Syariat Islam hadir dengan berbagai perintah dan larangan, dimana sejatinya itu semua demi kemaslahatan manusia.
Sebuah prinsip pokok dalam menjalankan syariat agama Islam ini adalah kerjakan ibadah semampuanya dan tinggalkan apa-apa yang dilarang secara total.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ . رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
“Apa saja yang aku larang maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi perintah nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari no. 7288)
Syarah Hadis
Dalam hadis di atas kita diperintahkan untuk hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan menjauhi apa-apa yang dilarang oleh beliau. Larangan tersebut bertujuan agar kita tidak terjebak dengan apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu yang hancur dan binasa gara-gara terlalu banyak bertanya kepada Nabi-Nabi mereka tentang sesuatu yang tidak ada faidahnya begitu juga seringnya mereka berselisih dan membantah Nabi-Nabi mereka tersebut.
Banyak juga hadis-hadis lain yang senada dengan hadis tersebut yang menunjukkan larangan bertanya tentang hal-hal yang tidak perlu dan justru memojokkan posisi diri sendiri seperti pertanyaan seseorang yang menanyakan kepada Nabi bagaimana nasibnya nanti, apakah di neraka atau di surga? atau pertanyaan lainya. Begitu juga larangan bertanya perihal yang sia-sia, atau dengan maksud mengejek atau dimaksudkan untuk menyombongkan diri.
Dalam hadis di atas setidaknya terdapat tiga masalah pokok yang menjadi kajian para ahli ilmu,yaitu:
1. Bertanya Tentang Hal yang Tidak Bermanfaat dan Hal-Hal yang Belum Terjadi
Bertanya tentang hal yang tidak bermanfaat maksudnya adalah adanya pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dilontarkan karena bisa saja hal tersebut berakibat jelek terhadap si penanya sendiri, begitu juga dengan masalah bertanya tentang hal-hal yang sebenarnya belum terjadi namun diperkirakan akan terjadi.
Diantara sebab dari adanya larangan banyak bertanya seputar hal-hal yang telah disebutkan diatas adalah ;
- karena ditakutkan dengan pertanyaan semacam itu justru akan menurunkan beban syar’i (taklif) yang lebih berat lagi (karena Rasul masih hidup dan berbicara berdasarkan wahyu semata, maka datangnya jawaban tentang masalah yang dipertanyakan berarti perintah/taklif yang wajib dita’ati),
- Ditakutkan bahwa dengan pertanyaan itu justru akan menimpa si penanya itu sendiri, dan karenanya Nabi sangat membenci pertanyaan semacam itu dan mencelanya
2. Keutamaan Meninggalkan Hal-Hal yang Diharamkan
Diantara masalah lain yang berkaitan dengan hadis di atas adalah masalah keutamaan meninggalkan hal-hal haram atas perbuatan ta’at . Secara zahirnya, yang dimaksud dengan perbuatan ta’at disini adalah perbuatan ta’at yang bersifat sunnah (bukan wajib). Sedangkan inti dari pembicaraan mereka tentang hal ini adalah bahwa menjauhi/meninggalkan hal-hal yang diharamkan meskipun sedikit lebih utama daripada memperbanyak perbuatan-perbuatan ta’at yang bersifat sunnah, karena hal itu adalah wajib sedangkan mengerjakan keta’tan yang sunnah itu hukumnya adalah sunnah.
Dari potongan hadis diatas diambil kesimpulan bahwa larangan adalah lebih keras dari perintah, karena tidak pernah ada keringanan/rukhshah dalam melakukan suatu larangan sedangkan perintah selalu dikaitkan dengan kemampuan dalam melakukannya.
3. Masalah orang yang tidak mampu melakukan perintah secara keseluruhan dan hanya mampu melakukan sebagiannya
Dalam masalah ini, orang tersebut harus melakukan apa yang mungkin untuk dilakukannya. Kemudian masalah ini berkembang kedalam pembahasan masalah yang terkait dengan masalah-masalah fiqih, seperti thaharah, shalat, zakat fitrah, dan lain-lain. (untuk penjelasan yang lebih rinci lagi, lihat; kitab Jami’ul ‘Ulum wal hikam, karya Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali, h. 253-257).
Kandungan Hadis
- Anjuran untuk melakukan perintah Rasulullah sesuai dengan kemampuan yaitu dengan memberikan perhatian yang penuh terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, berijtihad dalam memahaminya, mengetahui makna-maknanya kemudian mengaplikasikannya dalam amaliah sehari-hari.
- Para Salaf sangat berhati-hati dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang tidak perlu dan masih berpretensi kemungkinan akan terjadi bahkan cenderung menghindarinya hingga hal itu benar-benar terjadi.
- Dari satu sisi, bahwa meninggalkan perkara haram adalah lebih utama dari melakukan perbuatan ta’at yang sifatnya sunnah.
- Allah Ta’ala tidak membebankan syariat diluar kemampuan mukallaf dan dalam hal tertentu taklif tersebut berubah menjadi rukhshah/dispensasi sebagai kasih sayangNya kepada hamba-hambaNya sedangkan dalam masalah larangan maka tidak ada keringanan apapun untuk melakukannya bahkan taklifnya harus dilakukan secara total kecuali dalam keadaan darurat dimana dimaksudkan bukan untuk bersenang-senang serta mengumbar hawa nafsu.
- Diantara ciri-ciri umat-umat terdahulu adalah banyak bertanya tentang hal-hal yang tidak bermanfaat dan suka membantah Nabi-Nabi yang diutus kepada mereka dan hal itulah sebagai penyebab hancur dan binasanya mereka.
Referensi: Jami’ Ulum wal Hikam karya Ibnu Rojab al-Hanbali