I’tikaf adalah salah satu amalan sunah yang perlu diperhatikan oleh umat muslim. Seorang menghabiskan waktu di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Ibadah ini biasa dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, meskipun I’tikaf dapat dilakukan kapan saja selama memenuhi syarat tertentu.
Dalam praktiknya, i’tikaf tidak hanya berupa ibadah yang bersifat ritual, melainkan sarana untuk memperbanyak zikir, membaca Al-Qur’an dan berdoa serta menjauhkan diri dari kegiatan duniawi yang dapat mengganggu ketenangan jiwa.
Tujuan utama i’tikaf adalah untuk memperoleh kedekatan dengan Allah ta’ala, meningkatkan kualitas spiritual dan meraih ketenangan batin.
Dalam kitab sahih Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Bahwasannya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan sampai meninggal dunia, kemudian para istri nabi i’tikaf setelah wafatnya nabi.”[1]
I’tikaf adalah syariat yang telah sejak zaman nabi Ibrahim ‘alaihi salam, Allah ta’ala berfirman,
وَعَهِدْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ
“Kami wasiatkan kepada Ibrahim dan Ismail, sucikanlah rumah-Ku untuk orang yang tawaf, i’tikaf, rukuk dan sujud.”[2]
Disebutkan pula dalam shahihain dari Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya pada masa jahiliyyah aku bernazar untuk i’tikaf satu malam di masjidilharam” Rasulullah bersabda, “Penuhilah nazarmu!”[3]
Hadis ini menunjukkan bahwa syariat i’tikaf telah dikenal sebelum diutusnya nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam
PENGERTIAN I’TIKAF
I’tikaf menurut bahasa Arab bermakna ‘membersamai sesuatu’. Sedangkan secara istilah mermakna ‘senantiasa berada di masjid untuk taat kepada Allah ta’ala.
I’tikaf disyariatkan untuk laki-laki dan perempuan. Bolehnya perempuan i’tikaf manakala ada jaminan aman dan selamat dari gangguan atau fitnah. Disebutkan bahwa istri-istri nabi i’tikaf bersama beliau di masjid.
Waktu terbaik untuk melakukan i’tikaf adalah sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Diantara alasannya adalah karena Allah ta’ala menyebutkan ayat berkenaan dengan i’tikaf diakhir ayat-ayat puasa. Demikian pula praktik nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau i’tikaf pada akhir Ramadan.
HIKMAH I’TIKAF
Hikmah disyariatkannya i’tikaf antara lain; terputusnya dari kesibukan dunia, fokus dalam beribadah serta berpeluang besar menjumpai lailatul qodr dalam keadaan beribadah kepada Allah. Manusia ketika sibuk dalam hidup, hatinya mengeras dan lalai sehingga membutuhkan adanya waktu fokus dengan ibadah dan melepas kesibukan dunia yang tidak pernah berakhir.
Ibnul Qoyyim menyampaikan, “Nabi mensyariatkan umatnya untuk i’tikaf, sebuah ibadah dengan spirit mendekatkan hati agar fokus tertuju kepada Allah, sepi-sepi bersama Allah dan memutuskan diri dari kesibukan dengan makhluk dan hanya sibuk dengan Allah semata.”[4]
WAKTU DAN SYARAT I’TIKAF
Tidak ada batas waktu minimal seorang i’tikaf, maka sah walaupun hanya berdiam beberapa saat. Ketika menurut budaya masyarakat dalam waktu tertentu seorang sudah dikatakan berdiam di masjid, maka sudah bisa dianggap i’tikaf. Berdasarkan hal ini, jika tidak memungkinkan bagi sebagian orang untuk i’tikaf pada keseluruhan sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan namun memungkinkan ia untuk i’tikaf di sebagian malam, maka boleh seorang i’tikaf di sebagian malam terutama pada malam-malam yang diharapkan lailatul qodr.
Syarat sah i’tikaf ada dua;
Pertama, i’tikaf harus dilakukan di masjid.
Boleh pula dilakukan di tempat salat yang tidak digunakan untuk salat Jum’at seperti langgar, surau, dan sebagian musala. Sehingga apabila seorang i’tikaf di masjid yang tidak digunakan untuk salat Jum’at lalu tiba waktu salat Jum’at ia boleh keluar menuju masjid untuk salat Jum’at lalu kembali ketempat i’tikafnya dan tidak dinilai batal. Selain itu tidak sah i’tikaf di rumah. Jika seorang wanita ingin i’tikaf maka harus ke masjid atau yang semisalnya.
