Home Akidah Dahulukan Dalil, Bukan Akal

Dahulukan Dalil, Bukan Akal

8400
0

Agama Islam di bangun atas dasar dalil bukan akal, demikianlah prinsip akidah Ahlusunnah wal jamaah. Allah ta’ala berfirman,

أَمۡ لَهُمۡ شُرَكَـٰۤؤُا۟ شَرَعُوا۟ لَهُم مِّنَ ٱلدِّینِ مَا لَمۡ یَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُۚ

“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan (mensyari’atkan) aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah?.” (QS. Asy-Syura: 21)

Maka apabila kita dapati ada nash atau dalil yang seakan-akan bertentangan dengan akal -padahal hakikatnya tidak- maka sudah sepatutnya bagi kita untuk mendahulukan dalil dari pada akal, sebab dalil itu bersifat ma’shum (terjaga) adapun akal tidak, ia sifatnya terbatas dan berubah-ubah.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata,

donatur-tetap

إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدَّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya akal memiliki batas, ia berhenti pada batasan tersebut, sebagaimana pandangan juga memiliki batasan yang pandangan berakhir padanya.” (Adab Asy-Syafi’i, hlm. 134)

Maka akal haruslah tunduk kepada dalil, bukan dalil yang tunduk kepada akal. Jangan berlebihan kepada akal di atas porsinya dan juga merendahkannya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Agama (Islam) bukan didasari atau dibangun pertama kali dengan akal logika. Bahkan sebenarnya dalil (hujjah) yang kuat dibangun di atas otak yang baik (benar). Jika tidak, maka perlu dipahami bahwa dalil shahih sama sekali tidak bertentangan dengan logika yang baik (benar).”

Karena dalam Al-Quran pun telah disebutkan, Allah ta’ala berfirman,

أَفَلَا تَعْقِلُوْن

“Tidakkah kalian mau menggunakan akal kalian?” (QS. Al-Baqarah: 44)

Sesungguhnya yang menyelisihi tuntunan syari’at, itulah yang menyelisihi akal (logika) yang sehat. Karena itu sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata,

لَوْكَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لكَانَ أَسْفَل الخف أَوْلَى بالمَسْحِ مِنْ أَعْلَاه

“Seandainya agama ini (Islam) asasnya adalah akal (logika), maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada (bagian) atasnya.”

Namun agama (Islam) tidak dibangun di atas akal (logika-logikaan). Oleh karenanya, siapa saja yang membangun agamanya di atas logika piciknya pasti akan membuat kerusakan daripada mendatangkan kebaikan. Mereka belum mengetahui bahwa akhirnya hanya kerusakan yang timbul.” (Fathul Dzil Jalali wal Ikram, 1/370)

Syubhat

Dewasa ini, realita yang sering kita jumpai adalah banyaknya orang yang mendahulukan akal mereka dibandingkan dalil, mareka tidak lagi memiliki prinsip tunduk dan patuh terhadap syariat,

سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا

“Kami mendengar dan kami taat”

Namun prinsip yang mereka pegang kini adalah

سَمِعْنَا وَفَكَّرْنَا، وَإِنْ تَوَافَقْنَا، أَطَعْنَا

“Kami mendengar dan kami pikir-pikir dulu, jika kami pikir cocok (sesuai dengan akal) maka kami taat.”

Prinsip seperti diatas adalah prinsip yang keliru, dan tidak sesuai dengan prinsip akidah ahlusunnah wal jamaah. Namun sayangnya prinsip tersebut kini telah dipegang teguh oleh sebagian kaum muslimin, bahkan berdasarkan prinsip tersebut muncullah berbagai syubhat, diantaranya adalah pernyataan mereka “Dalam beragama, akal harus didahulukan dibanding dalil, karena syariat itu bisa diketahui dengan akal.”

Bantahan atas Syubhat Tersebut

Ketika akal menunjuki kita kepada sebuah dalil syariat, maka saat itu ia telah menunjuki kita kepada sesuatu yang bersifat ma’shum (terjaga), dan pada waktu yang bersamaan akal tidak memiliki sifat ma’shum (terjaga) tersebut. Maka bagaimana mungkin kita mengedepankan sesuatu yang tidak ma’shum atas sesuatu yang ma’shum dalam beragama.

Sebagai contoh bila ada seorang supir yang menunjuki kita pada majlis syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafidhahullah (seorang pakar hadis kota Madinah saat ini) , kemudian kita dapat faidah ilmu akan sebuah hukum dari syaikh Abdul Muhsin Al Abbad, setelah itu kita sampaikan kepada si supir tadi bahwa saya tadi dapat ilmu bahwa hukum masalah ini adalah begini, kemudian si supir menyanggah dan berkata “itu salah, harusnya hukumnya tidak demikian namun begini.”

Apakah pada kondisi seperti diatas kita akan mendahulukan pendapat seorang supir dibandingkan pendapat syaikh Abdul Muhsin Al Abbad tentang sebuah hukum? Tentunya tidak, karena kapasitas si supir hanya mengarahkan dan menunjukkan kita pada tempat majlis syaikh Abdul Muhsin Al Abbad dan dia tidak memiliki kapasitas berfatwa akan sebuah hukum.

Pun demikian, akal hanya menunjukkan kita kepada dalil, maka saat kita sudah mengetahui dalil yang kita pegang teguh adalah dalil tersebut bukan akal.

Selain itu, pemahaman atau akal orang itu berbeda-beda, maka apakah seseorang akan beragama dengan patokan akal dan pemahaman yang tidak ma’shum (terjaga) tersebut dan mengesampingkan dalil?

Wallahu ta’ala a’lam

Referensi

  • Fath Dzil Jalali Wal Ikram, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Cetakan Madar Al Wathon
  • Sabighat Kaifa Nata’amal ma’a Asy Syubhat Al Fikriyyah Al Mu’ashirah, Syaikh Ahmad bin Yusuf As Sayyid, Cetakan Takween

Ditulis oleh: Muhammad Fatwa Hamidan (Alumni PP Hamalatul Quran Yogyakarta dan mahasiswa S1 fakultas Syari’ah, Universitas Islam Madinah)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here