Pada tulisan sebelumnya telah kita bahas tentang pengertian tawakkal dan tingkatan manusia dalam tawakkal, adapun pada tulisan kali ini kita akan membahas tentang tingkatan tawakkal itu sendiri serta keterkaitan antara tawakkal dan usaha.
Tawakal memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan diri, kekuatan iman, tekad dan semangat pelakunya, yaitu:
1. Mengenal Rabb dan sifat-sifat-Nya. Allah adalah dzat yang Maha Kuasa, Mencukupi dan berdiri sendiri. Segala urusan bergantung dengan ilmu-Nya. Semua urusan itu terjadi dengan kehendak dan kekuasan-Nya. Ini adalah tangga awal yang harus dipijaki orang untuk bertawakal.
2. Menetapkan sebab dan akibat. Sebab di sini maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditundukkan Allah untuk kita di dunia ini yang bisa kita gunakan untuk mempermudah urusan kehidupan kita. Karena pentingnya hal ini dan banyak orang yang berselisih dalam masalah ini, maka kami akan uraikan permasalahan ini secara lebih rinci.
3. Menanamkan tawakal hanya kepada Allah ke liang lubuk hati yang paling dalam.
4. Menyandarkan hati, menampakkan rasa pasrah dan kecenderungan kepada Allah. Tanda orang yang telah mencapai tingkatan ini adalah dia tidak peduli dengan dunia yang datang dan meninggalkannya. Hatinya tidak akan goncang dan berdebar tatkala tidak mendapatkan apa yang disukainya dan tatkala mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Hal ini disebabkan karena hatinya yang bersandar, berkencenderungan dan pasrah kepada Allah telah menjaga dirinya dari rasa takut dan berharap kepada dunia.
5. Berbaik sangka kepada Allah U. Tingkat tawakal seseorang itu berbanding lurus dengan tingkat baik sangka dan rasa harapnya kepada Allah.
6. Hati berserah diri kepada Allah, segala motivator hati tertarik hanya kepada-Nya dan tidak menyelisihi-Nya. Kalau seorang hamba bertawakal dengan tawakal seperti ini maka dia akan menyadari bahwa dia tidak akan memiliki sesuatu sebelum dia berusaha semampunya dan dia tidak akan merasa aman dari makar Allah.
7. Menyerahkan segala urusan kepada Allah. Ini adalah ruh dan hakekat tawakal. Maknanya adalah menyerahkan dan memasrahkan segala urusan kepada Allah dengan kemauan sendiri dan tanpa ada paksaan. Bagi orang yang telah pasrah maka tidak akan menyerahkan urusannya kepada Allah kecuali dengan maksud agar Allah memutuskan sesuatu yang lebih baik bagi dirinya dalam hidup dan matinya.
Kalau ketetapan Allah itu ternyata berbeda dengan yang diharapkannya maka dia tetap ridha kepada-Nya. Hal ini dikarenakan dirinya tahu bahwa ketetapan itu akan lebih baik baginya walaupun segi potisitipnya belum dia kethui. (Dinukil Tahdzib Madarij As Salikin hlm. 337-341 dengan sedikit perubahan)
Kebanyakan orang yang bertawakal itu mendapatkan kerugian disebabkan tawakalnya itu sendiri. Contohnya, orang mencurahkan tawakalnya untuk keperluan-keperluan yang bersifat parsial. Dalam hal yang kecil ini, dia mencurahkan tawakalnya sekuat tenaga. Padahal dia masih bisa untuk memperoleh hal itu dengan sesuatu yang lebih mudah. Dia juga masih mampu mencurahkan hatinya dalam bertawakal untuk menambah iman, ilmu, membela agama dan memberi kontribusi yang positif bagi dunia. Bentuk tawakal seperti ini adalah bentuk tawakal orang yang lemah dan tidak memiliki semangat.
Contoh lain, orang yang mencurahkan semangat, tawakal dan doanya untuk suatu penyakit yang masih bisa diobati dengan mudah atau untuk rasa lapar yang masih bisa dihilangkan hanya dengan setengah suapan atau setengah dirham. Dirinya tidak mencurahkan itu semua untuk membela agama, memberantas ahli bid’ah, menambah keimanan dan memberikan peran positif bagi kaum muslimin.
Kondisi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya merupakan parameter dan timbangan bagi segala sesuatu. Dengan itu, hal yang baik dan yang buruk bisa dibedakan. Semangat mereka dalam bertawakal lebih tinggi daripada orang-orang yang sesudahnya. Tawakal mereka dipergunaka untuk membuka mata hati banyak orang, agar Allah disembah di seluruh negeri. Mereka taklukkan negeri-negeri kafir, lalu mereka jadikan sebagai negeri Islam. Hembusan angin spirit tawakkal pun berhembus menyentuh hati para pengikut sahabat. Oleh karena itu, hembusan tawakal memenuhi hati mereka dengan keyakinan dan keimanan.
KETERKAITAN ANTARA TAWAKAL DAN USAHA
Permasalahan ini adalah permasalahan yang sangat penting. Dalam permasalahan ini, ada orang yang salah paham dan adapula yang diberi petunjuk kepada kebenaran. Orang yang mendapatkan petunjuk itulah orang yang bahagia dan beruntung.
Barang siapa yang meninggalkan usaha, maka dia bertekad kuat untuk tidak melakukannya. Hal ini banyak dianut oleh orang-orang sebelum kita. Namun, hal ini jarang sekali terjadi pada jaman kita saat ini.
Di antara orang-orang yang melakukan usaha ada yang sampai berkeyakinan bahwa mereka tidak bisa melepaskan diri dari usaha, dia tidak bisa hidup kecuali dengannya dan dia meyakini bahwa dirinya akan binasa kalau tidak bergantung kepada usaha-usaha itu. Orang yang seperti ini justru adalah orang yang telah lupa akan tujuan hidup sehingga setan merasa senang. Kelompok orang yang seperti ini sangat banyak pada jaman kita ini. Bahkan pemikiran mereka telah merajalela dan menguasai pikiran orang banyak. Pagi dan sore, mereka mengajak orang-orang dengan penuh semangat dan antusias tinggi serta menakut-nakuti mereka dengan masa depan yang kelam seperti yang mereka gambarkan.
Orang yang berbahagia menurut mereka adalah orang yang memiliki harta benda dunia yang bisa mencukupi kebutuhan dirinya, anak-anak, cucu-cucu dan seterusnya. Sehingga jadilah usaha-usaha itu sebagai sesembahan yang disembah bersama Allah atau justru dijadikan sesembahan tersendiri oleh kebanyakan orang. Sedikit sekali orang yang bersikap tengah dan memahami keterkaitannya dengan kehidupan seorang muslim secara benar.
Referensi: Al ‘Ibadaat Al Qolbiyyah wa Atsaruha fi Hayatil Mu’minin ditulis oleh Dr. Muhammad bin Hasan bin ‘Uqail Musa Al-Syarif
Ditulis Oleh: Muhammad Fatwa Hamidan, B.A