Home Artikel Nongkrong di Pinggir Jalan, Bolehkah ?

Nongkrong di Pinggir Jalan, Bolehkah ?

4828
0

Bismillah

Dewasa ini seakan sudah menjadi hal yang biasa di tengah masyarakat kita, sebuah aktifitas yang digunakan sebagian orang untuk menghabiskan waktu luangnya, yaitu nongkrong-nongkrong di pinggir.

Lantas bagaimanakah pandangan Islam tentang hal ini ? adakah koridor-koridor syariat tentang hal ini ?

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالجُلُوسَ علَى الطُّرُقَاتِ، فَقالوا: ما لَنَا بُدٌّ، إنَّما هي مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا، قالَ: فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا المَجَالِسَ، فأعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا، قالوا: وَما حَقُّ الطَّرِيقِ؟ قالَ: غَضُّ البَصَرِ، وَكَفُّ الأذَى، وَرَدُّ السَّلَامِ، وَأَمْرٌ بالمَعروفِ، وَنَهْيٌ عَنِ المُنْكَرِ

donatur-tetap

“Hindari duduk-duduk di (pinggir) jalan. Para sahabat bertanya: namun kami ada kebutuhan di majelis kami tersebut, untuk berbincang-bincang. Nabi bersabda: Jika tidak ada jalan kecuali harus menghadiri majelis seperti itu, maka hendaknya berikanlah hak-haknya jalan. Para sahabat bertanya: apa saja hak-haknya jalan? Nabi bersabda: tundukkan pandangan, hindari memberi gangguan, menjawab salam, amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), nahi mungkar (melarang kemungkaran).”(HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis diatas Nabi shalllahu aliihi wa sallam telah menjelaskan bahwa hak-hak jalan adalah menundukkan pandangan, hindari memberi gangguan, menjawab salam dan amar maruf nahi mungkar, namun penjelasan diatas bukan berarti membatasi, dalam artian hak-hak jalan tidak terbatas hanya apa yang tertera dalam hadits diatas, bahkan lebih luas dari itu karena terdapat hadits-hadits lain yang telah menerangkannya. Namun pada tulisan kali ini kita akan sama-sama mempelajari hak-hak jalan yang terdapat dalam hadits diatas.

1. Menjaga Pandangan

Perintah menjaga pandangan ini tidkk dikhususkan untuk laki-laki saja, namun mencakup laki-laki dan perempuan karena sejatinya perintah menjaga pandangan dari hal-hal ynng haram adalah muthlaq untuk laki-laki dan perempuan.

Dan yang namnnya menjaga pandangan itu bukan hanya tatkala melihat wanita yang bukan mahram saja, namun sesama mahram pun ada kondisi dan waktu untuk menjaga pandangan. Lebih dari itu sesungguhnya menjaga pandangan pun pun diperintahkan saat melihat germerlap dan kemegahan dunia. Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيۡنَيۡكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعۡنَا بِهِۦٓ أَزۡوَٰجٗا مِّنۡهُمۡ زَهۡرَةَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا لِنَفۡتِنَهُمۡ فِيهِۚ وَرِزۡقُ رَبِّكَ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰ

“Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha: 131)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,

رُبَّ نَظْرة نَقشتْ في القلب صورة فَبَعُد مَحْوها فإنَّ الإنسان ليمشي في الأسواق فيتغيَّر قلبُه فالبدَار البدَار إلى حفظ القلوب بالعزلة عن كل ما يؤذي

“Berapa banyak pandangan mata mengukir di hati sosok yang sulit dihapus. Seseorang berjalan di pasar lalu hatinya berubah. Maka segeralah ! Segeralah menjaga hati dari segala perkara yang merusaknya.” (Attabshiroh 2/650)

Bila itu di pasar pada zaman beliau (zaman Ibnul Jauzi) Bagaimana dengan pasar di zaman ini ? Mall dan plaza dan sebagainya. tidak hanya terkumpul fitnah gemerlap dunia namun juga fitnah wanita.

Maka waspadalah bagi siapa saja yang ingin ke tempat-tempat seperti itu, apalagi hanya untuk sekedar nongkorng dan ngobrol yang tidak jelas. Perbanyaklah menundukkan pandangan, karena keselamatan hati dari fitnah syahwat dan syubuhat adalah keselamatan terbesar di dunia dan akherat.

