Dosa itu terbagi menjadi dua macam, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Sebagian ulama tidak menyetujui pembagian sebagaimana di atas, akan tetapi mereka menganggap bahwa segala bentuk kemaksiatan terhadap Allah adalah dosa besar. Hal ini dikarenakan perbuatan dosa adalah suatu bentuk kelancangan terhadap Allah ta’ala. Alasan lain adalah orang yang tidak setuju dengan pembagian dosa menjadi dua memandang bahwa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh seorang hamba adalah sangat besar sehingga menyebabkan mereka tidak menganggap adanya dosa kecil.
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dosa kecil adalah karena melihat adadosa yang lebih besar darinya bukan karena dosa tersebut merupakan dosa yang kecil. Kalau tidak demikian maka sebenarnya semua dosa itu adalah dosa besar. (Ittihaf As Saddah Al Muttaqin hal. 157).
Pendapat yang menyatakan bahwa seluruh perbuatan dosa adalah dosa besar adalah pendapat yang lemah karena Allah ta’ala telah membagi dosa itu menjadi perbuatan keji, dosa besar dan dosa kecil.
Allah Ta’ala berfirman:
وَ الَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبَائِرَ الإِثْمِ وَ الفَوَاحِشَ إِلاَّ اللَّمَمَ
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa–dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil.”(QS. An Najm: 32).
Yang dimaksud dengan lamam adalah dosa-dosa kecil semisal mencium, menyentuh dan memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang dll.(Lihat Tahzib Madarij Salikin)
Pendapat yang benar –wallahu a’lam– adalah pendapat yang membagi dosa menjadi dosa besar dan dosa kecil. Dosa besar tidaklah terbatas dengan jumlah tertentu. Akan tetapi semua perbuatan terlarang yang diancam dengan neraka, kemurkaan, laknat dan siksa-Nya serta mengharuskan penegakan hukum had untuk pelakunya di dunia merupakan dosa besar. Sedangkan dosa kecil adalah dosa-dosa yang selain itu.(Ittihaf As Saddah Al Muttaqin: 10/615-616 dengan beberapa perubahan). Sebenarnya terdapat beberapa pendapat yang lain mengenai pengertian dosa besar. Pendapat-pendapat tersebut sengaja tidak kami sampaikan untuk meringkas pembahasan. Uraian lebih lengkap bisa dilihat dalam Ittihaf.
SEBAB BERUBAHNYA DOSA KECIL MENJADI DOSA BESAR
Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa dosa besar yang terkadang diiringi dengan rasa malu, takut dan menganggap bahwa hal tersebut sangat mengerikan itu justru bisa memasukkan dosa besar itu menjadi kelompok dosa kecil. Sedangkan melakukan dosa kecil yang diiringi dengan sedikit rasa malu, tidak mau memperdulikan larangan, tidak merasa takut bahkan meremehkannya, itu semua justru bisa memasukkan dosa kecil itu ke dalam kelompok dosa besar. Bahkan bisa membuat dosa kecil tersebut menjadi dosa yang paling besar. (Tahdzib Madarij As Salikin, 185-186).
Sebagai tambahan terhadap penjelasan imam Ibnul Qoyyim di atas, berikut ini adalah hal-hal yang bisa mengubah dosa kecil menjadi dosa besar:
1. Dosa kecil itu dilakukan secara kontinyu dan terus-menerus.
Hal ini bisa menyebabkan jiwa menjadi keras membatu dan hati tertutupi. Dikatan: “Tidak ada yang namanya dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus dan tidak ada dosa besar kalau segera meminta ampun.” ( Perkataan ini dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam beberapa riwayat yang saling menguatkan, lihat Ittihaf As Saddah Al Muttaqin, 10/687).
2. Meremehkan dosa kecil.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَ مُحَقََّّّرَاتِ الذُّنُوْبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْمَعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكَهُ
“Hati-hatilah dengan dosa-dosa yang diremehkan karena kalau dosa-dosa itu bertumpuk karena dilakukan terus-menerus lalu membinasakan pelakunya.”( Dalam Majmuz Zawaid 10/192, Imam Haitsami menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dalam AlAusath. Para perawi dalam riwayat Ahmad dan Thabrani adalah para perawi yang digunakan dalam kitab shahih kecuali Imran bin Dawur Al-Qaththan namun beliaupun telah dianggap tsiqah).
Ibnu Mas’ud t berkata: “Sesungguhnya orang yang beriman itu menganggap dosa-dosanya seolah-olah dia duduk di bawah sebuah gunung. Dia takut sekiranya gunung itu akan menimpanya. Akan tetapi orang yang hanyut dalam kemaksiatan melihat dosa-dosanya seakan hanya seperti seekor lalat yang lewat di depan hidungnya.” Ibnu Mas’ud lalu memperagakannya. Ibnu Syihab (salah seorang rawi)lalu berisyarat dengan menggerakkan tangannya di depan hidungnya.
