Ibnul Jazari rohimahulloh merupakan sosok ulama fenomenal, khususnya dalam bidang ilmu tajwid & qiroat. Siapa yg tak mengenal Matan Jazariyah? sebuah karya legendaris yg amat menjamur di seluruh dunia. Bisa dikatakan bahwa hampir seluruh pengajar tajwid di belahan dunia tentu menjadikan matan satu ini sebagai referensi utama.
Berbagai karangan beliau yg lain pun sudah cukup banyak ditransfer dari bentuk manuskrip menjadi kitab yg bisa dinikmati oleh para pecinta Al-Quran. Mulai dari karya beliau yg pertama yaitu At Tamhid fi ilmi At Tajwid, Munjidul Muqriin, Matan Ad Durroh hingga An Nasyr yg merupakan referensi utama dalam ilmu qiroat.
Namun ada satu hal unik, sebagian besar pentahqiq berbagai kitab beliau tidak pernah menyinggung seputar akidah Imam Ibnul Jazari rohimahulloh dalam hasil penelitian mereka. Entah karena kemasyhuran beliau dikalangan para ulama salaf sehingga tak perlu dibahas lebih jauh lagi atau karena faktor yg lain.
Penulis sendiri pun tak pernah terbesit untuk membahas masalah ini hingga datanglah sebuah pertanyaan: “Benarkah Imam Ibnul Jazari rohimahulloh Bertabarruk di Makam Imam Asy Syafii?”.
Berawal dari hal diatas, maka pada tulisan kali ini kami berusaha memaparkan beberapa hal yg berkaitan dengan Akidah Imam Ibnul Jazari rohimahulloh melalui karya-karya beliau serta pendapat sebagian masyayikh yg pernah menyinggung hal tersebut.
Pertama: Perkataan Beliau seputar Akidah Salaf
Saat menelisik lebih jauh kedalam karya-karya beliau, akan kita dapati bahwa beliau menisbatkan dirinya kepada Akidah Salaf, diantaranya:
✅ Matan Thoyyibah
َفكُنْ عَلى نَهْجِ سَبِيلِ السَّلفِ … ِفى مُجْمَعٍ عَلَيْهِ أوْ مُخْتَلَفِ
“Hendaknya kita tetap berada diatas manhaj salaf, baik dalam permasalahan yg disepakati ataupun yg diperselisihkan”
✅ Kitab An Nasyr
Ditengah pembahasan seputar kewajiban mempelajari ilmu waqof & ibtida’, beliau berkata:
وَصَحَّ، بَلْ تَوَاتَرَ عِنْدَنَا تَعَلُّمُهُ وَالِاعْتِنَاءُ بِهِ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ كَأَبِي جَعْفَرٍ يَزِيدَ بْنِ الْقَعْقَاعِ إِمَامِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الَّذِي هُوَ مِنْ أَعْيَانِ التَّابِعِينَ وَصَاحِبِهِ الْإِمَامِ نَافِعِ بْنِ أَبِي نُعَيْمٍ وَأَبِي عَمْرِو بْنِ الْعَلَاءِ وَيَعْقُوبَ الْحَضْرَمِيِّ وَعَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ وَغَيْرِهِمْ مِنَ الْأَئِمَّةِ
“Dan telah shahih, bahkan sampai derajat mutawatir dari para Salafush Sholih bahwa merupakan sebuah kewajiban untuk mempelajari dan memberikan perhatian terhadapnya (ilmu waqof & ibtida’), seperti Abu Ja’far Yazid bin Al-Qo’qo’, imamnya penduduk Madinah yg merupakan seorang Tabi’in senior, serta sahabat dekat beliau Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim, kemudian Abu ‘Amr bin Al-‘Ala, Ya’qub Al Hadhromi, ‘Ashim bin Abi Najud serta ulama yg lain”.
dalam pembahasan lain, beliau juga menuturkan:
وَلَا يُعْدَلُ عَمَّا وَرَدَ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ، فَإِنَّمَا نَحْنُ مُتَّبِعُونَ لَا مُبْتَدِعُونَ.
“Dan kita tidak diperkenankan untuk melenceng dari apa yg telah disebutkan oleh para Salaf Ash Sholih, sebab kita berkewajiban untuk mengikuti mereka serta tidak membuat-buat perkara yg baru (bid’ah).
