“Bersama pena dan tinta sampai mati.”
Pesan Imam Ahmad bin Hambal.
Ya, menuntut ilmu tidak mengenal usia. Bukan aib apabila seseorang memulai karirnya sebagai penuntut ilmu di usia senja. Karena ilmu tidak dibatasi oleh waktu maupun umur. Orang tua pun tetap membutuhkan ilmu, agar dapat berakidah, beribadah dan bermualah berdasarkan ilmu, bukan semata prasangka dan hawa nafsu.
Dalam hal ini, tak sedikit potret dari para tokoh generasi di masa silam yang bisa dijadikan sebagai tauladan. Sahabat nabi, misalnya. Allah meyampaikan agamaNya Melalui perantara sahabat, setelah wafatnya baginda rasulullah shallallahu alaih wasallam. Padahal, banyak dari mereka yang mulai menuntut ilmu di usia dewasa, atau usia tua.
imam Al Bukhari pernah menyatakan,
وَقَدْ تَعَلَّمَ أَصْحَابُ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي كِبَرِ سِنِّهِمْ
“Sahabat-sahabat nabi shalllallahu alaih wasallam mulai belajar di usia tua.” (Sahih Al Bukhari, kitab Al ‘Ilm, bab. Al Ightibath fi al ‘ilmi wa al hikmah)
Ini merupakan potret terbaik untuk generasi yang datang setelahnya. Umur tua tidak menjadi penghalang bagi mereka dalam menuntut ilmu. Umur tua tidak menjadi alasan untuk mengatakan,”Sudah terlanjur tua.” Dan Umur tua tidak menjadi alasan bermalas-malasan untuk terus menimba luasnya ilmu.
Demikian pula para ulama. Mereka menjadikan sahabat sebagai tauladan besar dalam kehidupan mereka. Di antaranya dalam hal menuntut ilmu, hingga menjadi contoh terbaik sepanjang masa dalam hal menuntut ilmu, setelah sahabat nabi shallalahu alaih wasallam.
Hasan bin Ziyad, seorang ulama fikih yang mulai mendalami ilmu fikih di usia tua.
Az Zarnuji mengatakan,
دَخَلَ حَسَنُ بْنُ زِيَادٍ فِي التَفَقُّهِ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِيْنَ سَنَةً
“Hasan bin Ziyad mulai menyelami ilmu fikih di usia delapan puluh tahun.”
Hal semakna di nukil dari Ibnu Al Jauzi, bahwa Ia membaca qiraat al Asyrah di usia delapan puluh tahun.
Adz Dzahabi menuturkan,
وَقَدْ قَرَأَ بِوَاسِط وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِيْنَ سَنَةً بِالعَشْرِ –أَيْ بِالقِرَاءَاتِ القُرآنِيَّةِ العَشَرَةِ- عَلَى ابْنِ البَاقِلاَّنِي
“Pada usia delapan puluh tahun, Ibnu Al Jauzi membaca qiraat Al Asyrah kepada ibnu Al Baqillani, di Wasith (kota di Irak).”
Setinggi apakah semangat mereka, hingga mampu mengalahkan semangat para pemuda?
Ya, memang terkadang semangat di usia tua lebih tinggi dan besar di banding usia muda.
Ibnu ‘Aqil pernah menceritakan tentang dirinya,
وَإِنِّي لَأَجِدُ مِنْ حِرْصِي عَلَى العِلْمِ وَأَنَا فِي عَشْرٍ مِنَ الثَمَانِينَ أَشَدَّ مِمَّا كُنْتُ أَجِدُهُ وَأَنَا ِفي ابْنِ عِشْرِيْنَ.
“Sungguh, kutemukan semangatku -dalam menuntut ilmu- di usia delapan puluhan, lebih besar dibanding ketika usiaku dua puluh tahun.“
Mudah-mudahan kita mampu menjadikan para pendahulu saleh sebagai tauladan baik, hingga bisa meniru secercah dari banyaknya kebaikan mereka.
والحمد لله أولا وآخرا وظاهرا وباطنا
______
Referensi :
Uluwwul Himmah, Muhammad Ismail Al Muqaddami, hal. 202.
***
Ditulis oleh: Abu Hurairah, BA.
(Alumni PP. Hamalatulqur’an Yogyakarta, S1 fakultas Hadis Univ. Islam Madinah KSA. Saat ini sedang menempuh studi S2 prodi ilmu hadis, di universitas dan fakultas yang sama).