“Kalau sudah jatuh hati tapi tidak dituruti kemana hati berlabuh, ibarat tanah yang gersang sulit untuk hidup” ungkap sebagian pemuda dan pemudi.
Bisa jadi keinginan untuk menikahi perempuan yang sesuai kata hatinya tidak terealisasikan karena lamarannya tidak diterima atau tiba-tiba mendapat suatu pertimbangan yang pada akhirnya dia tidak melanjutkan menikahi perempuan yang diidam-idamkan. Salah satu pertimbangan yang sangat perlu difikirkan dengan baik adalah ketika jatuh hati terhadap perempuan non muslim dan dampak negatif apa yang bisa terjadi jika menikahinya nanti.
Satu-satunya pernikahan antar agama yang dibolehkan dalam Islam adalah pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani). Pendapat ulama yang membolehkan pernikahan ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu Wata`ala,
ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ مُحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِيٓ أَخۡدَانٖۗ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Maidah : 5)
Seiring berjalannya waktu, para ulama melihat adanya perubahan-perubahan negatif pada diri setiap muslim dan keluarganya setelah menikah dengan perempuan yahudi maupun nashrani. Oleh karenanya, sebagian ulama memandang dengan adanya perubahan-perubahan tersebut hukum menikah dengan perempuan yahudi maupun nashrani menjadi makruh bahkan haram seperti fatwa yang diterbitkan oleh MUI tahun 1980 yang diputuskan dalam munas II tahun 1400/1980 tentang perkawinan campuran.
Berangkat dari bolehnya menikahi perempuan dari kalangan ahli kitab, setiap muslim perlu memperhatikan dampak negatif yang bisa terjadi setelah menikah dengan salah satu dari mereka, di antaranya:
Pertama, kecintaan terhadap perempuan dapat merubah prinsip hidup seorang laki-laki.
Betapa banyak laki-laki yang terlalu cinta kepada perempuan hingga mau merelakan apa yang dimilikinya. Karena kecintaan yang terlalu dalam, seorang yang berakal bisa menjadi lemah akalnya, seorang yang berharta bisa sampai gulung tikar demi untuk pujaan hatinya, seorang dai bisa hilang kesolehannya, dan seorang pejabat bisa salah mengambil kebijakannya. Hal ini sangat membahayakan jika yang menjadi perempuan idamannya itu dari kalangan orang kafir.
Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta salah satu gubernurnya yang menikahi perempuan ahli kitab agar menceraikannya. Suatu ketika Umar bin Khatab mendapati kabar tentang banyaknya kaum muslimin menikahi perempuan ahli kitab setelah mereka berhasil menguasai wilayah Madain. Lalu beliau menulis surat kepada sahabat Hudzaifah yang pada saat itu diberi amanah oleh Umar untuk memimpin madain yang pada saat itu jumlah muslimah sudah banyak. Beliau mengatakan:
“Telah sampai kepadaku berita bahwasannya engkau menikahi perempuan dari penduduk madain dari kalangan ahli kitab, maka segera ceraikanlah dia.”
Maka Hudzaifah membalas surat dari umar tersebut dengan meminta kepastian hukum, beliau mengatakan: “Aku tidak mau melakukannya sampai engkau memberitahuku apakah perbuatanku itu halal atau haram? dan juga apa yang sebenarnya engkau inginkan dari perceraian itu wahai Amirul Mukminin?”
Umar menjawab: “Tidak..perbuatan itu halal, akan tetapi pada perempuan-perempuan itu ada keterpikatan tersendiri, jika kalian menikahi mereka maka mereka dapat mengalahkan perempuan-perempuan muslimah” (Ikhtiyaruz Zaujain Fiil Islam hlm. 21-22)
Pada kasus ini Umar bin Khatab tidak serta merta mengharamkan pernikahan dengan ahli kitab, akan tetapi umar paham bahwa bisa saja para sahabat terpengaruh dengan perempuan ahli kitab. Maka jangan sampai mereka yang punya posisi penting di kalangan kaum muslimin terpengaruh rayuan dari perempuan-perempuan itu, karena dikawatirkan akan berpengaruh terhadap agama mereka dan kaum muslimin.
Kedua, Subjektivitas keagamaan seorang ibu dapat mempengaruhi agama anak
Seorang yang sudah yakin dengan agamanya, umumnya akan memihak keyakinan yang dia anut. Sebab, orang yang sudah belajar tentang agamanya merasa yang dia anut adalah agama yang benar. Sehingga dia berkeyakinan jika tidak mengikuti agamanya akan terjerumus ke dalam kesengsaraan.
Seorang ibu yang begitu sayang terhadap anaknya sudah tentu tidak mau jika sang anak mendapat kesengsaraan karena tidak mengikuti agama yang dia anut. Hal itulah yang mendorongnya untuk berusaha mengarahkan anak ke jalan yang dia anut. Terlebih lagi kesempatan seorang ibu di rumah bersama anak lebih banyak dibandingkan sang ayah.
Sang anak yang di masa asuhan sang ibu tidak dapat kritis dengan ajaran ibunya, maka dengan mudah akan ikut mengarungi jalan yang ditempuh ibunya. Jika ibunya seorang Nashrani atau Yahudi, maka dengan keterbatasan akalnya, sang anak juga akan ikut ke agama yahudi ataupun nashrani.
Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam sudah mengantisipasi atas pengaruh orang tua terhadap berpindahnya keyakinan anak ke agama Nashrani dan Yahudi. Beliau bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Tidak satupun seorang anak dilahirkan kecuali dalam kondisi sesuai fitrahnya (islam), kemudian orang tuanyalah yang mengarahkan ia menjadi Yahudi atau Nashrani” (HR. Al-Bukhari no. 1358)
Wallahu A`lam Bisshowab
Distulis Oleh: Malki Hakim, S.H
Artikel: HamalatulQuran.Com