Bismillah…
Abu Darda’ radhiyallahuanhu, sahabat Rasulullah shallallahualaihi wa sallam yang paling akhir masuk Islam dari kalangan kaum Anshor. Nama asli beliau adalah, Uwaimir bin Zaid bin Qois, berasal dari suku Khazraj. Beliau dikenal sebagai sahabat ahli dalam hal Al Quran. Sampai Anas bin Malik radhiyallahuanhu pernah menceritakan,
مَاتَ النَّبِيُّ صلي الله عليه وسلم وَلَمْ يَجْمَعْ الْقُرْآنَ غَيْرُ أَرْبَعَةٍ: أَبُو الدَّرْدَاءِ، وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأَبُو زَيْدٍ
Sepeninggal Nabi shallallahualaihi wa sallam tak ada seorangpun yang dapat mengumpulkan Al Quran (secara sempurna) kecuali empat orang : Abu Darda, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.
Pembaca yang Allah muliakan…
Kita semua familiar dengan halaqot-halaqot tahfidz yang menjamur di negeri ini. Bahkan di dunia pesantren tahfidz, dalam mengajarkan Al Quran kepada para santri, tak lepas dari metode ini. Yakni sekumpulan siswa yang dibina oleh seorang ustadz atau musyrif. Sang ustadz/musyrif menerima setoran hafalan dan membenarkan bacaan yang keliru.
Menariknya, ternyata metode ini dicetuskan dan dipopulerkan oleh seorang sahabat yang mulia, bernama Abu Darda’ radhiyallahuanhu.
Sahabat Abu Darda’ pernah menjabat sebagai hakim agung di Damaskus. Saat beliau menetap di Damaskus, beliau membuka halaqot-halaqot tahfidz untuk masyarakat Damaskus, negeri Syam dan sekitarnya, di masjid agung kota Damaskus.
Mari kita simak cerita dari Suwaid bin Abdulaziz rahimahullah berikut,
كان أبو الدرداء إذا صلى الغداة في جامع دمشق اجتمع الناس للقراءة عليه ، فكان يجعلهم عشرة عشرة ، وعلى كل عشرة عريفا، ويقف هو في المحراب يرمقهم ببصره ، فإذا غلط أحدهم رجع إلى عريفه ، فإذا غلط عريفهم رجع إلى أبي الدرداء يسأله عن ذلك
“Dahulu Abu Darda bila selesai sholat subuh di masjid agung Damaskus, orang-orang berkumpul untuk membacakan bacaan qurannya kepada beliau. Beliau mengelompokkan mereka, masing-masing kelompok beranggota sepuluh orang. Pada setiap kelompoknya ada seorang pembimbing (musyrif).
Abu Darda duduk di mihrab masjid sambil mengawasi jalannya halaqot tahfidz. Jika ada kesalahan bacaan dialami oleh anggota halaqot, mereka ia tanyakan ke pembimbing halaqot. Jika para pembimbing halaqot keliru (atau tak mampu menjawab), mereka tanyakan kepada Abu Darda, untuk menanyakan masalah tersebut.”
(Lihat: Ma’rifatul Qura’ Al Kibar, hal. 125)
Lihatlah bagaimana kepiawaian Abu Darda dalam mengajarkan Al Quran. Sebuah metode yang sangat efektif untuk dipergunakan dalam pembelajaran Al Quran. Terlebih saat jumlah murid banyak, yang tak memungkin seorang guru memegang atau membina mereka secara langsung.
Dengan menggunakan metode Abu Darda ini, cukup sang guru mendidik sejumlah siswa yang potensial. Lalu setelah dirasa siswa itu mampu memegang halaqot, ia tugasi untuk membina teman-temannya di halaqot. Adapun sang guru cukup mengawasi jalannya halaqot tahfid dan bersiaga bila-bila ada musyrif halaqot yang bertanya tentang tajwid atau tafsir kepadanya dll.
Memang berapa jumlah santri Abu Darda kala itu?
Biarlah salah seorang murid Abu Darda, bernama Ibnu Musykim rahimahullam yang menceritakannya sendiri,
قال لي أبو الدرداء: اعدد من يقرأ عندي القرآن ، فعددتهم ألفا وستمائة ونيفا، وكان لكل عشرة منهم مقرىء
Abu Darda pernah berkata kepadaku, ”Tolong hitungkan berapa jumlah orang yang belajar Al Quran kepadaku..”
Setelah saya hitung ternyata jumlah mereka mencapai kisaran 1600 an. Setiap 10 diantara mereka, dibimbing oleh seorang muqri’ (orang yang pandai membaca quran). (Lihat: Ma’rifatul Qura’ Al Kibar, hal. 125)
Luas biasa sangat banyak…
Semoga Allah melimpahkan ridho dan rahmadnya untuk sahabat yang mulia Abu Darda. Dari metode yang beliau cetus ini, banyak orang terbantu menguasai Al Quran. Semoga Allah membalas jasa beliau dengan sebaik-sebaik balasan.
Nabi kita shallallahualaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Siapa yang mencontohkan sunah yang baik di dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakan sunah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka.
Dan siapa yang mencontohkan sunah yang buruk di dalam Islam, maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakan sunah yang buruk itu setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka para pelakunya sedikitpun. (HR. Muslim).
Demikian… Wallahua’lam bis showab.
***
Yogyakarta, 27 Jumadal akhir 1439 H.
Ditulis oleh : Ahmad Anshori
Hamalatulquran.com