Takwa merupakan bekal penting untuk menghadapi hari akhir, karena takwa merupakan penentu kebermanfaatan segala hal di dunia, seperti harta dan kekuasaan. Disebut penentu kebermanfaatan karena harta atau kekuasaan yang tidak diliputi dengan takwa -sebagaimana realita yang ada- menjadi perusak seseorang.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Qs. Al-Baqaran [2]: 197
وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
“Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk bertakwa dimanapun berada, dalam riwayat At-Tirmidzi dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari dan Muadz bin Jabbal radhiyallahu ‘anhuma nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dimanapun engkau berada. Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya (kejelekan). Dan pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.”[1]
Dalam hadis riwayat imam Bukhori dari sahabat Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu nabi Shalallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Takutlah akan neraka walau dengan (sedekah) sebiji kurma, jika tidak memilikinya maka (dengan) berkata yang baik.”[2]
PENGERTIAN TAKWA
Secara bahasa takwa berasal dari kata al-Ittiqa’ yang berarti mencegah, maksudnya menjadikan antara ia dan sesuatu yang ditakutinya sebuah penghalang. Maka maksud bertakwa kepada Allah adalah menjadikan antara ia dan murka Allah penghalang dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi apa yang Allah larang. Ada pula yang menjelaskan takwa hanya mencakup menghindari apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala[3].
Para ulama mendefinisikan takwa dengan berbagai pengertian. Penjelasan makna takwa terbaik menurut Ibnu al-Qayyim, Adz-Dzahabi, Syaikh al-Islam dan juga Ibnu Rajab adalah pengertian yang dipaparkan oleh Talq bin Habib[4]
التقوى عمل بطاعة الله رجاء رحمة الله على نور من الله و التقوى ترك معصية الله مخافة الله على نور من الله
“Engkau beramal/taat atas perintah Allah mengharap rahmat Allah dengan (memiliki) cahaya Allah dan engkau tinggalkan maksiat kepada Allah karena takut kepada Allah dengan (memiliki) cahaya Allah.”[5]
PENJELASAN PENGERTIAN
Definisi takwa yang dipaparkan Talq bin Habib memiliki beberapa point;
Pertama, takwa adalah beramal, melakukan perbuatan baik, melakukan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
Kedua, tujuan dalam amal adalah mengharap pahala dari Allah
Ketiga, dalam melakukan ketaatan harus memiliki cahaya Allah, yang berarti 1) iman 2) ilmu
Keempat, takwa juga berarti meninggalkan yang Allah larang
Kelima, meninggalkan maksiat dengan dasar takut terhadap adzab Allah subhanahu wa ta’ala
Amal shaleh atau perbuatan baik yang tidak berdasarkan ilmu atau pelakunya tidak memiliki iman bukan disebut ketakwaan, atau ia beriman dan berilmu – mengetahuai bahwa amalan yang ia kerjakan ada tuntunannya, namun tujuannya untuk dipuji manusia, ini juga bukan takwa.
Hal serupa berlaku pada perbuatan buruk yang ditinggalkan oleh seorang hamba. Tidaklah disebut dengan takwa sampai ada dalam hatinya iman dan ia mengetahui bahwa apa yang ia tinggalkan adalah hal yang dilarang serta tujuan dari meninggalkan keburukan bukan karena manusia atau maslahat dunia, akan tetapi lillahi ta’ala karena Allah subhanahu wa ta’ala.
Nabi menjelaskan tentang letak takwa dalam riwayat imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah
التَّقْوَى هَاهُنَا – وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Takwa letaknya disini – beliau menuntuk dadanya 3x (tiga kali)”[6]
Baik dimata manusia, belum tentu baik disisi Allah, karena letak takwa ada di hati, tidak ada yang bisa mengerti isi hati seorang manusia kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka, takwa adalah melakukan ketaatan atau meninggalkan keburukan atas dasar iman dalam hati dan ilmu atas perkara tersebut, semua dilakukan dengan tujuan mengharap rahmat-Nya atau takut akan siksa-Nya. Bukan karena manusia, kesehatan atau perkara dunia lainnya, tapi lillahi ta’ala.
[1] Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, no. 1987
[2] Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhori, Shahih al-Bukhori, (Beirut: Dar Ibn Katsir), no. 1417, hlm. 344
[3] al-Ahmad Nukri, Dustur al-Ulama’ Jami’ al-Ulum fi Isthilahati al-Funun, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), Juz 1, hlm. 232
[4] Abd al-Razzaq bin Abd al-Muhsin al-Badr, Al-Tuhfatu al-Saniyah Syarh al-Mandzumah ibn Abi Dawud al-Haiyyah, Juz 1, hlm. 22.
[5] Abu Syaibah al-‘Absi al-Kufi, Al-Mushonnaf Libni Abi Syaibah, (Beirut: Dar al-Qurtubah), Juz 15, no. 30993, hlm 599.
[6] Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyyah), no. 2564, hlm. 1035.
Ditulis Oleh: Muhammad Fahmi Izzuddin, S.Ag
Artikel: HamalatulQuran.Com