Home Artikel Ketika Ghibah Menjadi Tontonan dan Tuntunan

Ketika Ghibah Menjadi Tontonan dan Tuntunan

1724
0

Dewasa ini ghibah seakan telah menjadi hal yang lumrah dan biasa ditengah-tengah masyarakat kita, terlebih dengan kemajuan tegnologi yang semakin cepat, wasilah untuk ghibah pun semakin banyak dan luas, entah itu melakui whatsapp, facebook, twitter atau intagram. Selain itu di televisi atau youtube pun kini ada beragam acara atau konten yang tidak lepas dari ghibah sebagai ‘bumbu” agar meraih rating penonton yang tinggi. Kadang mereka membicarakan aib si A, si B, si C, kemudian setelah itu banyak orang yang menonton, mendengarkan dan akhirnya ikut-ikutan membicarakan aib tersebut.

Padahal dosa ghibah amatlah besar, Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda:

لَمَّا عُرِجَ بِيْ، مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَصُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ: هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ

“Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati sekelompok orang yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya: “Siapakah mereka wahai Jibril?. Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan mencela kehormatan mereka.” (HR. Ahmad)

Namun sayang beribu sayang, banyak diantara kaum muslimin yang sudah tahu akan larangan ghibah tersebut akan tetapi mereka tetap melakukannya bahkan menganggapnya sebagai hal yang biasa dan lumrah, tidakkah mereka ingat firman Allah ta’ala,

donatur-tetap

وَتَحۡسَبُونَهُۥ هَيِّنٗا وَهُوَعِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٞ

“Dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu adalah hal besar.” (QS. An-Nur: 15)

Pada tulisan kali ini, kami akan mengupas secara rigkas tentang ghibah, yang semoga dengan mempelajarinya akan menambahkan dan menguatkan keimanan kita, sehingga kita dapat berhati-hati dan tidak bermudah-mudahan untuk melakukannya.

Pengertian Ghibah
Ghibah secara etimologi berasal dari kata ghoib yang artinya tidak hadir, dan dinamakan dengan ghibah karena orang yang sedang dibicarakan itu ghoib atau tidak hadir ditempat pembicaraan tersebut. Sedangkan menurut istilah makna ghibah terlah dijelaskan sendiri oleh baginda Nabi shalallahu’alaihi wasallam dalam sabdanya,

أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kalian apakah ghibah itu?”. Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi shallallahu‘alaihi wasallam berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi shallallahual’aihi wasallam ditanya: Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya ? Nabi shallallahu’alaihi wasallam menjawab: Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya.” (HR. Muslim no 2588)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

“Ghibah itu menyebutkan apa yang dibenci oleh orang lain ketika ia ghoib (tidak hadir), baik itu terkait fisiknya, agamanya, duniawinya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orangtuanya, pasangannya atau keburukan apa saja yang terkait dengan dirinya, baik itu dengan ucapan, sindiran atau dengan isyarat.”

Hukum Ghibah.
Ghibah itu haram hukumnya, karena ia termasuk dosa besar. Allah ta’ala telah mencela perbuatan ghibah, serta memberikan perumpamaan yang amat buruk bagi pelakunya. Allah ta’ala berfirman,

وَلاَ يَغْتِبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ

“Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih.” (QS. Al-Hujurat:12)

Tolak Ukur dan Tingkatan Ghibah
Batasan ghibah itu adalah menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudara kita ketika ia ghoib (tidak hadir), sedangkan menyebutkan sesuatu yang tidak disukai saat ia hadir maka namanya mencela atau mencaci dan hal tersebut tidak termasuk dalam kategori ghibah. Namun walau tidak termasuk dalam kategori ghibah, mencaci dan mencela saudara seiman tetaplah hal yang tercela. Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda,

سِبَابُ مُسْلِم فُسُوْق

“Memcaci-maki seorang muslim adalah sebuah kefasikan.” (HR. Bukhari)

Ghibah itu bertingkat-tingkat, dan tingkatan tersebut ini sesuai dengan siapa yang dighibahi. Saat seseorang menghibahi ulama atau seorang pemimpin maka hal tersebut tentunya lebih buruk tingkatannya dibandingkan dengan menghibahi orang biasa lainnya.