Sebagian salaf mengucapkan: “Dosa yang tidak diampuni adalah kalau seorang hamba mengatakan: Kalau sekiranya seluruh dosa yang kuperbuat itu Cuma seperti ini.” (Ittihaf As Saddah Al Muttaqin: 10/689). Maksudnya, dia meremehkan dosa yang telah diperbuatnya.
Oleh karena itu Anas radhiyallahu ‘anhu berkata kepada sebagian tabiin: “Kalian akan melakukan suatu perbuatan dosa yang di mata kalian itu nampak lebih kecil daripada rambut padahal pada zaman Nabishallallahu ‘alaihi wasallam, kami menganggap perbuatan itu sebagai dosa yang menghancurkan.”(HR. Bukhari, 8/128).
Anas radhiyallahu ‘anhu tidak mengatakan bahwa pada jaman setelah Rasulullah wafat dosa-dosa besar itu dianggap sebagai dosa kecil. Akan tetapi beliau mengatakan demikian itu karena pengetahuan sahabat terhadap keagungan Allah lebih sempurna. Sehingga menurut mereka dosa kecil itu kalau dikorelasikan dengan keagungan Allah maka dosa itu termasuk dosa besar. Dengan sebab inilah suatu perbuatan dosa seorang alim itu dianggap sebagai sesuatu yang besar akan tetapi hanya dianggap sebagai sesuatu yang kecil jika dilakukan oleh orang yang bodoh. Adapula perbuatan-perbuatan dosa yang terampuni jika pelakunya adalah orang yang bodoh akan tetapi dosa ini tidak dimaafkan bila dilakukan oleh seorang yang alim. Hal ini dikarenakan dosa dan kesalahan akan menjadi besar atau kecil berbanding lurus dengan pengetahuan pelakunya.(Ittihaf asSadatul Muttaqin, 10/690)
Oleh karena itu kita tidak boleh menganggap enteng perbuatan dosa karena “kalau kita menganggap remeh hal itu maka tidak akan timbul rasa penyesalan terhadap perbuatan dosa yang kita lakukan. Dalamnya penyesalan seseorang setelah melakukan perbuatan dosa itu berbanding lurus dengan bagaimana sikapnya terhadap dosa tersebut, meremehkan ataukan tidak. Contohnya orang yang meremehkan uang dengan nominal kecil yang hilang maka tidak timbul rasa penyesalan dalam dirinya tatkala menghambur-hamburkan uang tersebut. Namun tatkala dia tahu kalau uang yang dihambur-hamburkan itu ternyata nilai nominalnya tinggi maka diapun akan sangat menyesal. Dia tidak akan menganggap remeh sikap membuang-buang uang tersebut.
Sikap tidak meremehkan perbuatan dosa itu timbul melalui tiga hal, yaitu: tidak meremehkan perbuatan dosa itu sendiri, adanya rasa pengagungan terhadap pemberi perintah dalam hal ini adalah Allah dan yakin bahwa perbuatan dosa pasti akan dibalas”.(Tahdzib Madarij Salikin, hal.124)
3. Merasa senang dan gembira ketika melakukan dosa kecil.
Contohnya, seseorang yang melakukan dosa kecil mengatakan: “Aku teringat bagaimana aku bisa mempermalukan si-A, bagaimana aku menyebutkan keburukan-keburukannya sehingga membuat dia malu.
Contoh lainnya adalah ucapan orang yang menganiaya orang lain: “Aku teringat bagaimana aku memukul dan menghinakan si-A.”, atau dengan ucapan-ucapan yang lainnya.
“Kelalaian seorang yang melakukan perbuatan dosa semakin besar sehingga diapun merasa senang ketika bisa mengumbar hawa nafsunya untuk melakukan perbuatan yang haram. Rasa senang ketika melakukan perbuatan maksiat ini menjadi indikator adanya rasa cinta terhadap perbuatan dosa itu, kebodohannya terhadap kedudukan Dzat yang dia durhakai dan ketololannya terhadap akibat dan bahaya perbuatan tersebut.
Kecintaannya terhadap perbuatan dosa itu telah menutupi semua, betapa bahayanya hal tersebut. Rasa senangnya terhadap perbuatan dosa itu lebih berbahaya padanya daripada tercebur ke dalam perbuatan itu sendiri. Kalau kelalaian itu sampai tingkat seperti ini maka kelalain itu pasti akan menyeretnya untuk terus-menerus melakukan perbuatan dosa dan bertekad untuk mengulanginya lagi. Ini adalah bentuk dosa lain yang mungkin jauh lebih besar daripada dosa yang pertama tadi. Inilah hukuman atas perbuatan dosa, yaitu akan timbul dosa lain yang lebih besar daripada dosa yang pertama.(Tahdzib Madarij As Salikin hal. 122-123).
4. Meremehkan dosa kecil karena optimis kalau Allah tidak akan menampakkan dosanya dihadapan orang lain bahkan bermurah hati kepadanya.