2. Hindari Memberi Gangguan

Diantara hak jalan adalah menjaga diri untuk tidak menganggu siapapun yang berpapasan di jalan, baik itu mengganggu dengan perkataan atau perbuatan. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِن لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)

3. Menjawab Salam

Menjawab salam hukumnya adalah wajib,
Allah ta’ala berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu dihormati dengan suatu tahiyyah (penghormatan), maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” (QS. An Nisa: 86).

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ

“Hak sesama Muslim ada lima: membalas salamnya, menjenguknya ketika ia sakit, mengikuti jenazahnya yang dibawa ke kuburan, memenuhi undangannya dan ber-tasymit ketika ia bersin” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Menjawab salam hukumnya wajib berdasarkan ijma ulama. Jika salamnya kepada satu orang maka menjawab salam fardhu ‘ain bagi dia. Jika salamnya kepada banyak orang, maka fardhu kifayah bagi mereka untuk menjawab. Jika sudah dijawab oleh satu orang diantara mereka, maka sudah cukup, dan gugur kewajiban dari yang lain. Jika mereka semua menjawab salam maka mereka semua dianggap menunaikan kewajiban. Baik mereka menjawab secara berbarengan maupun bergantian. Namun jika diantara mereka tidak ada yang menjawab sama sekali, mereka semua berdosa. Jika mereka menjawab salam dari orang lain selain orang yang pertama tadi, maka tidak mengugurkan kewajiban dan tanggungan mereka” (Al Majmu Syarhul Muhadzab, 4/460).

4. Amar Maruf dan Nahi Mungkar

Memerintahkan atau mengajak kepada kebaikan tentunya dengan mengetahui bahwa suatu hal tersebut disyariatkan dalam agama baik itu hal yang sunah atau wajib. Dan melarang dari kemungkaran yaitu melarang dari berbuat dosa baik itu shaghair (dosa kecil) atau kabair (dosa besar).

Dan sejatinya diantara keunggulan umat Islam adalah dengan adanya syariat amar maruf dan nahi mungkar, karena dengannya sebuah masyarakat akan selamat dari kebinasaan, banyangkan saja bila dalam sebuah ruang lingkup masyarakat tidak ada seorangpun yang mengajak kepada kebajikan dan melarang dari keburukan, bisa jadi masyarakat tersebut aka rusak dan melanggar apa-apa yang Allah larang.

كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran : 110)

Dalam ayat lain Allah berfirman,

كَانُواْ لَا يَتَنَاهَوۡنَ عَن مُّنكَرٖ فَعَلُوهُۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ

“Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.” (QS. Al-Ma’idah : 79)

Beberapa Tambahan Faidah dari Kandungan Hadits:

1. Duduk-duduk di samping jalan itu dilarang dalam agama kecuali jika ada hajat atau keperluan dan itu pun harus disertai dengan beberapa syarat (red-dalam masalah ini ada rukhsoh).

2. Syarat keringanan (rukhsoh) bolehnya duduk-duduk disamping jalan adalah pertama menjaga pandangan kedua menjawab salam ketiga amar ma’ruf dan nahi munkar keempat menahan diri dari mengganggu orang lain.

3. Dalam syariat islam itu banyak keringanan (rukhsoh) yang bersyarat, namun entah mengapa orang-orang di zaman ini hanya mengingat rukhsohnya saja tanpa mengerjakan syarat-syaratnya.

4. Jalan pun memiliki hak.

5. Dalam bahasa Arab ada jama’nya jama’ seperti dalam lafadz الطُرُقَات dari kata ُالطَرِيْق dan jamaknya pertama adalah ُالطُرُق kemudian dijamakkan lagi menjadi muannats menjadi الطرقات.

6. Bila hendak nongkrong atau duduk-duduk disamping jalan maka niatkan ikhlas karena Allah ta’ala, yaitu semata-mata ingin bertemu saudara fillah dan duduk sejenak mengingat Allah. Sebagaimana ajakan Muadz kepada sahabatnya seraya berkata:

إِجْلِسْ بِنَا نُؤْمِنُ سَاعَة

“Marilah duduk sejenak bersama kita, untuk beriman sesaat.”

Wallahu ta’al a’lam

Referensi:
– Syarh Riyadhus Shalihin, Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin.
– Syarh Riyadhus Shalihin Tahdzib Li Kitab Dalil Al Falihin, Syeikh As Saiid Mushtofa Juwail
– Kitab Al Adab, Syeikh Fuad Syalhub


Ditulis Oleh : Muhammad Fatwa Hamidan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here