Pesantren tahfidz alquran amat menjamur dibumi nusantara, masing-masing memiliki ciri khas dan metode yang berbeda-beda dalam pengelolaannya. Namun ada satu hal yang hampir semua sama, yaitu dalam pengoptimalan kegiatan tahfidz dengan jumlah santri yang banyak.
Cara atau metode yang digunakan ialah dengan mengelompokkan santri tiap 5 sampai 10 anak menjadi satu kelompok atau yang dikenal dengan halaqot. Kemudian tiap halaqot akan dibimbing oleh satu orang ustadz yang dikenal dengan sebutan musyrif. Tiap musyrif berkewajiban untuk membimbing seluruh anggotanya dan nantinya akan dipertanggung jawabkan didepan seorang ustadz selaku kepala program tahfidz atau yang dikenal dengan Mudir Tahfidz. Metode seperti inilah yang juga diadopsi oleh pesantren tahfidz Jogja Hamalatul Qur’an.
Satu hal yang mengejutkan, ternyata metode ini telah diterapkan lebih dari 1000 tahun yang lalu oleh salah seorang sahabat Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam, yaitu Abu Darda Al Khozroji Al Anshori rodhiyallohu ‘anhu. Beliau memiliki murid yang berjumlah besar, hingga mencapai lebih dari 1600 orang sebagaimana dipaparkan oleh Muslim bin Miksyam.
Salah seorang murid beliau yang bernama Suwaid bin Abdul Aziz bercerita, “Setiap kali Abu Darda’ selesai melaksanakan sholat shubuh dimasjid Jami’ Damaskus, beliau akan dikerumuni oleh orang-orang yang ingin belajar alquran. Beliau akan mengelompokkan mereka menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 10 orang dan satu pembimbing.
Kemudian beliau akan duduk dibagian mihrob masjid sembari mengawasi mereka. Jika ada anggota yang salah dalam membaca maka akan dibenarkan oleh musyrifnya, adapun musyrif akan dibenarkan oleh Abu Darda’ jika salah. Jika ada salah seorang anggota halaqot yang dirasa telah memenuhi kriteria, maka musyrif akan merekomendasikannya kepada Abu Darda’ untuk dites langsung oleh beliau.
Dan salah satu dari musyrif saat itu ialah Abdulloh Ibnu ‘Amir (salah satu dari imam qiroat sab’ah). Tatkala beliau rodhiyallohu ‘anhu wafat maka Ibnu ‘Amir lah yang menggantikan kedudukan beliau sebagai “mudir” tahfidz.
Begitulah metode yang diterapkan oleh Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu selaku “mudir” tahfidz kala itu, yang kemudian diterapkan oleh berbagai pesantren dipenjuru dunia. Semoga Allah menjadikan kita sebagai penjaga kitab-Nya yang mulia, Amiiin…
***
Ditulis oleh : Afit Iqwanudin, Amd
(Alumni PP Hamalatul Quran yang sedang menempuh studi di Universitas Islam Madinah, KSA)
——
Dikutip dari :
- http://www.ibnamin.com/tarajem_qura.htm
- Catatan pelajaran Qiroat bersama Syaikh Yasir Al ‘Aufy (Dosen Fakultas Al Quran Universitas Islam Madinah) hafidhohulloh