si anu…..”
Syekh melanjutkan,
ولهذا نهى النبي عن لباس الشهرة, إذا ما فعله على سبيل التعبد فقد تبين حكمه. وما فعله على سبيل الجبلة قلنا: لا حكم له، وما فعله على سبيل العادة قلنا: إنه مستحب، لكن بالجنس، لا بالعين
Oleh karenanya, Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarang memakai pakaian syuhroh.
Jadi kesimpulannya tentang hukum perbuatan Nabi, perbuatan Nabi yang:
– dilakukan sebagai jibilah / tabi’at (pent, yang dilakukan Nabi dalam kapasitas beliau sebagai manusia, seperti duduk, tidur, berbaring dan berdiri).
Kita katakan, perbuatan Nabi yang jenis ini tidak ada hukumnya (mubah).
– dilakukan sebagai adat/kebiasaan.
Kita katakan, hukum meneladaninya sunah.
Tapi sunah yang dimaksud, meneladani pada jenisnya, bukan model spesifiknya.
(Lihat : Syarah Nazom Al Waroqot, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 149 – 150)
Dari penjelasan Syekh di atas, tampaklah pengertian yang benar untuk pakaian sunah, yaitu pakaian mengikuti umumnya pakaian masyarakat yang kita tinggali.
Selengkapnya bisa dipelajari di tulisan kami, klik : Definisi Pakaian Sunah
Pada kesempatan yang lain, Syekh Ibnu’Utsaimin rahimahullah menegaskan, saat beliau menjelaskan model pakaian Nabi berupa qomis (jubah yang kita kenal saat ini), selendang dan imamah, beliau kemudian menyatakan,
المهم الا تخالف لباس أهل بلدك فتقع في الشهرة وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن لباس الشهرة
Yang terpenting adalah, anda tidak menyelisihi model pakaian masyarakat di negeri anda. Sehingga menjadikan anda tenar/ menjadi buah bibir masyarakat. Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah melarang berpakaian
syuhroh (yang membuat tenar).
(Lihat : Syarah Riyadussholihin Ibnu ‘Utsaimin, 4/274)
Keempat, wali Allah tidak memiliki model pakaian khusus.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- mengatakan,
وليس لأولياء الله شيء يتميزون به عن الناس في الظاهر من الأمور المباحات فلا يتميزون بلباس دون لباس إذا كان كلاهما مباحا ولا بحلق شعر أو تقصيره أو ظفره إذا كان مباحا
“Para kekasih Allah itu tidaklah memiliki ciri khas dalam penampilan lahiriah yang membedakan mereka kebanyakan anggota masyarakat selama hal tersebut masih dalam ruang lingkup hukum mubah.
Mereka tidaklah memiliki ciri khas berupa model pakaian tertentu selama model pakaian tersebut hukumnya mubah dalam timbangan syariat. Mereka juga tidak memiliki ciri khas berupa berkepala gundul atau potongan rambut yang pendek ataupun kondisi kuku tertentu selama itu semua hukumnya mubah dalam timbangan syariat.”
(Lihat : al Furqon Baina Auliya ar Rohman wa Auliya asy Syaithon hal 65-66, dikutip dari ustadzaris.com)
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa seorang muslim salafi itu tidaklah memiliki ciri khas tertentu, yang membedakan mereka dari masyarakat sekelilingnya dalam penampilan lahiriah. Selama penampilan lahiriah yang dimiliki oleh masyarakat sekelilingnya itu hukumnya mubah.
Bukanlah syarat muslim salafi, harus memakai peci putih, ghutroh kesukaan orang-orang Saudi, sorban ala Yaman, atau model baju tertentu.
Bahkan menjadikan model penampilan lahiriah tertentu, sebagai tolak ukur orang shalih dan bertakwa, adalah bid’ah yang dibuat oleh orang-orang shufi. Mereka disebut shufi, disebabkan mereka menjadikan pakaian dari shuf atau wol kasar sebagai ciri khas mereka. Dengan keyakinan, itulah ciri khas pakaian orang yang zuhud, shalih dan bertakwa.
Maka sungguh aneh jika ada orang yang demikian anti dengan ajaran shufi, namun tertular penyakit dan penyimpangan shufi. Ini semua menunjukkan pentingnya ilmu sehingga kita bisa bersikap dan berpandangan yang tepat dan tidak kontradiktif.
(Dikutip dari penjelasan guru kami ; Ustadz Aris Munandar MPI, di situs beliau ustadzaris.com, dengan sedikit penyesuaian)
Kelima, kalaupun itu sunah, amalan sunah boleh ditinggalkan karena maslahat yang kuat.
Syaikh Shalih bin Saad as Suhaimi -hafidzohullah-, dalam ceramah beliau di Masjid Nabawi, pada tanggal 28 Muharram 1433 H menerangkan,
بل إن أهل العلم قالوا أحيانا إن تطبيق بعض السنن الذي لا يحقق مطلبا من تطبيقها أو يؤدي إلى الشهرة فإن الأولى تركه قالوا هذا في مثل أزرة المؤمن التي جاء في الحديث أنها إلى نصف الساق فإذا فعل ذلك أحد شهرة أو استعلاء أو ما إلى ذلك أو كان ذلك يؤدي إلى فتنة أو نحو ذلك فالأولى تجنبه
“Sesungguhnya para ulama mengatakan, bahwa terkadang menerapkan sebagian sunnah Nabi (yang hukumnya tidak wajib, pent) yang penerapannya tidak mewujudkan apa yang diharapkan, atau menyebabkan pelakunya menjadi popular dalam pembicaraan masyarakat, maka yang lebih baik adalah meninggalkannya.
Mereka mengatakan bahwa contohnya adalah, ujung pakaian orang yang beriman idealnya adalah hanya sampai pertengahan betis sebagaimana terdapat dalam hadits. Jika ada orang yang melakukan hal di atas, demi popularitas atau merasa lebih baik dari pada saudaranya yang tidak isbal, yang tidak sampai pertengahan betis, atau tindakan tersebut menyebabkan masyarakat apriori atau antipati atau sinis, dengan orang orang yang komitmen dengan aturan syariat dan atau dakwah ahli sunnah, atau menimbulkan dampak buruk lainnya, maka yang lebih baik adalah menjauhi dan menghindari perbuatan meninggikan kain sampai setengah betis”.
Rekaman kajian beliau bisa didengarkan di link berikut ini:
http://www.alharamain.gov.sa/index.cfm?do=cms.AudioDetails&audioid=45913&audiotype=lectures&browseby=surah
Tepatnya pada menit 02:52 – 03:33. (Dikutip dari ustadzaris.com)
Demikian..
Wallahua’lam bis showab.
****
Disusun oleh : Ahmad Anshori
Dikoreksi oleh guru kami : Al Ustadz Aris Munandar MPI -hafidzohullah-