Para ulama fikih menyebutkan halaman masjid yang dikelilingi pagar, berlaku hukum masjid. Sehingga sah dan boleh i’tikaf di tempat tersebut. Akan tetapi jika halaman masjid tidak dilingkupi pagar, maka tidak berlaku hukum masjid dan tidak sah i’tikaf di halaman masjid tersebut.
Kedua, tinggal dan berada di masjid.
Seorang yang i’tikaf haruslah tinggal dan berada di masjid dalam waktu tertentu. Meninggalkan masjid untuk orang yang i’tikaf memiliki beberapa keadaan.
Keadaan pertama, keluar dari masjid dengan tujuan yang penting dan mendesak seperti buang hajat. Maka dibolehkan seorang yang i’tikaf untuk keluar masjid dalam rangka melakukan kebutuhan mendesak dan tidak membatalkan i’tikafnya.
Keadaan kedua keluar masjid karena sesuatu yang penting namun tidak mendesak, seperti menjenguk orang sakit, mengantar jenazah atau yang semisalnya. Jika seorang ingin keluar untuk menjenguk orang sakit atau menghadiri jenazah orang yang ia memiliki hak untuk ditunaikan semisal ayah atau ibu sendiri maka tidak mengapa keluar. Adapun jika pihak tersebut tidak memiliki hak yang ditekankan, maka keluar masjid membatalkan i’tikafnya.
Keadaan ketiga, orang yang keluar masjid untuk melakukan hal-hal yang tidak dibutuhkan atau tidak diperintahkan secara syari’at, seperti pekerjaan atau hal duniawi lainnya maka keluar masjid membatalkan i’tikafnya. Berdasarkan hal ini seorang yang berkerja pada siang hari dapat i’tikaf pada malam hari, lalu siang hari ia keluar untuk bekerja namun terputus i’tikafnya dan ia bisa kembali pada malam hari untuk i’tikaf dengan niat yang baru, demikian seterusnya.
HAL YANG MEMBATALKAN I’TIKAF
Ada dua hal yang membatalakan i’tikaf; keluar dari masjid dan jima’ atau muqoddimah jima’. Allah ta’ala berfirman,
وَلَا تُبَاشِرُوۡهُنَّ وَاَنۡـتُمۡ عٰكِفُوۡنَ فِى الۡمَسٰجِدِؕ
“Janganlah kalian menyetubuhi istri sedang kalian dalam keadaan i’tikaf.”[5]
Ayat ini mengisyaratkan jima’ dan hal-hal pengantar jima’ membatalkan i’tikaf.
Selayaknya orang yang i’tikaf menyibukkan diri untuk taat kepada Allah. Perkara agung yang menyibukkan diri seroang hamba untuk taat kepada Allah adalah salat. Sebagaimana nabi salat pada malam ketika beliau i’tikaf.
Menjadi kewajiban orang yang i’tikaf untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang menyibukkan diri dari ibadah. Seperti bermain media sosial, main gawai, sibuk komunikasi menggunakan telepon atau sibuk berbincang dengan orang yang juga berada di masjid.
Diantara masalah yang muncul ketika i’tikaf adalah hukum mememasan makanan dengan gawai di dalam masjid. Karena adanya hadis yang melarang transaksi di dalam masjid. Maka kasus ini perlu dirinci.
Pertama, jika seorang memesan makanan melalui aplikasi di gadget dengan sistem bayar ketika kurir restoran datang, maka hal ini tidak mengapa. Karena pada hakikatnya saat ia memesan belum terjadi akad jual beli, pihak pemesan bisa membatalkan demikian pula pihak restoran. Hal ini tidak dianggap transaksi atau terjadi akad jual-beli, akad jual-beli baru terjadi ketika kurir datang mengantar makanan dan pihak pemesan membayar.
Kedua, jika pembayaran dilakukan sebelum makanan datang dan tidak mungkin menarik kembali nominal yang telah diserahkan, maka ini telah dianggap jual beli, sehingga pesan menggunakan aplikasi dengan model semacam ini semestinya dilakukan di luar masjid.
Wallahu a’lam
Referensi: Kitab Uqud al-Juman fii Durus Syahri Ramadhan karya Syeikh Sa’ad al-Khotslani
[1] Hr. Bukhori no. 2026 dan Muslim no. 1172
[2] Qs. Al-Baqarah [2]:125
[3] Hr. Bukhori no. 6697 dan Muslim no. 1656
[4] Zad al-Ma’ad (2/83)
[5] Qs. Al-Baqarah [2]:187
Ditulis Oleh: Fahmi Izuddin, S.Ag