Menjalankan puasa adalah kewajiban bagi setiap muslim. Hal tersebut didasari oleh perintah Allah ta’ala dalam Al-Qur’an. Hal penting bagi setiap muslim, mengetahui landasan dari setiap amalan yang ia kerjakan, agar amalan itu sesuai dengan tuntunan agama.
Diantara ayat terkait puasa, termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2]: 183 – 187. Insya Allah pada tulisan kali ini penulis mencoba memaparkan makna yang terkandung didalamnya berdasarkan kitab Uqud al-Juman fi Durusi Syahri Ramadhana.
Allah ta’ala mulai dengan firmannya surat Al-Baqarah ayat 183;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
(wahai orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa …)
Allah panggil hamba-hambanya yang beriman, Allah kabarkan kepada mereka bahwasannya puasa Ramadan itu sebuah kewajiban dan satu hal yang diwajibkan atas mereka.
Kewajiban puasa itu meleawti beberapa fase;
Fase pertama, kewajiban puasa ‘Asyuro (10 Muharram) dan ini terjadi setelah hijrah. Kemudian setelah itu turunlah ayat-ayat ini (kewajiban puasa Ramadan) maka kewajiban puasa hari ‘Asyuro dihapuskan dan diganti hukum dari sebelumnya wajib menjadi sunnah.
Fase kedua, kewajiban puasa Ramadan dengan adanya pilihan. Ada pilihan antara puasa atau memberi makan orang miskin. Siapa yang mau bisa berpuasa dan siapa yang mau bisa memberi makan seorang miskin, akan tetapi puasa itu lebih baik dan lebih disarankan dibanding memberi makan, firman Allah subhanahu wa ta’ala
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّه
“Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya”
Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maksudnya memberi makan yang jumlahnya lebih besar, itu lebih baik baginya.
Fase ketiga, kewajiban puasa Ramadan yang bersifat fardhu ‘ain atas semua orang yang mampu. Fase ini menghapus adanya opsi antara puasa dan memberi makan, dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangiapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah.”
Hikmah dari adanya tahapan atau fase ini, sesungguhnya puasa itu hal yang berat bagi jiwa yang tidak biasa. Selain itu puasa juga bukan hal yang lumrah bagi banyak orang diwaktu itu. Sehingga, tahapan ini untuk memudahkan manusia menjalankan syariat.
Lanjutan ayat
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
(…sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa)
Maksud umat terdahulu adalah semua umat dimulai dari umat nabi Nuh kemudian para rasul setelahnya. Hal ini menunjukkan kemuliaan dan keagungan ibadah puasa, karena Allah ta’ala mewajibkan atas semua umat di semua syariat.
Pengetahuan bahwa puasa telah diwajibkan untuk umat-umat terdahulu akan membuat ringan jiwa untuk menerima dan menjalankannya. Karena menjadi karakter manusia, perkara berat jika dibersamai dengan orang lain, perkara tersebut menjadi hal yang mudah baginya.
Kemudian Allah berfirman pada ayat 184;
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ
((Yaitu) beberapa hari tertentu, …)
Hari-hari tertentu maksudnya hari-hari yang bisa dihitung. Itulah hari-hari di bulan Ramadan. Allah ta’ala memberikan label hari-hari Ramadan dengan hari-hari yang bisa dihitung untuk meringankan keadaan.
Seakan-akan Allah mengatakan, diwajibkan atas kalian berpuasa akan tetapi bukan puasa sepanjang tahun, namun puasa hanya beberapa hari yang bisa dihitung.
Dalam ayat ini terdapat isyarat, cepatnya berlalu hari-hari dalam satu bulan. Sehingga menjadi kewajiban seorang muslim untuk segera memanfaatkan untuk beramal saleh.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ
(…siapa saja diantara kalian sakit atau bepergian lantas tidak puasa maka diqada dengan bilangan yang sama di hari-hari yang lain…)
Artinya siapa yang sakit atau bepergian boleh baginya tidak puasa dan mengganti setalah Ramadan sejumlah hari yang dia tinggalkan.
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ
Jumhur ulama menjelaskan makna يُطِيْقُوْنَه adalah ‘orang yang mampu berpuasa.’ Sehingga makna potongan ayat ini adalah ‘siapa yang mampu berpuasa dia boleh memilih untuk memberi makan orang miskin.’ Hal ini adalah penjelasan tentang fase kedua pewajiban puasa. Orang yang mampu berpuasa ketika itu diberi pilihan untuk berpuasa atau membayar fidyah (tebusan) berupa memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Hal ini sebelum kewajiban puasa ditetapkan sebagai fardu ‘ain atas setiap muslim yang mampu.
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّه
(Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya)
Maksudnya adalah siapa yang ingin menambahi ketika dia memilih fidyah, memberi makan seorang miskin, dia tambahi menjadi dua atau tiga orang miskin maka itu baik baginya. Akan tetapi jika ia memilik untuk berpuasa itu lebih baik dari memberi makan. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman
وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
(…dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.)
Artinya boleh puasa dan boleh memberi makan, akan tetapi puasa lebih baik dibandingkan memberi makan. Dan ini adalah ketentuang sebelum dihapuskannya hak opsi dalam kewajiban puasa dan sebelum kewajiban puasa ditetapkan tanpa pilihan.
(Bersambung)
Referensi: Kitab ‘Uqud al-Juman fi Durus Syahri Ramadan karya Syaikh Sa’ad bin Turki al-Khotslan
Ditulis Oleh: Fahmi Izuddin, S.Ag