Saat menyinggung pendapat salah seorang ahli qiroaat dalam masalah mengulang Surat Al Ikhlas sebanyak 3 kali saat hendak mengkhatamkan Al-Quran, Ibnul Jazari menegaskan:
وَالصَّوَابُ مَا عَلَيْهِ السَّلَفُ لِئَلَّا يُعْتَقَدَ أَنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ وَلِهَذَا نَصَّ أَئِمَّةُ الْحَنَابِلَةِ عَلَى أَنَّهُ لَا يُكَرِّرُ سُورَةَ الصَّمَدِ
“Dan yg lebih tepat adalah pendapat para ulama terdahulu (tidak mengulang Al-Ikhlas sebanyak 3 kali saat hendak khatam), agar orang tidak beranggapan bahwa hal tersebut merupakan suatu amalan sunnah”.
Masih dalam kitab yg sama, beliau berkata:
وَالصَّحِيحُ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ أَوْلَى بِالِاتِّبَاعِ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّ الِابْتِدَاعِ.
“Apa yg shahih dari para ulama tentu lebih utama untuk kita ikuti. Semoga Allah ta’ala melindungi kita dari buruknya perkara bid’ah”.
Kedua: Pendapat Ibnul Jazari yg menyesihi Akidah Salaf
Dalam beberapa kesempatan, Ibnul Jazari rohimahulloh terlihat memiliki pendapat yg berbeda dengan para ulama salaf. Disini akan kami sebutkan 2 perkataan beliau yg paling masyhur:
Satu: Di akhir pembahasan seputar biografi Imam Asy Syafi’i rohimahulloh, beliau sebutkan:
ودفن يوم الجمعة بعد العصر وقبره بقرافة مصر مشهور, والدعاء عنده مستجاب, ولما زرته قلت:
زرت الإمام الشافعي … لأن ذلك نافعي
لأنال منه شفاعة … أكرم به من شافع
“Imam Syafii rohimahulloh dimakankan selepas ashar pada hari jumat, makam beliau yg terletak di daerah Qorofah Mesir sangatlah masyhur. Dan berdoa disamping makam beliau merupakan doa yg mustajab. Saat mengunjunginya, akupun membacakan syair:
Aku mengunjungi Imam Syafii
Karena hal tersebut memberiku manfaat
Agar aku mendapatkan syafaatnya
Alangkah mulianya beliau pemberi syafaat
Dua: Saat memaparkan biografi Abdulloh bin Al Mubarok rohimahulloh, beliau berkata:
وتوفي في شهر رمضان سنة إحدى وثمانين ومائة وقبره بهيت معروف يزار زرته وتبركت به
“Beliau wafat di bulan romadhon tahun 181 hijriyah, makan beliau terletak di Hit (sebuah daerah di Iraq) sangat masyhur dan dikunjungi banyak orang. Aku pun telah mengunjunginya sekaligus bertabarruk dengannya”.
Dua nukilan diatas tentu sudah cukup menjelaskan pendapat beliau seputar berdoa dan bertabarruk di makam orang sholeh. Kita tahu bersama bahwa para salaf as sholeh melarang dengan keras perkara tersebut. Sebab perbuatan diatas bukanlah sesuatu yg disyariatkan dalam islam, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama dalam fatwa mereka.
Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh pernah menuturkan:
“التبرك بها – يعني القبور – : إن كان يعتقد أنها تنفع من دون الله عز وجل فهذا شرك في الربوبية مخرج عن الملة ، وإن كان يعتقد أنها سبب وليست تنفع من دون الله : فهو ضال غير مصيب ، وما اعتقده فإنه من الشرك الأصغر ”
“Jika seseorang yg bertabarruk dengan kuburan berkeyakinan bahwa makam tersebut mampu memberikan manfaat selain dari kekuasaan Allah makan ia terjatuh kedala kesyirikan dalam lingkup rububiyyah yg membuatnya keluar dari agama islam. Adapun jika ia berkeyakinan bahwa makam tersebut hanyalah sebagai sebab dan bukan yg memberikan manfaat, maka ia telah jatuh kedalam kesesatan lagi sesat. Dan apa yg ia lakukan merupakan bentuk dari syirik kecil.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail Al Utsaimin).
