Home Artikel Ibadah Hati Bag.13: Syarat Taubat dari Dosa Besar dan Kecil

Ibadah Hati Bag.13: Syarat Taubat dari Dosa Besar dan Kecil

503
0
campaign psb PPHQ 26-27

Setelah pada tulisan sebelumnya kita bahas terkait macam-macam dosa. maka pada tulisan kali ini akan kita bahas syarat dan cara bertaubat baik dari dosa besar maupun dosa kecil.

Jalan untuk bertaubat dari dosa kecil, yaitu:

1. Menjauhi dosa kecil.

Diantara karunia Allah ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Dia menjadikan upaya untuk menjauhi perbuatan dosa besar sebagai penghapus dosa-dosa kecil.

Allah ta’ala berfirman:

إِنْ تَجْتَنِبُوْا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّأَتِكُمْ وَ نُدْخِلْكُم مُدْخَلاً كَرِيْمًا

Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang terlarang kalian untuk mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami akan memasukkan kalian ke tempat yang mulia (surga).”(QS. An Nisa’: 31).

donatur-tetap

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الصَّلاَوَاتُ الخَمْسُ وَ الجُمُعَةُ إِلَى الجُمُعَةِ وَ رَمَضَانَ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَ الكَبَائِرُ

Mengerjakan sholat wajib lima waktu, sholat Jum’at satu dengan sholat Jum’at berikutnya, puasa pada bulan Ramadhan satu dengan puasa pada bulan Ramadhan lainnya bisa menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antara keduanya selama dosa-dosa besar dijauhi.”(HR. Muslim).

2. Beramal kebajikan.

Barang siapa yang berbuat kebajikan maka Allah akan menghapus dosa-dosa kecilnya. Contohnya adalah mengerjakan sholat secara berjamaah. Amalan ini bisa menghapuskan dosa-dosa kecil.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ لِصَلاَةٍ فَأَسْبَغَ الوُضُوْءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ المَكْتُوْبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوِ الجَمَاعَةِ أَوْ فِي المَسْجِدِ غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوْبَهُ

Barang siapa yang berwudhu untuk mengerjakan sholat, kemudian dia menyempurnakan wudhunya. Dia lantas berjalan untuk mengerjakan sholat wajib. Dia mengerjakan sholat wajib itu bersama orang lain atau dengan berjamaah atau di masjid maka Allah akan mengampuni dosanya.”(HR. Muslim).

3. Memohon ampun.

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam perkataan yang beliau hikayatkan dari rabbnya, Allah berfirman: “Ada seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa. Dia lantas mengucapkan: ‘Ya Allah, ampunilah dosaku’. Allah ta’ala lantas berfirman: ‘Ada seorang hambaku yang melakukan perbuatan dosa. Dia mengetahui bahwa dirinya memiliki Rabb yang akan mengampuni dosanya atau menghukumnya disebabkan dosa tersebut.’ Orang itu lantas mengulangi perbuatan dosa itu, lantas mengucapkan: ‘Duhai Rabbku, ampunilah dosaku.’

Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Ada seorang hambaku yang melakukan perbuatan dosa dan dia mengetahui kalau dirinya memiliki Rabb yang akan mengampuni dosanya atau menghukumnya disebabkan dosa tersebut.’ Orang tadipun mengulangi perbuatan dosa itu lagi, lantas mengucapkan: ‘Duhai Rabbku, ampunilah dosaku.’

Allah tabaraka wa ta’ala berfirman: ‘Ada hambaku yang melakukan perbuatan dosa dan dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang akan mengampuni dosanya atau menghukumnya disebabkan dosa tersebut, berbuatlah sekehendakmu karena aku telah mengampunimu.”(HR. Muslim)

Yang dimaksud « berbuatlah sekehendakmu karena aku telah mengampunimu » adalah selama kita melakukan dosa lalu kita bersegera bertaubat maka Allah akan mengampuni kita.

4. Bertasbih dan berdzikir kepada Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَ لَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةُ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلُ عَشْرَةِ رِقَابٍ وَ كُتِبَ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَ كَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يَمْسِيَ وَ لمَْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلُ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ. وَ مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةُ مَرَّةٍ حَطَتْ خَطَايَاهُ وَ لَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ

Barang siapa yang mengucapkan tiap hari sebanyak seratus kali: ‘Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan segala puji. Dia Maha berkuasa atas segala sesuatu.’, maka balasannya setara dengan pahala memerdekakan sepuluh budak. Akan dicatat baginya seratus kebaikan dan dihapuskan darinya seratus kejelekan.

Dia akan memiliki benteng dari gangguan setan pada hari itu hingga petang. Tidak akan pernah ada seorangpun yang lebih baik daripada orang yang mengamalkan hal ini kecuali kalau ada yang mengamalkan lebih banyak daripada ini.

