Home Artikel Ibadah Hati Bag.15: Tawakkal

Ibadah Hati Bag.15: Tawakkal

386
0
campaign psb PPHQ 26-27

Tawakal adalah ibadah hati yang sangat penting. Banyak sekali para ahli ibadah, orang-orang yang zuhud dan orang-orang awam yang salah dalam memahami tawakal. Dalam permasalahan ini, mereka terjerumus ke dalam dua sikap ekstrem yang saling bertentangan, yaitu sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan. Mereka menyalahkan sikap tengah-tengah yang menjadi karakter umat yang diberkahi Allah ini.

Kebutuhan seorang muslim yang berjalan di atas rel Allah untuk bertawakal merupakan kebutuhan yang mendesak. Khususnya dalam urusan rizki yang membuat sibuk pikiran dan hati banyak orang. Masalah rizki ini membuat badan mereka kecapekan dan hati banyak orang di antara mereka bahkan mayoritasnya penuh dengan kerisauan. Bahkan hal ini membuat mereka tidak bisa tidur nyenyak di malam hari dan harus bekerja keras di siang hari.

Bahkan terkadang masalah ini bisa menggiring mereka untuk menghinakan dirinya sendiri, menundukkan kepala dan mengurban kehormatan hanya sekedar untuk mencari penghidupan. Dia menyangka bahwa rizki itu dikendalikan oleh makhluk seperti dirinya. Kalau orang itu berkeinginan untuk memberi rizki maka dia akan mampu memberikannya namun kalau tidak berkeinginan maka dia tidak akan memberinya. Kehidupan dirinya dan anaknya berada dalam genggaman orang itu.

Bahkan terkadang ada orang yang lebih parah lagi daripada hal itu. mereka membolehkankan dirinya sendiri untuk makan harta haram, uang sogokan, menghalalkan riba dan makan harta dengan cara yang tidak benar. Hal ini dalakukan karena ketakutan akan tibanya masa tua setelah menikmati masa muda, jatuh sakit padahal sebelumnya segar bugar dan takut menganggur tanpa pekerjaan. Dia takut mati dalam keadaan meninggalkan anak keturunan yang lemah dalam sisi ekonomi. Solusi dari itu semua adalah konsisten untuk selalu tawakal kepada Allah ta’ala.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Tawakal itu separuh agama. Separuh yang lain adalah inabah (kembali kepada Allah, pent). Dien ini terdiri dari isti’anah (meminta pertolongan hanya kepada Allah, pent) dan ibadah (menyerahkan segala ibadah hanya kepada Allah, pent). Tawakal adalah isti’anah. Sedangkan inabah itu adalah ibadah. Bahkan tawakal adalah ibadah yang sejati dan tauhid yang murni. Demikian itu jika orang yang memiliki dua sifat di atas melaksanakan hal tersebut dengan penuh kesungguhan.(Tahdzib Madarij As Salikin hal. 336).

donatur-tetap

MAKNA TAWAKAL

1. Makna Etimologi.

Makna tawakal secara etimologi adalah bertanggung jawab terhadap suatu urusan, menyerahkan urusan kepada orang lain dan mempercayakan urusan kepada orang lain. Makna lain adalah meminta orang lain memenuhi kebutuhannya karena percaya bahwa orang tersebut mampu melakukannya atau dirinya tidak mampu untuk melakukan hal itu sendiri.

2. Makna Terminologi.

Orang yang bertawakal kepada Allah adalah orang yang mengetahui bahwa Allah akan menjamin rizki dan segala urusannya yang lain. Sehingga dia hanya akan bersandar kepada Allah tidak kepada yang selain-Nya.

Hakekat tawakal adalah benar-benar menyandarkan hati kepada Allah U untuk mendapatkan kebaikan dan menolak kejelekan baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan seluruh urusan kepada-Nya dan mengimplementasikan keimanannya bahwa tidak ada yang bisa memberi, mencegah, menimpakan marabahaya dan mendatangkan manfaat kecuali Allah.[2]

Ada juga yang berpandangan: “Makna tawakal adalah pengetahuan hati bahwa Allah akan mencukupi hamba-Nya.”(Tahdzib Madarij As Salikin hal. 336).

Tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada yang berhak mengatur urusan itu, menjauhkan hati dari sikap menentang kepada penguasanya, menyandarkan diri pada-Nya dalam segala urusan, merubah keyakinan bahwa yang mengatur segala urusan itu adalah diri, daya dan kekuatan kita sendiri menjadi keyakinan bahwa yang mengatur dan mengadakan segala urusan itu adalah Allah  bukan yang selain-Nya. Begitulah maksud dari tawakal.”(Tahdzib Madarij As Salikin hal. 336-337).

TINGKATAN MANUSIA DALAM TAWAKAL

  1. Orang-orang yang shalih dan alim. Mereka bertawakal kepada Allah dalam beriman, membela agama, meninggikan kalimat Allah, memerangi musuh-musuh-Nya, mencintai Allah dan menjalankan perintah-perintah-Nya.
  2. Orang yang bertawakal kepada Allah dalam upaya untuk membuat dirinya tetap konsisten, menjaga kondisinya agar senantiasa bersama Allah dan tanpa ada keterkaitan dengan orang lain.
  3. Orang yang bertawakal dalam perkara-perkara yang biasa dicari orang, seperti: rizki, kesehatan, kemenangan mengahadapi musuh, membimbing isteri, anak dan sebagainya.

