Bismillah…
Ketetapan kauniy Allah pasti berlaku. Baik buruk, Suka duka, Manis pahit. Semua merupakan ketentuan yang tak dapat dihindari. Ingat, ini bukan tentang apa yang kita inginkan. Tetapi tentang apa yang harus kita jalani sebagai bagian dari ketetapan-Nya. Pilihan kita hanyalah ridha terhadap ketentuan-Nya. Sebab, seberat apapun yang terjadi, sesedih apapun yang dirasakan, pilihan-Nya tetap yang terbaik bagi setiap hamba. Karenanya, akan ada hikmah dibalik ketetapan-Nya.
Sebagaimana kita ridha terhadap ketetapan kauniy Allah, demikian juga kita harus rida terhadap ketetapan-Nya yang bersifat syar’i. Kita harus tunduk dan patuh terhadap ketetapan tersebut.
Di Antara ketetapan Allah yang bersifat syar’i adalah keharusan beribadat kepada-Nya, menyembah dan mentauhidkan-Nya.
Allah ta’ala berfirman,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaknya kamu benar-benar berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al Isra: 23)
Kemudian, Allah ta’ala tidak akan membiarkan kita meniti jalan untuk beribadat kepadaNya tanpa ada penunjuk jalan. Sebab, kita tak tahu jalan manakah yang akan menuntun kita sampai kepadaNya. Maka dari itu, Allah utus seorang rasul agar menuntun kita ke jalan yang lurus. Jalan yang diridhaiNya.
Bila demikian, maka wajib bagi kita mengikuti rasul tersebut. Mentaati, dan meniti jejaknya supaya tidak tersesat di jalan, dan bisa sampai tujuan.
Dari sinilah, mengapa Amal ibadah yang ditujukan kepada Allah ta’ala harus sesuai tuntunan rasul shallallahu alaih wasallam.
Allah berfirman,
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan apapun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al Kahfi: 110)
Para ulama menarik kesimpulan dari ayat di atas, bahwa amal ibadah seorang hamba bisa diterima bila memenuhi dua syarat:
Pertama. Ikhlas
Kedua. Sesuai dengan tuntunan nabi shallallahu alaih wasallam.
Kata Al Hafidz ibnu Katsir,
وَهَذَانَ رُكْنَا الْعَمَلِ الْمُتَقَبَّلِ، لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ خَالِصًا لِلَّهِ، صَوَابًا عَلَى شَرِيعَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
“Kedua hal ini merupakan asas amal yang diterima. Yaitu, (Pertama) hendaknya murni karena Allah. (kedua) sesuai dengan ketetapan syariat rasulullah shallallahu alaih wasallam.” (Tafsir ibnu katsir 5/205)
Demikian juga makna yang terkandung dalam ayat kedua surat Al Mulk, sebagaimana tafsiran Fudhail bin ‘Iyadh.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ
“(Dia Tuhan) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Kata Fudhail bin ‘Iyadh,
أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ قَالُوا: يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ؟ قَالَ: إِنَّ الْعَمَلَ إِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لمَ ْيُقْبَلْ وَإِذَا كَانَ صَوَاباً وَلَم ْيَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُوْنَ خَالِصًا صَوَابًا
“Yang paling ikhlas (murni karena Allah) dan paling benar (sesuai dengan sunnah). Para sahabatnya lantas bertanya: wahai Abu ‘Ali, apa maksud paling ikhlas dan paling benar? Kata beliau: Apabila amalan itu ikhlas, namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Demikian pula sebaliknya, jika amalan itu benar, namun tidak ikhlas, maka tak akan diterima, sampai amalan itu ikhlas dan benar.”
(lihat : Majmu’ Al Fatawa ibnu Taimiyah 1/333)
Sesuai Tuntunan Rasulullah shallallahu alaih wasallam.
Syekh ibnu Utsaimin menerangkan bahwa ibadah harus sesuai dengan tuntunan nabi shallallahu alaih wasallam dalam enam aspek (lihat al ‘Ibda’ fii Bayani Kamali asy Syar’i wa khatari al ‘Ibtida’, hal. 21-23):
1. Sebab.
Misalnya, salat tarawih di malam ramadan. Tibanya bulan suci Ramadan menjadi sebab kita menghidupkan malam-malam ramadhan dengan salat tarawih.
2. Jenis.
Misalnya, berkurban dengan al an’am (hewan ternak; kambing, domba, sapi dan unta).
3. Kadar.
Misalnya, salat subuh dua rakaat. Dhuhur empat rakaat, dsb.
4. Tata Cara.
Misalnya, tartib/urut dalam mencuci anggota tubuh dalam wudhu. Thawaf dengan menjadikan kabah di arah kiri.
5. Waktu.
Misalnya, waktu berkurban mulai 10 dzulhijjah sampai dengan 13 dzulhijjah.
6. Tempat.
Misalnya, I’tikaf di masjid.
Kesimpulan
Ibnul Qayyim rahimahullah membagi amal seorang hamba menjadi empat macam. Kata beliau,
وَالْأَعْمَالُ أَرْبَعَةٌ: وَاحِدٌ مَقْبُولٌ، وَثَلَاثَةٌ مَرْدُودَةٌ؛ فَالْمَقْبُولُ مَا كَانَ لِلَّهِ خَالِصًا وَلِلسُّنَّةِ مُوَافِقًا، وَالْمَرْدُودُ مَا فُقِدَ مِنْهُ الْوَصْفَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا
“Amal terbagi menjadi empat. Satu diterima. Sedangkan sisanya tertolak.
1. Amal yang ikhlas dan sesuai tuntunan sunnah (√).
2. Amal yang tidak ikhlas dan tidak sesuai tuntunan sunnah (X).
3. Amal yang ikhlas, tetapi tidak sesuai tuntunan sunnah (X).
4. Amal yang sesuai tuntunan sunnah, tetapi tidak ikhlas (X).
(I’lam al Muwaqqi’in, 2/124).
Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.
***
Ditulis oleh: Abu Hurairah, BA
(Alumni PP. Hamalatulqur’an Yogyakarta, S1 fakultas Hadis Univ. Islam Madinah KSA. Saat ini sedang menempuh studi S2 prodi ilmu hadis, di universitas dan fakultas yang sama).
Hamalatulquran.com