Bagi sebagian orang tua, menyekolahkan anak ke pesantren adalah pilihan mulia yang dilandasi niat baik: ingin anaknya menjadi penghafal Al-Quran, berakhlak mulia, mandiri, dan dekat dengan agama. Namun, banyak dari mereka yang sebenarnya belum benar-benar memahami kehidupan di pesantren. Akibatnya, muncul gap harapan dan realita, serta kurangnya dukungan emosional yang dibutuhkan oleh anak selama menempuh pendidikan di sana. Padahal suksesnya belajar anak itu haru seimbang antara peran orang tua, guru dan si anak itu sendiri.
Berikut ini adalah beberapa hal penting yang perlu diketahui agar orang tua menjadi lebih “melek pesantren”:
1. Pesantren Bukan Tempat Sulap Akhlak Instan
Sebagian orang tua berharap anak yang masuk pesantren akan langsung berubah jadi pribadi shalih, bacaan Al-Qurannya bagus memiliki hafalan yang banyak. Padahal, proses pembentukan karakter adalah perjalanan panjang. Santri tetaplah remaja yang sedang bertumbuh, dengan segala dinamika emosi dan tantangannya. Pendidikan akhlak menekuni Al-Quran membutuhkan waktu, kesabaran, dan kesinambungan, termasuk dukungan dari rumah.
Hargai setiap proses anak di pesantren dan berikan suport positif bagi mereka.
2. Adaptasi Bukan Hal Mudah
Banyak santri mengalami masa adaptasi yang berat di awal mondok: rindu rumah, sulit tidur, tekanan pergaulan, hingga rutinitas yang padat. Sayangnya, beberapa orang tua justru menanggapi keluhan anak dengan ketidakpedulian atau malah menyuruhnya “kuat-kuat saja”. Padahal, dukungan emosional dan empati orang tua sangat dibutuhkan di fase ini.
Dalam situasi ini orang tua haruslah bijak dalam berkomunikasi, serta penuhi kebutuhannya di pesantren dengan maksimal sewajarnya tanpa berlebih-lebihan. Bisa juga dengan meninformasikan kepada ustadz atau guru di pesantren kebiasaan-kebiasaan sang anak yang membuat mereka nyaman.
3. Aturan Adalah Pendidikan, Bukan Kekangan
Beberapa orang tua menganggap aturan pesantren seperti larangan membawa HP, bangun dini hari, atau disiplin ibadah sebagai sesuatu yang berlebihan. Padahal, aturan-aturan tersebut adalah bagian dari kurikulum pembentukan karakter: mendidik kedisiplinan, kesabaran, dan ketundukan pada nilai. Tanpa pemahaman ini, orang tua bisa salah tafsir dan justru melemahkan proses pembinaan.
Peraturan dan kebijakan-kebijakan di pesantren tentunya telah dirumuskan dan dimusyawarahkan oleh banyak orang guna mencapai tujuan pendidikan yang telah di visi dan misi kan oleh pesantren.
4. Anak Tak Selalu Bisa Cerita Apa yang Terjadi
Ketika anak tidak bercerita banyak, bukan berarti ia baik-baik saja. Bisa jadi ia bingung, takut mengecewakan, atau tidak terbiasa mengungkapkan perasaan. Orang tua perlu proaktif menjalin komunikasi yang empatik dan terbuka. Tanya bukan hanya soal pelajaran, tapi juga tentang perasaan, teman, mimpi, dan tantangan yang sedang dihadapi.
Orang tua bisa bertanya kepada wali kelas, musyrif halaqoh atau wali asrama anaknya sehingga dapat mengunpulkan informasi yang mungkin anaknya tidak ceritakan.
5. Peran Pengasuh Tidak Menggantikan Tanggung Jawab Ayah-Ibu
Banyak yang beranggapan bahwa setelah mondok, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya diambil alih pesantren. Padahal, orang tua tetap memegang peran utama sebagai pembentuk nilai dan pemberi cinta. Hubungan spiritual dan emosional yang kuat antara anak dan orang tua tetap sangat penting, meskipun jarang bertemu.
6. Santri Tidak Hanya Baca Al-Quran
Ada yang menyangka bahwa kehidupan pesantren hanya diisi dengan ngaji dan ibadah. Faktanya, banyak pesantren yang membekali santri dengan ilmu umum, keterampilan hidup, hingga kegiatan organisasi. Justru di pesantrenlah banyak anak yang belajar menjadi pemimpin, kemandirian, kesederhanaan, kreatif, dan mampu memecahkan masalah secara nyata.
7. Bukan Semua Masalah Harus Langsung Dipulangkan
“Sudah kita cari sekolah lainnya saja” ini mungkin kalimat yang diucapkan sebagian orang tua ketika melihat anaknya kesulitan beradabtasi, kesulitan menghafal atau kesulitan belakar.
Saat anak merasa berat mondok, banyak orang tua yang tergesa menyarankan pulang. Padahal, setiap proses pendidikan pasti ada ujiannya. Dengan bimbingan dan komunikasi yang baik, anak justru bisa tumbuh lebih dewasa setelah melewati masa sulitnya di pesantren. Jangan cepat mengambil keputusan emosional.
8. Santri Butuh Doa dan Dukungan, Bukan Hanya Uang Saku
Mendoakan anak dengan tulus, menyebut namanya dalam munajat, dan menunjukkan bahwa orang tua peduli, adalah “energi” yang sangat berharga bagi santri. Uang saku memang penting, tapi perhatian dan kasih sayang jauh lebih bernilai bagi semangat belajar mereka.
“Melek pesantren” bukan hanya tahu bahwa anak sedang belajar di pondok, tapi benar-benar memahami dunia mereka: suka dukanya, sistem pendidikannya, dan kebutuhan emosionalnya. Dengan begitu, orang tua tidak hanya menitipkan, tapi juga menemani secara batin dan spiritual perjuangan sang anak dalam menapaki jalan ilmu dan iman.