Barang siapa yang mengucapkan sebanyak seratus kali pada tiap hari: ‘Maha suci Allah dan aku memuji-Nya.’, maka kesalahan-kesalahannya akan dihapuskan walaupun sebanyak seperti buih di lautan.”(HR. Muslim).

Sedangkan jalan untuk bertaubat dari dosa besar, adalah:

  1. Menyesali dosa yang telah dilakukan.
  2. Segera meninggalkan perbuatan itu.
  3. Bertekad untuk tidak mengulanginya pada waktu yang akan datang.

Di antara bentuk kesempurnaan taubat adalah menyampaikan alasan kepada Allah. Yang kami maksudkan dengan “menyampaikan alasan” di sini bukanlah beralasan dalam rangka membela perbuatan dosanya. Akan tetapi yang dimaksudkan adalah hendaknya seseorang itu mengucapkan dalam hati dan lisannya: ‘Ya Allah, aku tidak bisa terlepas dari dosa maka maafkanlah aku. Aku tidak memiliki kekuatan sehingga aku bisa menang mengalahkan-Mu. Aku adalah orang yang melakukan dosa dan memohon ampunan-Mu. Ya Allah, tidak ada alasan bagiku. Sesungguhnya itu adalah hak-Mu semata dan akulah yang berdosa. Ya Allah, maafkanlah aku. Kalaupun engkau tidak mau memaafkan maka sesungguhnya kebenaran itu tetap menjadi hak-Mu.

Ungkapan di atas adalah bentuk menyampaikan alasan dengan cara menampakkan kelemahan dan kehinaan. Kita juga menyadari bahwa kita adalah korban dan kalah dengan godaan setan dan pengaruh jiwa yang selalu menyuruh untuk melakukan perbuatan jelek.

Ucapan lain yang bisa kita sampaikan dengan lisan kita adalah: ‘Wahai Rabbku, bukanlah dosa yang telah kulakukan itu karena merendahkan kedudukan-Mu, bodoh tentang diri-Mu, tidak mengakui bahwa engkau mengawasi hamba-Mu dan meremehkan ancaman-Mu. Itu semua aku lakukan karena besarnya pengaruh hawa nafsu dan lemahnya kemampuan untuk melawan penyakit syahwat. Aku sangat mengharapkan ampunan-Mu dan mengandalkan maaf-Mu. Aku berbaik sangka kepada-Mu.

Aku berharap mendapatkan kemulian-Mu dan sangat menginginkan keluasan, kemurahan hati dan rahmat-Mu. Sungguh aku telah terperdaya dan jiwa ini selalu mengajak untuk berbuat nista. Turunkanlah tirai-Mu untuk menutupi dosaku. Kebodohanku telah membantuku untuk melakukan perbuatan dosa. Tidak ada jalan agar aku terlindung dari dosa kecuali dengan-Mu. Tidak ada pertolongan untuk taat kepada-Mu kecuali dengan taufik-Mu.’

Bisa juga dengan menggunakan kalimat yang lain yang mengandung ungkapan mohon belas kasihan, merendahkan diri, perasaan membutuhkan, mengakui kelemahan diri dan mengakui bahwa Allah adalah sembahan yang berhak untuk disembah. Itu semua merupakan bagian dari bentuk taubat yang sempurna. Ini adalah jalan yang ditempuh oleh orang yang cerdik dan bermurah hati terhadap dirinya sendiri karena Allah. Allah mencintai hamba-Nya yang bermurah hati terhadap dirinya karena-Nya.

Syarat-syarat di atas tepat bagi orang yang melakukan perbuatan dosa berkaitan dengan dirinya dan Allah. Sedangkan kalau dosa itu berkaitan dengan hak orang lain maka tiga syarat di atas harus ditambah dengan dua syarat lagi.

4. Meminta maaf kepada orang yang dianiya dan mengembalikan barang yang diambil dengan cara tidak benar.

Hal ini bisa dilakukan dengan membayarkan hak tersebut kepada orang yang dirugikan. Bisa juga dengan meminta kerelaan dari orang yang dirugikan dengan memberi tahu hal ini kepadanya. Itu semua kalau bentuknya berupa harta, penganiayaan terhadap badan seseorang atau penganiayaan terhadap anggota keluarganya. Hal ini sebagaimana tercantum dalam hadits Nabi r, dimana beliau bersabda:

مَنْ كَانَ ِلأَخِيْهِ مُظْلِمَةٌ مِنْ مَالٍ أَوْ عِرْضٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ اليَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَ لاَ دِرْهَمٌ إِلاَّ الحَسَنَاتُ وَ السَّيِّئَاتُ

Barang siapa yang masih membawa harta atau barang yang diambil dari saudaranya dengan cara lalim maka pada hari ini juga hendaklah dia meminta kerelaan barang tersebut sebelum (datang hari dimana, pent) tidak ada lagi dinar dan dirham. Yang ada ketika itu hanyalah kebaikan dan kejelekan.”(HR. Bukhari, 3/170).

