Para ulama berselisih pendapat tentang boleh tidaknya shalat jamak, banyak diantara para shahabat, serta tabi’in membolehkannya baik jamak taqdim maupun takhir. Dan ini adalah madzhabnya Asy Syafi’i, Ahmad, juga Ats Tsauri berdalil dengan hadits-hadits yang cukup banyak, seperti riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Umar serta Mu’adz.
Sementara pendapat dari Abu Hanifah serta murid-murid beliau tidak membolehkan adanya shalat jamak. [Taisirrul Allam Syarh Umdatil Ahkam hal. 252]
Jika kita mengikuti pendapatnya Imam Syafi’i akan dibolehkannya sholat jama (dan ini adalah pendapat yang lebih rajih/ kuat) maka manakah yang di dahulukan,.?
Dalam menjamak shalat tertib urut adalah adalah wajib menurut jumhur ulama (mayoritas ulama), berdalil dengan perbuatan Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam ketika perang Ahzab (Khandaq) ;
عَن جَابر بْنِ عَبْدِ الله رَضيَ الله عَنْهُمَا: أنَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضي الله عَنْهُ، جَاءَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشمس فَجَعَل يَسُبّ كُفَّارَ قُرَيْش، وَقَالَ: يَا رسول الله، مَا كِدتُ أصَلي العَصر حَتَّى كَادَتِ الشمسْ تَغْرُبُ.
فَقَاَل النَبيُّ صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ: «والله مَا صَليْتُهَا».
قَالَ: فَقُمْنَا إِلى بُطْحَانَ فَتَوَضَّأ للصّلاةَ وتوضأنا لَهَا، فصَلّى العَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمس، ثُم صَلّى بَعْدَهَا المَغْرِبَ
“Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallohu anhuma ; Bahwasannya Umar bin Khatab Radhiyallohu anhu datang menemui Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam pada saat perang Khandaq setelah matahari terbenam, dan ia mencaci maki orang kafir Quraisy, kemudian ia berkata kepada Nabi ; “Wahai Rasululloh, hampir-hampir saja aku melewatkan shalat ashar hingga matahari terbenam.” Kemudian Rasululloh bersabda ; “Demi Alloh aku belum mengerjakannya.” Lalu kami pergi “Butkhan” salah satu lembah di kota Madinah) kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, lalu kami juga berwudhu. Beliau kemudian shalat Ashar setelah matahari tenggelam, kemudian mengerjakan shalat Maghrib setelahnya.” (HR Bukhari)
Dalam riwayat diatas tatkala Nabi mengqadha shalat Ashar yang terlewat dan beliau mengerjakannya di waktu magrib maka yang terlebih dahulu beliau kerjakan adalah shalat Ashar. Dari sini kita ketahui wajibnya tertib urut dalam mengerjakannya.
Adakah iqomah antara Shalat dalam Jamak ???
Dalam hal ini para ulama juga berselisih pendapat, namun pendapat yang benar adalah dengan satu azan dan dua iqomah. Berdalil dengan riwayat Jabir bin Abdillah menceritakan shalat Nabi tatkala haji wada’, yang mana beliau disitu menjamak shalat dhuhur dan Ashar dengan satu azan dan dua iqomah. Sebagaimana riwayat Muslim ;
ثم أذَّن ثم أقام فصلى الظهر ثم أقام فصلى العصر ولم يصل بينهما شيئا … حتى أتى المزدلفة فصلى بها المغرب والعشاء بأذان واحد وإقامتين
“Kemudian dikumandangkan azan dan beliau shalat dhuhur, kemudian berdiri lagi untuk shalat Ashar, dan beliau sama sekali tidak shalat diantara keduanya,…..hingga beliau sampai Muzdalifah, lalu shalat Maghrib dan Isya’ dengan satu azan dan dua iqomah.” (HR Muslim, dari Jabir bin Abdillah)
Adapun syarat-syarat di bolehkan menjamak shalat adalah adanya masyaqqah (kesulitan) sebagaimana di sebutkan di dalam kitab Kasyful Qanaa’ karangan Mansur bin Yunus bin Idris Al Bahuuti, diantaranya adalah ;
- Ketika keadaan Safar yang boleh mengqashar shalat
- Ketika keadaan sakit yang menjadikannya lemah dan berat
- Ketika sakit yang menjadikannya sering mengeluarkan najis
- Ketika seseorang susah untuk bersuci setiap kali hendak melakukan sholat karena sakit atau hal lain yang menghalanginya, baik berwudhu ataupun bertayamum
- Ketika seseorang susah untuk mengetahui waktu shalat seperti dikarenakan kebutaan pada matanya
- Untuk wanita yang istihadhah (penyakit keluar darah semacam darah haid), atau orang yang punya penyakit beser
- Bagi orang yang punya uzur untuk meninggalkan shalat jamaah dan shalat jum’at, maka boleh juga baginya menjamak shalat [Kasyful Qanaa’ 2/5]
Juga kami tambahkan di sini di bolehkannya menjamak shalat karena hujan, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim, dari Sa’id bin Zubair dari Ibnu Abbas Radhiyallohu anhuma menceritakan ;
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلا مَطَرٍ . قُلْتُ لابْنِ عَبَّاسٍ : لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ ؟ قَالَ : كَيْ لا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
“Rasululloh Shalallohu alaihi wa Sallam beliau terbiasa menjamak shalat dhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah bukan karena takut dan bukan pula karena hujan.” Aku bertanya kepada Ibnu Abbas ; “Untuk apa beliau mengerjakan itu.” Ibnu Abbas menjawab ; “Agar tidak memberatkan umatnya.” (HR Muslim)
Wallohu alam