Berdzikir termasuk amalan yang paling afdhal dan berpahala. Berdzikir adalah amalan yang sangat dianjurkan dan disyariatkan. Berdzikir adalah amalan yang sering disebut dalam banyak ayat dan hadits sebagai ciri khas kaum beriman. Berdzikir termasuk ibadah yang paling utama. Oleh karena itu, ia harus memenuhi kaidah-kaidahnya agar bernilai ibadah dan berpahala.
Kaidah Utama Dalam Ibadah
Tauqif adalah kaidah utama yang musti diperhatikan dalam ibadah. Tauqif artinya kita beribadah sesuai dengan dalil; berpatokan pada konteks dalil; tidak menyelisihinya. Dalam artian yang lebih simpel, kita beribadah kepada Allah hanya berdasarkan dan berpatokan pada apa yang sudah disyariatkan-Nya saja.
Maka, segala jenis ibadah yang secara waktu, tempat, bilangan, dan tata cara sudah ada ketentuannya dari syariat, kita beribadah sesuai dengan ketentuan tersebut. Tidak memperluas konteksnya, apalagi sampai keluar konteks. Begitu pula sebaliknya, segala jenis ibadah yang secara waktu, tempat, bilangan, dan tata cara tidak ditentukan oleh syariat, bahkan syariat menganjurkan atau memerintahkannya secara mutlak, maka kita tidak boleh menentukan sendiri waktu, tempat, bilangan, dan tata cara beribadah tersebut. Kita harus melakukan ibadah ini sebagaimana yang disyariatkan. Biarkan ia tetap menjadi ibadah mutlak.
Contohnya, shalat Subuh 2 rakaat. Ibadah ini secara waktu, bilangan, dan tata cara sudah ada ketentuannya dalam syariat. Maka, kita harus menunaikannya sesuai dengan ketentuannya. Kita tidak boleh melakukan shalat Subuh, misalnya, 3 rakaat, di siang hari, atau bukan dengan tata cara shalat.
Contoh lain, membaca al-Quran. Anjuran atau perintah untuk membaca al-Quran bersifat mutlak, tidak ada ketentuan terkait waktu, tempat, bilangan, dan tata caranya. Maka, ketika membaca al-Quran, kita tidak boleh menetapkan waktu, tempat, bilangan, dan tata cara tertentu secara khusus. Biarkan ia tetap mutlak, bebas dan tidak terikat oleh ketentuan yang ditetapkan oleh selain Allah dan Rasul-Nya.
Begitulah kita memperlakukan semua jenis ibadah, termasuk Dzikir.
Apa Itu Dzikir Berjamaah?
Dzikir berjamaah adalah dzikir berkelompok yang dikomando oleh satu orang dan dengan satu suara, bahkan terkadang satu nada. Dalam pengertian yang lebih simpel, dzikir model ini mengharuskan lafazh dzikir diucapkan dengan suara keras secara serentak dan bersama-sama.
Apakah model dzikir yang seperti ini, boleh?
Mengingat bahwa secara umum perintah berdzikir bersifat mutlak, tidak ada ketentuan khusus terkait waktu, tempat, bilangan, dan tata cara, maka kita tidak boleh mengkhususkannya dengan waktu, tempat, dan tata cara tertentu.
Terlebih tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya melakukan dzikir berjamaah. Justru sebaliknya, ada riwayat yang berisi pengingkaran terhadap praktik dzikir berjamaah.
Disebutkan dalam Sunan Darimi no. 210 bahwa Ibnu Mas’ud mengingkari sekelompok orang yang bertakbir, bertahlil, dan bertasbih 100 kali secara serempak di bawah komondo satu orang sambil menunggu shalat wajib. Ketika ditegur oleh Ibnu Mas’ud, mereka menjawab,
مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ
“Kami hanya menginginkan kebaikan”
Ibnu Mas’ud pun menimpali,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak pernah bisa menggapainya”
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Ibnu Mas’ud menegur mereka dengan keras,
وَاللهِ الَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ لَقَدْ جِئْتُمْ بِبِدْعَةٍ ظُلْمًا، أَوْ لَقَدْ فَضَلْتُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِلْمًا
“Demi Allah! Sungguh! Secara zhalim, kalian berani berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam agama ini! Atau, jangan-jangan ilmu kalian lebih baik daripada ilmu sahabat Nabi?”
Mereka menimpali, “Tidak demikian. Kami hanya sekedar beristighfar, meminta ampun kepada Allah.”
