Sebagian orang berpendapat bahwa, mempelajari ilmu qiro’at baik sab’ah maupun ‘asyrohtidaklah begitu penting. Karena tidak mungkin akan kita ajarkan kepada masyarakat awam. Mereka lebih membutuhkan penjelasan seputar fiqh yang memang tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari.
Seorang teman di kampus kami (Univesitas Islam Madinah) bahkan pernah begitu getolnya menanamkam pemikiran tersebut, dengan tujuan agar kami ikut menaiki “gerbong” fakultas yang menjadi pilihannya. Tak ayal, banyak yang akhirnya terlena untuk berpindah haluan dari fakuktas al quran tercinta menuju fakultas lain. Bahkan, ada yang sudah melewati setengah perjalan bersama fakuktas ini akhirnya memilih memulai perjalanan dari awal menggunakan “gerbong” fakultas lain.
Tentu saja semua pendapat tersebut hanya sebatas spekulasi. Sebab banyak sekali faedah yang bisa diraup dengan mempelajari ilmu qiroat, diantaranya :
Pertama, Allah menurunkan alquran dalam 7 huruf yang berbeda, dan termasuk bagian darinya ialah qiroah sab’ah serta ‘asyroh. Maka barangsiapa yang mempelajari ilmu qiro’at dia akan menjadi salah satu diantara orang yang menjaga kitab-Nya.
Sebagaiaman dijelaskan oleh Syaikh Ibrohim Ar-Ruhaili hafidzohulloh dalam majlis beliau di masjid Nabawi, “Allah menjaga alquran hingga akhir zaman baik secara lafadz maupun makna, Dia menjaganya secara lafadz didalam dada para Ahli qiroat dan secara makna pada para ahli tafsir.
Kedua, saat kita mengetahui berbagai macam perbedaan, akan kita dapati bahwa setiap bacaan yang ada mempengaruhi makna dari ayat tersebut. Namun tidak pernah bertentangan satu dengan yang lain, melainkan saling melengkapi.
Hal ini merupakan mukjizat dari alquran itu sendiri yang membuat kita semakin takjub. Salah satu contohnya terdapat dalam surat albaqoroh diakhir ayat ke-74 :
وما الله بغافل عما تعملون
(Wamallahu bighoofilin ‘amma ta’maluun)
Maka pada qiroah kita (hafs) menggunakan kata ganti (dhomir) orang kedua; ta’malun = apa yang kalian kerjakan. Sedang pad
وما الله بغافل عما يعملون
a qiroah lain dibaca menggunakan dhomir orang ketiga; ya’malun = apa yang mereka kerjakan, sehingga dibaca :
وما الله بغافل عما يعملون
(Wamallahu bighoofilin ‘amma ya’maluun)
Pada qiro’at pertama yang dimaksud “kalian” adalah orang-orang yahudi yang berada di Madinah saat itu.
Sedang pada qiro’at yang kedua yang dimaksud “mereka” adalah kaum Bani Isroil terdahulu.
Saat kita menggabungkan dua makna tersebut akan kita dapati bahwasannya Allah ingin mengingatkan kaum yahudi yang terkenal ngeyel, bahwa Dia subhanahu wata’ala mengetahui seluruh tingkah laku kaum yahudi mulai dari nenek moyang mereka hingga sekarang dan seterusnya.
Maka ilmu qiroat secara umum amat penting untuk membantu dalam memahami tafsir alquran, bahkan salah seorang dosen tafsir di Universitas Islam Madinah pernah menuturkan,
“Mustahil seorang menjadi ahli tafsir tanpa memahami perbedaan qiroat.”
Ketiga, kita perlu menjelaskan secara umum pada masyarakat tentang adanya perbedaan bacaan antara satu qiroat yang biasa kita baca dengan yang lain, dan keduanya merupakan firman Allah ta’ala. Hal ini bertujuan agar jika orang tersebut mendengar bacaan qiroat yang lain, baik di dalam negeri maupun saat bepergian ke negeri lain, dia tidak akan serta merta menyalahkannnya.
Salah seorang teman pernah bercerita,
“Suatu ketika ada seorang laki-laki yang berasal dari daerah Maghrib (Maroko) berkunjung ke Madinah. Di kampung halamannya mereka biasa membaca al quran menggunakan qiroa’ah warsy. Sedangkan di Madinah para imam masjid membaca dengan qiro’ah hafs.
Maka setiap kali menghadiri sholat berjama’ah, ia selalu menyalahkan bacaan sang imam lantaran tidak menggunakan qiro’ah warsy. Bahkan saat membaca mushaf Alquran madinah, dia coret dengan dalih ada kesalahan dalam mushaf tersebut serta ingin membenarkannya. Hal ini disebabkan karena ketidak-tahuannya tentang adanya beberapa qiroat lain yang berbeda.”
Pernah pula ada seorang dai dalam sebuah majlis mengutip firman Allah ta’ala pada surat An-Nisa yang berbunyi :
(وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا)
“Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.” (Surat An-Nisa’ 43)
Setelah memaparkan perbedaan ulama seputar pembatal wudhu, apakah sekedar menyentuh wanita ataukah yang dimaksud dalam ayat adalah berhubungan suami istri, ia pun menjelaskan bahwa yang benar ialah pendapat yang kedua dengan dalih, “Kalau seandainya yang dimaksud hanya dengan menyentuh wanita bisa membatalkan wudhu, maka pasti Allah berfirman لمستم (lamastum) dengan huruf lam yang dibaca pendek. Namun Allah tidak berfirman demikian, melainkan لامستم (laamastum) dengan huruf lam yang dipanjangkan”.
Padahal ada qiroat lain yang membaca kalimat لمستم dengan pendek, yaitu qiroat Imam Hamzah dan Ali Al-Kisa’i yang termasuk dalam qiroat sab’ah.
Terlepas dari pendapat manakah yg lebih tepat (rojih), lihatlah bagaimana dai tersebut dengan berani -karena tidak mengetahui perbedaan qiroat- meniadakan salah satu firman Allah, karena sejatinya kedua bacaan tersebut merupakan firman Allah subhanahu wata’la yang diajarkan oleh Nabi kepada para sahabatnya.
Maka bagi siapa-pun yang berkesempatan untuk mempelajari ilmu qiroat bersyukurlah dan berdoalah pada Allah agar diberikan keistiqomahan.
Wallahu a’lam bishowab
***
Penulis : Afit Iqwanuddin
(Alumni PP Hamalatulqur’an Yogyakarta, yang saat ini sedang study S1 di Universitas Islam Madinah KSA, Fakultas Qur’an)
hamalatulquran.com