Dan tentunya apa yg dilakukan oleh Ibnul Jazari rohimahulloh bukan termasuk kategori pertama. Hal tersebut terlihat dari perkataan beliau diatas bahwa beliau berdoa dan bertabarruk disana, bukan berdoa dan meminta kepada si mayyit.
Tanggapan terhadap Kesalahan Ibnul Jazari
Dalam kasus Ibnul Jazari rohimahulloh diatas, ada beberapa kemungkinan yg diutarakan sebagian masyayikh, diantaranya:
✅ Apa yg dilakukan oleh Ibnul Jazari rohimahulloh merupakan kesalahan yg beliau yakini saat masih cukup muda, sebab beliau baru berumur 44 tahun saat menulis kitab Ghoyah Wan Nihayah.
✅ Kesalahan diatas tertutupi dengan kebaikan Ibnul Jazari rohimahulloh yg amat besar terhadap umat ini melalui berbagai karya beliau yg amat menakjubkan. Dan sudah menjadi sunnatulloh bahwa tidak ada seorang manusiapun yg luput dari kesalahan sebagaimana tak ada gading yg tak retak. Oleh sebab itu, sikap kita terhadap kesalahan beliau sebagaimana sikap para ulama terhadap kesalahan ulama lain, seperti Imam Nawawi & Ibnu Hajar rohimahulloh dan sebagainya.
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafidzohulloh pernah berkata: “Tak ada seorang pun yg ma’shum sepeninggal Rasululloh shollallohu ‘alai wasallam. Oleh karenanya tak ada seorang ulama pun yg terbebas dari kesalahan. Dan barangsiapa jatuh pada suatu kesalahan, maka kita tidak mengikutinya pada kesalahan tersebut, sebagaimana kita tidak menjadikan kesalahannya tersebut sebagai bahan cacian serta boikot terhadapnya. Akan tetapi kesalahannya yg sedikit tersebut tertutupi oleh kebaikannya yg amat besar.
Maka siapapun diantara para ulama terdahulu yang jatuh dalam kesalahan hendaknya kita tetap mengambil faedah dari ilmunya sembari berhati-hati terhadap kesalahannya. Dan tak lupa kita mendoakan dan memohonkan rahmat untuknya”.
Kesimpulan
Jatuhnya seorang ulama kedalam sebuah kesalahan tidak lantas menjadikan kita enggan untuk mengambil manfaat dari ilmunya, tak terkecuali Ibnul Jazari rohimahulloh. Terlebih lagi hampir tidak kita dapati ada ulama yg memberikan komentar terhadap akidah imam Ibnul Jazari. Hal ini bisa jadi lantaran kesalahan tersebut beliau lakukan saat masih cukup muda. Dan selama 38 tahun setelahnya beliau masih sibuk menyelami lautan ilmu yg memberikan kemungkinan besar bahwa beliau sudah kembali kepada manhaj salafus sholeh sebagaimana yg tersirat dari 2 karya beliau setelahnya: Matan Thoyyibah dan Kitab An Nasyr.
Diantara hal yg juga membuat kita harus bersikap lemah lembut terhadap Ibnul Jazari rohimahulloh ialah fakta bahwa sanad berbagai Qiroat yg ada di dunia sekarang ini baik Sab’ah ataupun Asyroh, semuanya sampai kepada kita melalui jalur Ibnul Jazari rohimahulloh ta’ala.
Semoga Allah subhanahu wata’ala mengampuni kesalahan kita semua serta memasukkan kita kedalam surga firdausNya, Amiin.
Wallahu a’lam.
Referensi:
1. An Nasyr, Ibnul Jazari
2. Thoyyibah An Nasyr, Ibnul Jazari
3. Ghoyah An Nihayah, Ibnul Jazari
4. Rifqon Ahlis Sunnah bi Ahlis Sunnah, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad
Oleh: Afit Iqwanuddin, Lc. (Alumni PP. Hamalatul Quran dan Mahasiswa pascasarjana Ilmu Qiroat Universitas Islam Madinah)
Artikel: hamalatulquran.com