Home Artikel Wasiat dalam Syariat Islam

Wasiat dalam Syariat Islam

591
0

Al-washiyyah (dalam bahasa Arab) atau wasiat adalah pesan atau perintah kepada orang lain. Sedangkan secara syariat, wasiat adalah pemberian seseorang berupa benda, barang, hutang, atau manfaat kepada orang lain dengan syarat pihak yang diberi wasiat mendapatkan pemberian tersebut sesudah kematian si pemberi wasiat.

Dan seringkali wasiat mencakup makna yang lebih luas dari pada yang telah kami sebutkan di atas, sehingga ia bermakna perintah untuk bertindak atau melakukan suatu hal sesudah kematian dirinya. Sebagaimana sebagian ulama mendefinisikannya demikian, maka wasiat mencakup perintah kepada orang lain agar memandikan jenazahnya atau menshalatkannya sebagai imam atau menyerahkan sebagian hartanya ke suatu pihak tertentu dan misal wasiat lainnya.

Adanya wasiat di tengah-tengah kita, terutama masyarakat muslim adalah hal yang biasa dan lumrah, hanya saja masih ada sebagian orang yang membuat, memberi atau menunaikan wasiat tidak sesuai dengan ketentuan syariat. Padahal syariat Islam telah memberikan ketentuan-ketentuan tersendiri terkait hal ini.

 

Dalil Disyariatkannya Wasiat

donatur-tetap

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ  حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 180)

Sedangkan dalam hadis, ada riwayat dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا حَقّ امْرِئ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْن وَلَهُ شَيْء يُرِيْد أَنْ يوصي فِيْهِ، إِلَّا وَوَصِيّته مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ

Tidak patut bagi seorang muslim melewati dua malam padahal ia memiliki sesuatu yang hendak ia wasiatkan padanya, kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisi kepalanya.” (HR. Bukhari no.2738)

 

Hukum-hukum yang Terkait dengan Wasiat

1 Wajib atas setiap muslim untuk mencatat hak dan kewajibannya dalam sebuah wasiat dimana ia menjelaskan hal tersebut di dalamnya (berdasarkan hadis Ibnu Umar di atas).

2. Dianjurkan berwasiat dengan sebagian harta yang dibelanjakan pada jalan-jalan kebaikan, agar pagalanya tetap mengalir meski pemiliknya telah tiada.

3. Boleh berwasiat dengan sepertiga harta yang dimiliki atau kurang dari itu, dan dilarang berwasiat lebih dari sepertiga harta yang dimiliki.

4. Tidak boleh berwasiat memberikan harta kepada salah seorang ahli waris. Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap pemilik hak, maka tidak ada wasiat (harta) untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud no.2853)

5. Haram berwasiat dengan suatu perkara yang mengandung kemaksiatan, karena wasiat disyariatkan untuk menambah kebaikan bagi npemberi wasiat. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوف

“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang makruf” (HR Bukhari no. 7257)

6. Wasiat tidak boleh dipindahkan haknya kepada orang yang diwasiati kecuali setelah orang yang berwasiat meninggal dunia, dan telah dilunasi hutang-hutangnya. Apabila hutangnya melebihi harta peninggalan, maka orang yang diwasiati tidak mendapatkan apa-apa. “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pelunasan hutang sebelum pelaksanaan wasiat. Kalian juga membaca ayat:

مِنْ بَعْد وَصِيَّةِ يُوْصِي بِهَا أَوْدَيْن

“Pembagian-pembagian warisan tersebut) sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An Nisa’: 11)

 

Rukun Wasiat

Rukun wasiat ada empat, yaitu:

  1. Orang yang memberi wasiat (mushii).
  2. Adanya penerima wasiat (musha lahu).
  3. Adanya sesuatu atau barang yang diwasiatkan (musha bihi).
  4. Adanya ijab dan qabul

Ijab dan qobul dalam wasiat itu berupa muthlaq yang berarti ijab dan qobul dalam wasiat itu bisa dilaksanakan baik dengan lafadz langsung, isyarat atau pun dengan tulisan.

 

Mengganti atau Menggugurkan Wasiat

Umar bin Khathab Radhiallahu’anhu berkata,

يُغَيِّر الرَّجُل مَا شَاءَ فِي وَصِيَّتِهِ

“Seseorang boleh mengubah wasiatnya semau dia” (HR. Ibn Abi Syaibah no.31449)

Bolehnya merubah wasiat ini pun telah diijma’kan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Hazm, Ibn Abdul Bar, Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah. Karena hakekat pelaksanaan wasiat adalah setelah si pembuat wsiat meninggal dunia, maka boleh baginya untuk merubahnya sebelum meninggal dunia.

 

Referensi:

  • Al Fiqh Al Muyasar
  • Fiqhul Ibadah
  • Umdatul Fiqh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here