Source : unplash
Bismillah..
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah yang ditujukan untuk menyeru manusia mendekat kepada Allah ta’ala.
Dakwah, ya itulah namanya. Dan tentunya dalam berdakwah ada etika dan adab-adab tersendiri agar apa yang disampaikan bisa difahami dan diterima dengan baik oleh orang yang di dakwahi (mad’u).
Bagaimanakah berdakwah dengan hikmah ?
Jawabannya terkandung dalam firman Allah ta’ala:
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ * فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thoha: 43-44)
Dalam ayat di atas terdapat faidah dan penjelasan penting tentang bagaimana seharusnya seorang dai berdakwah, diantara faidah tersebut adalah :
Pertama, Dalam ayat ini Allah menyampaikan atau mensifati Fir’aun dengan menyebutnya طَغَى (melampaui batas) hal ini adalah sebagai penjelasan kepada nabi Musa dan Harun agar mereka tahu bagaimana kondisi mad’unya (yang didakwahi). Hal ini menjunjukkan pentingnya bagi seorang da’i untuk mengetahui kondisi mad’unya.
Hal ini pun selaras dengan apa yang dilakukan Nabi shalallahu alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliaupun mengkhabarkan tentang kondisi penduduk Yaman, yaitu mereka adalah ahlul kitab.
Kedua, Pelampauan batas seseorang itu bukanlah alasan untuk tidak di dakwahi. karena mereka tetap memiliki hak untuk di dakwahi. Firaun telah melampaui batas dengan menyerukan kepada manusia baha dia adalah Tuhan.
Ketiga, ini pun sejatinya adalah bantahan kepada sebagian orang yang berdakwah dengan keras tanpa lemah lembut. Jika fir’aun yang sudah terang-terangan berbuat dzalim di muka bumi bahkan mengaku dirinya Tuhan masih di dakwahi dengan lemah lembut lantas bagaimana dengan orang-orang yang kesalahannya tak sampai sepertinya, maka mereka lebih berhak lagi untuk didakwahi dengan lemah lembut.
Keempat, Hukum asal berdakwah itu adalah dengan lemah lembut, dalam sebuah kaidah berbunyi :
الأصل في الدعوة الرفق واللين.
“Asal (hukum) berdakwah adalah dengan lemah lembut dan keluwesan.”
Kelima, Bagaimana dengan hajr ? maka memberikan porsi hajr pun harus dengan hikmah.
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata:
“Hajr itu seperti obat, jika dosisnya kurang maka tidak berpengaruh dan jika dosisnya berlebihan maka akan menimbulkan madharat yang besar.”
Keenam, Lafadz لَعَلَّ (mudah-mudahan) adalah harapan dan asa, jadi ketika seorang da’i sudah melakukan tugasnya dengan mendakwahi mad’unya maka dia harus memiliki rasa harap yang tinggi serta diiringi dengan do’a agar sang mad’u (yang didakwahi) mendapatkan hidayah dari Allah ta’ala.
Seorang da’i yang menmberikan hidaya irsyad sedangkan hidaya taufiq hanya dari Allah ta’ala semata.
Ketujuh, Lafadz يتذكر أو يخشى maksudnya adalah saat sang mad’u atau orang yang didakwahi sadar maka ia akan semakin takut kepada Allah.
Karena hakekat menyadarkan seseorang adalah mengingatkan dia agar takut kepada Allah Ta’ala.
_________
Catatan Kajian kitab Majmu’ Fawaid wa Iqtinash Al-Awabid bersama Ptof. Dr. Ibrahim Ar Ruhaili hafidhahullah di Masjid Nabawi, Madinah An-Nabawiyyah.
***
Ditulis oleh : M Fatwa Hamidan
Hamalatulquran.com