Ada sebuah kisah unik yang disebutkan oleh Yaqut Al-hamawi rohimahulloh dalam kitab beliau yang berjudul Mu’jam Al-Udaba. Sebuah kisah antara Ibnu Mujahid Al-Muqri’ sang pengarang kitab As-Sab’ah yang masyhur dan seorang ahli fiqh yang bernama Abu Said Al-Humdaiji rohimahumalloh.
Diceritakan bahwa Abu Said kerap mengunjungi Ibnu Mujahid yang selalu dikelilingi oleh murid-murid yang hendak talaqqi. Setiap kali datang, Ibnu Mujahid selalu memberikan perlakuan istimewa kepada ahli fiqih satu ini karena keilmuannya. Hingga tiba suatu masa dimana Abu Sa’id tak lagi sanggup membendung keinginannya untuk talaqi kepada sang Muqri’.
Mendengar permintaan tersebut, Ibnu Mujahid lantas berkata:
“Jika engkau memang hendak talaqqi kepadaku, maka silahkan mengambil posisi layaknya seorang penuntut ilmu yang hendak belajar”.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, Abu Sa’id bergegas duduk dihadapan Ibnu Mujahid layaknya seorang murid yang akan memperdengarkan bacaannya.
Abu Said lalu memulai tilawahnya. Namun tanpa disangka, baru beberapa detik membaca basmalah, Ibnu Mujahid langsung menegurnya.
“Apakah seperti ini bacaan Al-Quranmu?” tanyanya dengan penuh keheranan
Ternyata bacaan Abu Sa’id tak jauh berbeda dengan orang awam yang kurang memahami ilmu tajwid. Menyadari hal tersebut, Ibnu Mujahid lantas mengarahkannya kepada salah satu muridnya:
“Pergilah kepada orang disana itu, ia akan mengajarimu (tahsin). Barulah setelah itu kembali kepadaku untuk talaqqi.”
Kejadian tersebut sukses membuat Abu Said tersipu malu. Terlebih lagi, sejak detik itu Ibnu Mujahid mencabut perlakuan istimewanya kepada Abu Sa’id lantaran mengetahui kualitas bacaannya.
Banyak faidah yang bisa kita ambil dari kisah singgkat diatas, diantaranya ialah:
1. hendak berguru kepada seseorang, seyogyanya kita memposisikan diri sebagai murid. Meskipun bisa jadi orang yang menjadi guru kita adalah teman sebaya atau bahkan lebih muda dari kita. Sebab, seorang penuntut ilmu diharuskan untuk menghiasi diri dengan berbagai adab mulia.
2. Fokus dalam satu bidang ilmu bukan berarti meninggalkan bidang ilmu lain secara total. Sebab seorang muslim dituntut untuk memahami berbagai bidang ilmu dengan kadar tertentu. Seorang ahli fiqih diharuskan untuk memahami ilmu tajwid dengan baik. Sebab Allah ta’ala memerintahkan setiap muslim untuk membaca Al-Quran dengan tartil. Sama halnya dengan seseorang yang fokus belajar ilmu qiroat, ia juga dituntut untuk memahami fiqh agar ibadah yang ia kerjakan sesuai dengan apa yang Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam contohkan.
Wallahu a’lam.
Adakah faidah lain yang antum dapat dari kisah diatas?
***
Ditulis oleh: Afit Iqwanuddin, Lc.
(Alumni dan mahasiswa Pascasarjana Jurusan Ilmu Qiroat, Fakultas Al Quran, Universitas Islam Madinah)