Thiyarah adalah merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا جَآءَتْهُمُ ٱلْحَسَنَةُ قَالُوا۟ لَنَا هَٰذِهِۦ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا۟ بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, ‘Ini adalah karena (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya.” (QS. Al- A’raf: 131)
Dahulu, diantara tradisi orang Arab adalah jika salah seorang mereka hendak melakukan suatu pekerjaan, bepergian misalnya, maka mereka meramal peruntungannya dengan burung. Salah seorang dari mereka memegang burung lalu melepaskannya. Jika burung itu terbang ke arah kanan, maka ia optimis, sehingga melangsungkan pekerjaannya. Sebaliknya, jika burung itu terbang ke arah kiri, maka ia merasa bernasib sial dan mengurungkan pekerjaan yang diinginkannya.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hukum perbuatan tersebut dalam sabdanya,
الطِيَرَةُ شِرْكٌ
“Thiyarah adalah syirik.” (HR. Ahmad 1/389)
Termasuk ke dalam kepercayaan yang diharamkan, yang juga menghilangkan kesempurnaan tauhid adalah merasa bernasib sial dengan bulan-bulan tertentu. Seperti, tidak mau melakukan pernikahan pada bulan Shafar. Juga kepercayaan bahwa hari Rabu yang jatuh pada akhir hari setiap bulan membawa kerugian terus-menerus. Termasuk juga merasa sial dengan angka 13, nama-nama tertentu atau orang cacat. Misalnya, jika ia pergi membuka tokonya, lalu di jalan melihat orang buta sebelah matanya sertamerta ia merasa bernasib sial sehingga mengurungkan niat membuka toko. Juga berbagai kepercayaan yang semisalnya.
Semua hal di atas hukumnya haram dan termasuk syirik. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imran Hushain,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ وَلَا تطير لَهُ وَلَا تكهن وَلَا تَكهن َلهُ وَأَظُنُّهُ قَالَ أَوْ سحر أَوْ شجر لَهُ
“Tidak termasuk golongan kami orang-orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal atau meminta diramalkan (dan saya kira beliau juga bersabda) dan yang menyihir atau meminta disihirkan.” (Shahih Al Jami’ no.5435)
Orang yang terjerumus melakukan hal-hal di atas, hendaknya membayar kaffarat sebagaimana yang di tuntunkan Nabi. Dari sahabat Abdullah bin Amr eadhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah bersabda,
مَنْ رَدَّتهُ الطيرة مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا كَفَّارَة ذلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْل أَحَدُكُم: اللهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرَك وَلَا طير إِلَّا طيرك وَلَا إِلهَ غَيْرك
“Barangsiapa yang (kepercayaan) thiyarahnya mengurungkan hajat (yang hendak dilakukannya) maka dia telah berlaku syirik, mereka bertanya ” wahai Rasulullah apa kaffarat (tebusan) darinya?” beliau bersabda, hendaknya salah seorang dari mereka mengatakan: Ya Allah tiada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu, tiada kesialan kecuali kesialan dari-Mu, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Mu.” (As-Silsilah Ash-Shahihah no.1065)
Merasa pesimis dan bernasib sial merupakan salah satu tabiat jiwa manusia. Suatu saat, perasaan itu menekan begitu kuat dan pada saat lain melemah, Penawarnya yang paling ampuh adalah tawakkal kepada Allah Ta’ala. Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
وَمَا مِنَّا إِلَّا [أي: إِلَّا فِيْ نَفْسِهِ شَيْءٌ مِنْ ذلِكَ] وَلَكِنَّ الله يذهبه بِالتَّوَكّلِ
“Dan tiada seorang pun di antara kita kecuali telah terjadi di dalam jiwanya sesuatu dari hal ini, hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal (kepada-Nya).” (HR. Abu Daud no.3910)
***
Referensi: Muharramat istahana biha an-naas yajibul hadzr minha, karya syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid
Ditulis Oleh: Muhammad Fatwa Hamidan, Lc
Artikel HamalatulQuran.com