Hal ini terjadi ketika pelaku dosa kecil terperdaya dengan sikap Allah yang akan menutupi dosa. Padahal dia tidak tahu itu semua hanyalah bentuk penundaan dari Allah. Bahkan dirinya menyangka kalau Allah ta’ala mencintai dan memuliakannya. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Yahudi seperti ucapan-ucapan yang mereka lontarkan sebagaimana yang Allah ceritakan. Orang-orang Yahudi mengucapkan:
نَحْنُ أَبْنَاءُ اللهِ وَ أَحِبَّاؤُهُ
“Kami adalah anak-anak dan kekasih-kekasih Allah.”(QS. Al Maidah: 18).
Allah ta’ala berfirman:
وَ يَقُوْلُوْنَ فِي أَنْفُسِهِمْ لَوْ لاَ يُعَذِّبَنَا اللهُ بِمَا نَقُوْلُ حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ يَصْلَوْنَهَا فَبِئْسَ المَصِيْرُ
“Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: Mengapa Allah tiada menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu? Cukuplah bagi mereka neraka yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.”
5. Membeberkan dosa yang telah ditutupi Allah dengan menceritakannya kepada orang lain.
Barang siapa yang telah melakukan dosa kecil padahal Allah telah menutupinya, kemudian dia membeberkan, menceritakan dan membicarakannya berarti dia telah membuat dosa kecil itu menjadi berlipat ganda karena ditambah dengan dosa-dosa lainnya. Orang yang mendengarkan cerita itu akan terdorong untuk melakukan dosa sebagaimana yang dilakukannya. Bahkan terkadang dirinya sendiri justru memberikan support kepada orang yang mendengarkannya agar mereka melakukan perbuatan dosa tersebut. Oleh karena itu kalau dilihat dari kaca mata ini dan yang lainnya maka dosa kecil itu bisa berubah menjadi dosa besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seluruh umatku akan mendapatkan ampunan kecuali orang yang terang-terangan berbuat kemaksiatan. Di antara bentuk kemaksiatan secara terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa pada malam hari. Allah lantas menutupi perbuatan tersebut, akan tetapi orang tadi justru mengatakan: Wahai fulan, semalam aku melakukan demikian dan demikian. Padahal pada malam harinya, Allah telah menutupi perbuatan tersebut sehingga orang itu melewati malam dan kesalahannya telah ditutupi Allah. Namun, pada pagi harinya diapun membuka tutup yang Allah berikan kepadanya.”(HR. Muslim, 18/412).
6. Pelaku dosa kecil itu adalah ulama’ yang menjadi panutan atau orang yang dikenal sebagai orang yang shalih.
Demikian itu, jika orang alim tersebut sengaja melakukan dosa kecil dengan menyombongkan diri dan berusaha membenturkan suatu dalil dengan dalil yang lainnya. Balasan orang yang demikian itu adalah dosa kecil yang dilakukannya akan berubah menjadi dosa besar. Akan tetapi kalau orang alim itu melakukan perbuatan dosa itu lantaran salah dalam memahami nash, emosi dan sebagainya maka dimaafkan. Terlebih lagi kalau dia melakukan amal perbuatan yang bisa menyebabkan adanya ampunan dari Allah.
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan: “Selain itu juga, orang yang dicintai dan orang yang memiliki amal yang besar akan mendapatkan ampunan yang tidak diberikan kepada orang lain. Dia akan mendapatkan kemurahan yang tidak diberikan kepada orang lain. Aku mendengar syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –semoga Allah mensucikan ruhnya– mengatakan: Perhatikanlah bagaimana Musa membuang lembaran-lembaran papan taurat sehingga pecah, padahal dalam lembaran-lembaran tersebut terdapat kalam Allah yang Dia tulis sendiri. Demikian juga Musa menarik jenggot nabi Harun dan menampar mata malaikat maut hingga tercukil. Dia juga mencela Allah pada malam isra’ mikraj karena meninggikan Muhammad lebih dari dirinya. Akan tetapi Allah ta’ala bersabar bahkan mencintai dan memuliakannya. Itu semua karena Musa melakukan berbagai pengorbanan yang begitu besar untuk memperbaiki kondisi Bani Israil. Kesalahan-kesalahan Musa di atas dibandingkan dengan amal kebaikannya berupa menghadapi musuh, bersungguh-sungguh untuk melaksanakan perintah Allah dan melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki keadaan bangsa Mesir itu bagaikan sehelai rambut di tengah lautan.
Perhatikanlah kisah nabi Yunus bin Mata. Lantaran dia tidak memiliki pengorbanan seperti nabi Musa. Karenanya Allah marah bahkan menyiksa dan memenjarakannya dalam perut ikan. Dia tidaklah bersabar kepadanya sebagaimana sikapnya kepada Musa. Oleh karena itu, barang siapa yang amal kebajikannya lebih berat daripada amal kejelekannya maka dia akan beruntung dan tidak akan disiksa. Kejelekan-kejelekannya akan hilang karena amal kebajikan yang dilakukannya”.(Tahdzib Madarij Salikin, hal. 186)
Referensi: Al ‘Ibadaat Al Qolbiyyah wa Atsaruha fi Hayatil Mu’minin ditulis oleh Dr. Muhammad bin Hasan bin ‘Uqail Musa Al-Syarif
Ditulis Oleh: Muhammad Fatwa Hamidan, B.A