Hukum Mendengarkan Ghibah
Imam Nawawi rahimahullah berkata:

اعلم أَنَّ الغِيْبَةَ كَمَا يحْرَم عَلَى المُغْتَابِ ذِكْرهَا، يُحْرَمُ عَلَى السَّامِعِ اسْتِمَاعُهَا وَإِقْرَارُهَا، فَيَجِبُ عَلَى مَنْ سَمِعَ إنسانًا يبتدئ بِغَيْبَة محرمة أَنْ يَنْهَاهُ إِنْ لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا ظَاهِرًا، فَإِنْ خَافَه وَجَبَ عَلَيْهِ الْإِنْكَار بِقَلْبِهِ، وَمُفَارَقَة ذلِكَ الْمَجْلِس إِنْ تمكن مِنْ مُفَارَقَتِهِ، فَإِنْ قدرَ عَلَى الْإنْكَارِ بِلِسَانِهَ، أَوْ عَلَى قَطْعِ الْغِيْبَة بِكَلَام آخَر لَزِمَهُ ذلِكَ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَل عَصَى

“Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika hal itu memungkinkan. Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.”

Hukum Ghibah Terhadap Orang Kafir
Boleh hukumnya menghibahi orang kafir, Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,

في الحديث دليل على أن من ليس بأخ كاليهود والنصراني وسائر أهل الملل، ومن قد أخرجه بدعته عن الإسلام لا غيبة له

“Hadis larangan ghibah itu adalah dali bahwa yang tidak termasuk saudara seiman seperti orang Yahudi, Nasrani dan seluruh penganut agama lainnya serta orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya.” (Subulus Salam 2/299)

Kondisi-Kondisi Dibolehkannya Ghibah
Ada beberapa kondisi dimana seseorang boleh ghibah atau menceritakan keburukan orang lain, kondisi-kondisi tersebut adalah:

Pertama, Pengaduan.
Maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada pemimpin atau hakim dan yang lainnya, yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah menganiaya saya demikian dan demikian”.

Kedua, Minta Bantuan Untuk Mengubah Kemungkaran dan Mengembalikan Pelaku Kemaksiatan Kepada Kebenaran.

Maka seseorang (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah haram.

Ketiga, Meminta Fatwa.
Misalnya seseorang berkata kepada seorang mufti atau ustadz: “Ayahku telah berbuat dzolim kepadaku”, atau “Saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah hukuman yang dia dapatkan?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang semisalnya.

Keempat, Memperingatkan Kaum Muslimin Dari Kejelekan.

Termasuk di dalamnya adalah: Jarh wa ta’dil (celaan dan pujian terhadap seseorang) yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits.

Mereka berdalil dengan ijma’ tentang bolehnya, bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh (mencela) orang-orang yang berhak mendapatkannya, dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at. Seperti perkataan ahlul hadits: “Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, dan lain-lainnya

Lima, Ghibah Dibolehkan Kepada Seseorang Yang Terang-Terangan Menampakkan Kefasikannya Atau Kebid’ahannya.

Seperti orang yang terang-terangan meminum khamer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekannya.

Enam, Untuk Pengenalan.
Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’roj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya, maka boleh untuk disebutkan. Dan diharamkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Hal seperti sudah menjadi hal wajar dan masyhur di dalam ilmu hadis.

Wallahu ta’ala a’lam

Referensi
Al Hadits Mustawa Ats Tsalits, Silsilah Zad Al-Ilmiyyah, Riyadh, Cet. Obekan
***

Ditulis oleh : Muhammad Fatwa Hamidan
(Alumni PP Hamalatul Quran Yogyakarta dan Mahasiswa fakultas Syari’ah, Universitas Islam Madinah)
Artikel: hamalatulquran.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here