Orang tua memiliki peran besar terhadap terciptanya kebahagiaan pada sang anak. Mulai dari tercapainya pendidikan, kebutuhan sehari-hari yang mencukupi, dan lingkungan serta tempat tinggal yang nyaman. Tapi terkadang dalam hal yang menyangkut urusan hati, orang tua pun juga ingin ikut ambil peran. Salah satunya adalah memilihkan calon pasangan hidup untuk anaknya.
Apabila sang anak memiliki kecondongan hati kepada seseorang yang tidak sama dengan pilihan orang tua, maka dalam hal ini ada dua rincian.
Pertama, Jika calon yang dipilihkan orang tua adalah calon yang menurut mereka agama dan akhlaqnya bagus, maka sebaiknya menerima pilihan tersebut karena orang tua hakikatnya sedang menerapkan hadits Nabi Muhammad Shallallohu Alahi Wasallam:
إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِينَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوه تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Jika seorang laki-laki datang kepada kalian (para wali) yang laki-laki itu kalian ridhai akhlak dan agamanya maka nikahkanlah ia, kalau tidak maka akan dapat menimbulkan fitnah di muka bumi dan juga kerusakan” (HR. Ibnu majah no.1968)
Hadis di atas menunjukkan bahwa orang tua/wali diperintahkan untuk menerima seorang yang memiliki agama dan akhlak yang bagus. Karena laki-laki yang baik agama dan akhlaqnya, dapat memberikan peran dalam mencegah kerusakan, dan mafhum mukholafahnya (pemahaman sebaliknya) laki-laki tersebut dapat membawa kepada hal-hal yang baik.
Namun dalam urusan hati, seorang tetap diberikan kelonggaran dalam memilih calon pendampingnya. Dan tidak harus sesuai keinginan orang tua walaupun pilihan orang tua adalah orang yang baik akhlak dan agamanya. Sebagaimana kisah yang pernah dituturkan oleh Ibnu Abbas tentang seorang perempuan yang tidak cocok hatinya terhadap laki-laki yang merupakan suaminya sendiri, dan Nabi Shallalahu Alaihi wasallam memberikan kelonggaran untuk memilih berpisah dari suaminya.
Suatu ketika Jamilah datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam mengadukan suatu perkara tentang suaminya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ، إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الكُفْرَ
“Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qois, aku tidak mencela akhlak dan tidak juga agamanya. Akan tetapi yang aku takutkan adalah aku menjadi perempuan yang kufur nikmat”
Maka Rasulullah bertanya kepadanya:
فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟
“Apakah engkau bersedia mengembalikan ladang yang ia jadikan mahar dulu”
Maka Jamilah menjawab “iya” dia bersedia mengembalikan, dan Rasulullah pun memerintahkan kepada Tsabit bin Qois untuk menceraikan Jamilah. (HR. Bukhari no.5276)
Pada poin yang pertama ini jika seorang menolak calon pasangan yang dipilhkan orang tua, maka tidak termasuk durhaka. Tapi dalam penolakan tersebut jangan sampai membuat orang tua terbebani dengan kecemasan. Orang tua bisa jadi cemas jika calon yang diinginkan mereka adalah orang yang shaleh, tapi sang anak menolaknya dengan memilih calon yang memiliki kepribadian buruk baik agama dan akhlaknya.
Kedua, Jika calon yang dipilihkan orang tua adalah calon yang menurut mereka mapan ekonominya, atau keturunan bangsawan, atau tokoh yang berpengaruh tanpa melihat keualitas agama maupun akhlaqnya, maka tidak mengapa menolak pilihan tersebut. Karena agama dan akhlak yang baik itu aset paling berharga dalam berumah tangga. Ditambah sang anak tidak ada kecocokan sama sekali dengan calon pilihan tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Tidak dibenarkan bagi orang tua memaksa anak menikah dengan yang tidak diinginkannya. Seandainya sang anak menolak, maka hal itu tidak menjadikannya anak yang durhaka. Sebagaimana seorang yang tidak berselera memakan makanan yang tidak disukainya padahal dia mampu melakukaknnya demikian juga terhadap memilih pasangan bahkan lebih utama (memilih yang disukainya). Karena seorang yang memaksa anaknya memakan makanan yang tidak disukai dan menikahkan dengan yang tidak disukainya, termasuk memberikan perlakukan buruk selama dia melakukan hal yang dipaksakan tersebut”
Wallahu Ta’ala A`lam
Referensi: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/462163/
Distulis Oleh: Malki Hakim, S.H
Artikel: HamalatulQuran.Com