Hal ini dipetik oleh Ibnul Qoyyim dari firman Allah ketika menceritakan kondisi kaum mukminin yang mengucapkan:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.”

Tawakal yang paling utama adalah tawakal dalam perkara-perkara yang wajib. Maksudnya tawakal dalam kewajiban terhadap Allah, kewajiban terhadap makhluk dan kewajiban terhadap diri sendiri.

Tawakal yang paling luas dan bermanfaat adalah tawakal yang bisa memberikan pengaruh yang nampak berkenan dengan kemaslahatan agama dan bisa menolak kerusakan agama. Tawakal ini adalah tawakal para nabi dalam menegakkan agama Allah dan mengkounter kerusakan para perusak di muka bumi. Tingkat tawakal selanjutnya adalah tawakalnya ahli waris para nabi (ulama, pent). Tingkat dibawahnya adalah tawakalnya orang-orang selainnya dimana tawakal mereka berbanding lurus sesuai dengan semangat dan niatan mereka.

Al Qur’an banyak berbicara mengenai tawakal. Kehidupan para rasul bersama dengan umatnya baik dari barisan pembela maupun musuh-musuh mereka adalah satu contoh tawakal.

Jihad orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah-tengah masyarakatnya yang disebutkan dalam Al Qur’an misalnya adalah keluarga Fir’aun yang beriman, penduduk suatu kampung dalam surat Yasin yang beriman dan sebagainya adalah juga contoh tawakal.

Banyak sekali ayat-ayat dalam Al Qur’an yang mengajak untuk bertawakal, memperbaiki dan menyempurnakannya. Allah ta’ala berfirman:

وَ عَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوْا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ

artinya: “Dan kepada Allah-lah kalian seharusnya bertawakal kalau kalian benar-benar beriman.”(QS. Al Maidah: 23).

Allah ta’ala berfirman:

وَ مَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

artinya:  “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia akan mencukupi (keperluannya).”(QS. Ath Tholaq: 3).

Tatkala menjelaskan doa para wali Allah, Dia berfirman:

رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَلْنَا وَ إِلَيْكَ أَنَبْنَا وَ إِلَيْكَ المَصِيْرُ

artinya:  “Ya Rabb kami, kami bertawakal kepada Engkau dan kepada-Mu kami kembali dan kepada-Mu pula tempat kembali.”(QS. Al Mumtahanah: 4).

Allah I berfirman ketika mengajari Rasul-Nya:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُتَوَكِّلِيْنَ

artinya: “Jika engkau telah bertekad maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”(QS. Ali Imron: 159).

Tatkala Allah subhanahu memuji para sahabat, Dia berfirman:

الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْاهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا حَسْبُنَا اللهُ وَ نِعْمَ الوَكِيْلُ

artinya:  “(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka.’ maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”(QS. Ali Imron: 173).

Ayat-ayat yang berbicara tentang permasalahan ini sangat banyak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan tawakal dan memberikan dorongan untuk melakukan tawakal. Bagaimana tidak, diantara nama beliau adlah Al Mutawakkil (orang yang bertawakal) sebagaimana terdapat dalam beberapa riwayat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa kepada Allah ta’ala dan menjelaskan rasa tawakal beliau kepada Allah. Beliau mengucapkan:

اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ أَمَنْتُ وَ عَلَيْكَ تَوَكَلْتُ وَ إِلَيْكَ أَنَبْتُ وَلَكَ خَاصَمْتُ

artinya:  “Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri dan kepada-Mu aku beriman. Aku bertawakal kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu. Hanya karena-Mu aku memusuhi (seseorang).”(HR. Muslim, 17/202).

Beliau memerintahkan para sahabatnya untuk bertawakal. Beliau berkata kepada mereka:

مَنْ قَالَ –يَعْنِي إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ- بِسْمِ اللهِ تَوَكَلْتُ عَلَى اللهِ وَ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَةَ إِلاَّ بِاللهِ يُقَالُ لَهُ كُفِيْتَ وَ وُقِيْتَ وَ تُنَحَّى عَنْهُمُ الشَّيْطَانُ

artinya:  “Barang yang siapa yang keluar dari rumah dan mengucapkan: ‘Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah.’, maka dikatakan kepadanya: ‘Engkau telah dicukupi, dijaga dan dihindarkan dari setan.”(HR. Tirmidzi, 5/490 dan beliau mengatakan,”Hadits Hasan Shahih Gharib)

Referensi: Al ‘Ibadaat Al Qolbiyyah wa Atsaruha fi Hayatil Mu’minin ditulis oleh Dr. Muhammad bin Hasan bin ‘Uqail Musa Al-Syarif

Ditulis Oleh: Muhammad Fatwa Hamidan, B.A

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here