Home Artikel Memilih Guru Sesuai Kebutuhan, Bukan Senioritas

Memilih Guru Sesuai Kebutuhan, Bukan Senioritas

1228
0

Bismillah..

Muhamad bin Al Fadhl al-Bazzar mengisahkan, “Aku mendengar ayahku (Al Fadhl) pernah bercerita, “Aku pernah berhaji bersama Ahmad bin Hanbal. Saat di Mekah, kami menginap di penginapan yang sama.”

وَخَرَجَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ بَاكِرًا، وَخَرَجْتُ أَنَا بَعْدَهُ،

“Esoknya, lanjut ayahnya Muhammad, “Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal berangkat ke mesjid lebih awal. Aku berangkat setelah beliau.

فَلَمَّا صَلَّيْتُ الصُّبْحَ دُرْتُ الْمَسْجِدَ، فَجِئْتُ إِلَى مَجْلِسِ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ،

donatur-tetap

Seusai aku shalat subuh, aku mengelilingi masjid. Lalu sampailah aku di pengajiannya Sufyan bin ‘Uyainah, (107-198 H, ulama senior kota Mekah di masanya itu).

وَكُنْتُ أَدُورُ مَجْلِسًا مَجْلِسًا؛ طَلَبًا لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي َأَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، حَتَّى وَجَدْتُ َأَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، عِنْدَ شَابٍّ أَعْرَابِيٍّ، وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ مَصْبُوغَةٌ، وَعَلَى رَأْسِهِ جُمَّةٌ،

“Setelah beranjak dari pengajian Sufyan, kudatangi beberapa pengajian untuk mencari Ahmad bin Hanbal. Hingga aku temukan beliau duduk bersama seorang pemuda arab badui, yang mengenakan pakaian mashbugah (dicelup dengan warna tertentu),  dengan rambut yang terjuntai hingga ke bahu.

فَزَاحَمْتُهُ حَتَّى قَعَدْتُ عِنْدَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، تَرَكْتَ ابْنَ عُيَيْنَةَ عِنْدَهُ، وَعِنْدَهُ مِنَ الزُّهْرِيِّ، وَعَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، وَزِيَادِ بْنِ عِلاقَةَ، وَالتَّابِعِينَ، مَا اللَّهُ بِهِ عَلِيمٌ

“Aku pun berdesakan dengannya, hingga duduk di sisi Ahmad bin Hanbal.”

Lalu ku bertanya,”Wahai Abu Abdillah! Mengapa Anda tinggalkan majlis Sufyan bin Uyainah, dan duduk bersama pemuda ini? Padahal Sufyan telah menimba ilmu dari Az Zuhri, ‘Amr bin Dinar, Ziyad bin ‘Ilaqah dan ulama generasi tabi’in lainnya, yang jumlahnya hanya diketahui oleh Allah (karena banyaknya).”  

فَقَالَ لِي: اسْكُتْ، فَإِنْ فَاتَكَ حَدِيثٌ بِعُلُوٍّ تَجِدْهُ بِنُزُولٍ، لا يَضُرُّكَ فِي دِينِكَ، وَلا فِي عَقْلِكَ أَوْ فِي فَهْمِكَ، وَإِنْ فَاتَكَ أَمْرُ هَذَا الْفَتَى، أَخَافُ أَنْ لا تَجِدَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَفْقَهَ فِي كِتَابِ اللَّهِ، مِنْ هَذَا الْفَتَى الْقُرَشِيِّ.

“Diam..!” tegur Ahmad bin Hanbal.

“Jika kamu tak meriwayatkan hadis secara ‘Ali (jumlah perawi dalam sanadnya lebih sedikit dibandingkan hadis nazil), maka kamu dapat meriwayatkannya secara nazil (kebalikan dari hadis ali, yaitu jumlah perawi di sanadnya lebih banyak). Demikian itu tidak akan membahayakan agama, akal dan pemahamanmu.

Akan tetapi, jika ilmu pemuda ini luput darimu, maka aku khawatir kau takkan pernah lagi menemukannya sampai hari kiamat.

Aku belum melihat seorang pun yang lebih mengerti tentang Al-Quran melebihi pemuda quraisy ini.”

قُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ

“siapa pemuda ini?” tanyaku.

“Muhamad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H).” Jawab Ahmad bin Hanbal.

(Lihat : Adab asy-Syafi’i wa manaqibuhu, karya ibnu Abi Hatim, hal. 58)

Pelajaran :

Pertama, para ulama hadis di masa silam lebih anstusias untuk mengambil hadis secara ‘ali. Karena semakin sedikit jumlah perawi dalam sanad, maka semakin kecil pula kemungkinan terjadinya kesalahan dalam meriwayatkan hadis.

Kedua, sahabat imam Ahmad mengingkari perbuatan beliau, sebab Sufyan bin Uyainah lebih senior (termasuk guru Asy Syafi’i) dan memiliki riwayat hadis dari para tabi’in, yang tidak dimiliki oleh imam Asy-Syafi’i.

Ketiga: memilih guru bukan karena senioritas. Tetapi, diupayakan sesuai dengan kebutuhan kita, meskipun ia lebih junior. (faidah dari guru kami ustadz Aris Munandar)

Keempat, diantara faktor memilih belajar kepada guru yang lebih junior, apabila guru tersebut memiliki kelebihan ilmu yang tidak dimiliki oleh guru senior, atau guru senior membahas pelajaran/ilmu tertentu, sedangkan kita belum sampai pada tingkatan ilmu tersebut.

Catatan: hadis ‘ali dan nazil berlaku pada hadis yang sama. Misalnya, Al Bukhari meriwayatkan hadis “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil tempatya di neraka.” Terkadang antara dia dengan Nabi shallallau alaih wasallam ada empat perawi, dan terkadang lebih. Maka yang pertama disebut ‘ali, sedangkan yang kedua disebut nazil.

Wallahua’lam bis showab. 

***

Ditulis Oleh : Abu Hurairah, BA 

(Alumni PP. Hamalatulqur’an Yogyakarta, S1 fakultas Hadis Univ. Islam Madinah KSA. Saat ini sedang menempuh studi S2 prodi ilmu hadis, di universitas dan fakultas yang sama).

hamalatulquran.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here