Kalau perbuatan aniaya itu dilakukan dengan mencemarkan nama baik orang lain baik dengan gunjingan atau tuduhan berzina tanpa bukti, apakah taubatnya itu disyaratkan dengan menceritakan perbuatan itu dan meminta kerelaan kepada orang yang dicemarkan nama baiknya? ataukah cukup dengan memberi tahu bahwa dirinya telah mencemarkan nama baiknya tanpa harus untuk merinci perbuatan tersebut[1]? ataukah justru tidak disyaratkan melakukan itu semua dan taubat cukup hanya antara dirinya dan Allah tanpa harus menjelaskannya kepada orang yang telah difitnah dan dipergunjingkan? Dalam permasalahan ini, terdapat tiga pendapat:

Ibnul Qoyyim kemudian menyebutkan pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Malik yang mempersyaratkan taubat dari hal ini dengan menjelaskan dan meminta kerelaan kepada orang yang digunjing dan difitnah. Mereka menganalogkan hal tersebut dengan perbuatan menganiaya seseorang atau merampas harta benda. Dalam taubat yang kaitannya dengan dua perkara tersebut disyaratkan untuk menjelaskan, meminta kerelaan kepada orang yang dilalimi dan diterapkan hukum qishos.

Ibnu Taimiyah memilih pendapat yang mengatakan bahwa dalam hal ini tidak disyaratkan untuk menjelaskan kepada orang yang nama baiknya dicemarkan, difitnah dan dipergunjingkan. Akan tetapi taubat dari dosa ini cukup antara kita dengan Allah. Akan tetapi, hendaknya kita menyebutkan kebaikan orang yang telah kita fitnah dan pergunjingkan itu di tempat kita melakukan perbuatan tersebut. Hendaknya kita juga memintakan ampun untuk orang tersebut. Hal ini disebabkan kalau kita memberi tahu orang tadi maka justru akan menimbulkan dampak negatif dan tidak membawa mashlahat. Itu semua hanya akan menambah rasa dendam dan sedih. Padahal sebelum mendengar kabar itu, orang itu dalam keadaan bersenang hati. Kalau kasusnya demikian itu, maka Allah tidak memperkenankan perbuatan itu terlebih lagi memerintahkannya.

Cara bertaubat dari dosa fitnah dan ghibah dengan dosa menyakiti orang lain dan merampas barang orang lain itu berbeda. Pemberitahuan kita kepada orang yang kita sakiti badannya dan kita rugikan harta bendanya bisa bermanfaat kepada orang tersebut. Kalau kita memberi tahu kepada orang tersebut maka dia tidak akan merasa tersakiti dengan pengakuan tersebut dan tidak akan menimbulkan marabahaya dan memicu permusuhan. Bahkan terkadang dia akan merasa senang dengan penjelasan tersebut. Berbeda halnya kalau kita memberi tahu orang yang kita telah jatuhkan kehormatannya siang dan malam baik dengan ejekan, ghibah dan fitnah.(Tahdzib Madarij As Salikin hal. 162-163)

5. Taubat itu dilakukan pada waktunya.

Taubat tidak akan diterima dari seorang hamba yang bertaubat ketika sudah mendekati ajalnya. Taubat juga tidak akan diterima ketika matahari terbit dari barat dan hari kiamat telah benar-benar akan terjadi. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman:

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُوْءَ بِجَهَالَةٍ مِنْ قَرِيْبٍ فَأُلَئِكَ يَتُوْبُ اللهُ عَلَيْهِمْ وَ كَانَ اللهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا. وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ المَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الأَنَ وَ لاَ الَّذِيْنَ يَمُوْتُوْنَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُلَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيْمًا

Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.”(QS. An Nisa’: 18).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ العَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

artinya:  “Sesungguhnya Allah menerima taubat orang selama ruhnya belum sampai kerongkongan.”(HR. Tirmidzi, 5/547. Imam Tirmidzi mengatakan,”Hasan Gharib”).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ النَّهَارِ، وَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعُ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Pada malam hari, Allah membentangkan tangan-Nya untuk orang yang melakukan dosa pada siang hari. Pada siang hari, Allah membentangkan tangan-Nya untuk orang yang melakukan dosa pada malam hari. Demikian itu tetap terjadi sehingga  matahari terbit dari barat.”(HR. Muslim, 17/231).

[1]  Maksudnya tidaklah disyaratkan dalam taubat tersebut menjelaskan secara rinci cara kita menjatuhkan kehormatan seseorang. Akan tetapi cukup dengan menyebutkan perkataan secara global.

Referensi: Al ‘Ibadaat Al Qolbiyyah wa Atsaruha fi Hayatil Mu’minin ditulis oleh Dr. Muhammad bin Hasan bin ‘Uqail Musa Al-Syarif

Ditulis Oleh: Muhammad Fatwa Hamidan, B.A

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here