Home Artikel Seni Memberi Nasehat

Seni Memberi Nasehat

552
0

Dalam sebuah ikatan ukhuwah islamiyah, Nasehat memiliki peran yang amat central bahkan merupakan sendi utama dalam terwujudnya ukhuwah kuat.

Oleh karenanya Allah Ta’ala dalam surat al-‘Ashr menjelaskan bahwa ciri orang yang tidak merugi adalah mereka yang saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Namun realita di lapangan tak seindah yang kita bayangkan adakalanya kita sulit atau segan untuk memberi nasehat, kadang pula sudah menasehati berkali-kali namun tidak diindahkan.

Berikut ini kami paparkan seni dalam memberi nasehat dengan harapan semoga dapat menjadi wasilah bagi saudara sekalian ketika memberi nasehat

1. Nasehat Didasari Niat Ikhlas

Sebagaimana kita ketahui bahwa amalan kebaikan tidak diterima dan tidak dianggap sebagai amalan shalih kecuali jika dengan niat yang ikhlas. Dari Umar bin Khathab radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّما الأعْمالُ بالنِّيَّةِ

“Amalan itu tergantung dengan niatnya”

donatur-tetap

Allah ta’ala hanya menerima amalan yang ikhlas ditujukan kepada-Nya, tidak berbuat syirik kepada Allah termasuk syirik dalam niat. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan dari orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al Maidah: 27).

2. Berikan Muqoddimah yang Bagus Serta Gunakan Kata-Kata yang Baik

Dalam menyampaikan nasehat hendaknya menggunakan kata-kata yang baik, yaitu kata-kata yang penuh kelembutan dan hikmah. Perhatikan bagaimana Allah Ta’ala perintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam ketika akan memberi nasehat kepada Fir’aun, Allah berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat atau takut kepada Allah” (QS. Thaha: 44).

Padahal Fir’aun jelas kekafirannya dan kezalimannya. Bahkan ia mengatakan: “Aku adalah Tuhan kalian yang Maha Tinggi”. Namun tetap diperintahkan untuk memberi nasehat yang lemah lembut. Maka bagaimana lagi jika yang dinasehati adalah seorang Muslim yang beriman kepada Allah?

Celaan dan hinaan tidak menjadi halal ketika memberi nasehat kepada orang yang jatuh pada kesalahan. Celaan dan kata-kata kotor bukanlah akhlak seorang Mukmin. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ليسَ المؤمنُ بالطَّعَّانِ ولا اللَّعَّانِ ولا الفاحِشِ ولا البذَيُّ

“Seorang Mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka bicara kotor dan suka bicara jorok” (HR. Tirmidzi no.1977, dishahihkan Al Albani).

Dan janganlah menganggap remeh perkataan yang buruk dan menyakiti hati orang lain. Karena bisa jadi perkataan itu bisa menyeret kita ke dalam neraka serta membuat nasehat kita tidak diterima.

3. Menasehati dengan Cara yang Benar Sesuai Syariat

Selain niat harus ikhlas, cara memberikan nasehat juga harus benar. Allah ta’ala berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Rabb-Nya maka amalkanlah amalan kebaikan dan jangan mempersekutukan Rabb-nya dengan sesuatu apapun” (QS. Al Kahfi: 110).

Maka cara menasehati haruslah benar sesuai tuntunan syariat. Oleh karena itu dalam hadis dari Abu Sa’id Al Khudhri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memberikan tingkatan urutan dalam mengingkari kemungkaran. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده . فإن لم يستطع فبلسانه . فإن لم يستطع فبقلبه .وذلك أضعف الإيمان

“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim, no.49).

Hadits ini menunjukkan bahwa ketika tidak kemampuan untuk mengingkari dengan tangan maka tidak boleh nekat tetap melakukan pengingkaran dengan tangan, walaupun niatnya baik. Namun berpindah kepada cara selanjutnya yaitu mengingkari dengan lisan. Ini mengisyaratkan wajibnya mengikuti tuntunan syariat dalam ingkarul mungkar dan juga dalam nasehat.

Oleh karena itu para ulama menyatakan suatu kaidah penting:

الْغَايَةُ لاَ تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

“Tujuan tidak membolehkan wasilah (cara) kecuali dengan dalil”

4. Tabayun

Hendaknya ketika memberikan nasehat kepada orang lain, tidak sekedar bersandar pada kabar yang tidak jelas atau simpang-siur. Karena kabar yang tidak jelas atau simpang siur, bukanlah ilmu dan bukanlah informasi sama sekali. Orang yang menyampaikannya disebut orang yang melakukan kebodohan. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Maka hendaknya cek dan ricek, klarifikasi dan konfirmasi, sebelum beranjak untuk memberikan nasehat. Itulah adab dalam memberikan nasehat yang harus kita lakukan.

Orang yang mempercayai dan menyampaikan semua yang ia dengar tanpa cek dan ricek, klarifikasi dan konfirmasi, maka ia seorang pendosa. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang telah berdosa jika menyampaikan seluruh yang ia dengar” (HR. Muslim no.5).

5. Jangan Buruk Sangka

Hendaknya nasehat yang diberikan kepada orang lain, bukan didasari oleh prasangka buruk.  Hendaknya kita mencari kemungkinan-kemungkinan baik bagi saudara kita sesama Muslim, selama masih memungkinkan. Muhammad bin Manazil rahimahullah berkata:

الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ مَعَاذِيرَ إِخْوَانِهِ ، وَالْمُنَافِقُ يَطْلُبُ عَثَرَاتِ إِخْوَانِهِ

“Seorang mu’min itu mencari udzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya. Sedangkan seorang munafik itu mencari-cari kesalahan saudaranya” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.10437).

6. Jangan Memaksa Agar Nasehat Diterima

Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah mengatakan:

وَلَا تنصح على شَرط الْقبُول مِنْك فَإِن تعديت هَذِه الْوُجُوه فَأَنت ظَالِم لَا نَاصح وطالب طَاعَة وَملك لَا مؤدي حق أَمَانَة وأخوة وَلَيْسَ هَذَا حكم الْعقل وَلَا حكم الصداقة لَكِن حكم الْأَمِير مَعَ رَعيته وَالسَّيِّد مَعَ عبيده

“Jangan engkau menasehati orang dengan mempersyaratkan harus diterima nasehat tersebut darimu, jika engkau melakukan perbuatan berlebihan yang demikian, maka engkau adalah orang yang zalim  bukan orang yang menasehati. Engkau juga orang yang menuntut ketaatan bak seorang raja, bukan orang yang ingin menunaikan amanah kebenaran dan persaudaraan. Yang demikian juga bukanlah perlakuan orang berakal dan bukan perilaku kedermawanan, namun bagaikan perlakuan penguasa kepada rakyatnya atau majikan kepada budaknya” (Al Akhlaq was Siyar fi Mudawatin Nufus, 45).

Semoga bermanfaat…

Ditulis Oleh: Muhammad Fatwa Hamidan

Artikel: HamalatulQuran.Com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here