Ibnu Mas’ud menjawab,
عَلَيْكُمْ بِالطَّرِيقِ فَالْزَمُوهُ، فَوَاللهِ لَئِنْ فَعَلْتُمْ لَقَدْ سَبَقْتُمْ سَبْقًا بَعِيدًا، وَلَئِنْ أَخَذْتُمْ يَمِينًا وَشِمَالًا لَتَضِلُّنَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Kalian wajib beragama sesuai dengan tuntunan yang ada; peganglah erat-erat! Demi Allah! Bila kalian tetap melakukan perbuatan itu, tentu kalian akan menjauh dari tuntunan agama ini sejauh-jauhnya. Bila kalian melakukan perbuatan yang tidak ada tuntunan, pasti kalian akan tersesat sejauh-jauhnya.” (HR. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 4/381).
Selain itu, hukum asal dzikir adalah dilakukan dengan suara pelan, cukup didengar diri sendiri. Adapun berdzikir dengan suara keras, maka harus ada alasan syar’i tersendiri, seperti ketika haji dan umroh. Az-Zarkasyi berkata, “Semua dzikir disunnahkan untuk diucapkan dengan suara pelan kecuali Talbiyah.”
Maka, dzikir berjamaah adalah amalan yang menyelisihi kaidah utama dalam beribadah. Sebab, ada tata cara yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, bahkan bisa jadi waktu, tempat, dan bilangannya juga.
Berkumpul Untuk Berdzikir
Yang dimaksud adalah sekelompok orang yang hadir secara bersamaan untuk melakukan suatu dzikir atau ibadah, semisal orang-orang yang menghadiri shalat Jum’at atau kajian.
Yang membedakan model ini dengan Dzikir berjamaah ialah tidak adanya komando dan suara koor/serempak. Yakni, masing-masing individu berdzikir secara mandiri dengan suara terpisah tanpa dikomando.
Berkumpul untuk berdzikir termasuk amalan yang disunnahkan. Diriwayatkan dari Muawiyah bin Abu Sufyan, bahwa Rasulullah pergi menemui sekelompok sahabat yang sedang berkumpul, lalu bertanya,
ما يجلسُكُم؟
“Apa yang membuat kalian duduk berkumpul di sini?”
Mereka menjawab, “Kami berkumpul di sini karena ingin berdzikir dan bertahmid kepada Allah atas nikmat Islam yang dianugerahkan dan diberikan kepada kami.”
Rasulullah menyahut,
أتاني جبريل فأخبرني أن الله يباهي بكم الملائكة
“Jibril datang mengabarkan kepadaku bahwa Allah membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat.” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa-i)
Dalam Majmu’ Fatawanya, Ibnu Taimiyah menuturkan, “Berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, menyimak bacaan al-Quran, dan berdoa termasuk amal shalih. Ini termasuk amalan utama yang mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk ibadah yang paling afdal. Hanya saja, perbuatan seperti ini hendaknya dilakukan jarang-jarang, baik terkait waktu maupun tempatnya. Kumpul-kumpul yang boleh diamalkan secara terus menerus sebagai sebuah kontinuitas hanyalah apa yang dituntunkan oleh Rasulullah, seperti: shalat lima waktu secara berjamaah, shalat Jum’at, shalat Ied, dan lainnya.
Walhasil, dzikir adalah amalan utama yang bernilai ibadah, dan oleh karena itu harus memenuhi kaidah dalam beribadah. Maka, model dzikir apa pun yang tidak selaras dengan kaidah-kaidah tersebut maka dihukumi sebagai dzikir yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat.
Begitu pula dengan dzikir berjamaah. Ada unsur-unsur yang tidak selaras dengan kaidah ibadah. Sebab, ada tata cara, dan bisa jadi bilangannya juga, yang keluar dari konteks aslinya; dari konteks syar’i ke konteks non-syar’i. Ada ketentuan yang ditetapkan pada waktu, tempat, bilangan, atau tata caranya namun bukan berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
Referensi:
- https://ar.islamway.net/fatwa/37521/
- https://www.islamweb.net/ar/fatwa/312697/
- https://fiqh.islamonline.net/%D8%B6%D9%88%D8%A7%D8%A8%D8%B7-%D8%A7%D9%84%D8%B0%D9%83%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D8%AC%D9%85%D8%A7%D8%B9%D9%8A/
Ditulis oleh: Dr. Ridho Abdillah, M.Ed