Di Sebagian pesantren atau masjid kadang bingung bagaimana solusi bila ada Al-Quran yang rusak, sobek atau (usang) tidak layak lagi dibaca yang disebabkan karena sudah termakan oleh usia dan sebab-sebab lainnya.
Muslim yang baik tentunya tahu bahwa kita wajib memuliakan dan mengagungkan Al-Quran dan dalam menangani adanya permasalahan semisal diatas tentunya kita butuh ilmu, sehingga kita tidak terjerumus ke dalam hal yang termasuk menghina dan merendahkan Al-Quran, merkipun itu dilakukan terhadap lembaran-lembaran yang sobek, tercecar atau rusak.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ * فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ * لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ * تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan, yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Waqi’ah: 77 – 80)
Ada beberapa cara agar kita tidak dianggap sebagai orang yang menghina atau tidak menghargai Al-Quran atau ayat-ayat Allah ta’ala ketika menghancurkan atau membuangnya. Yaitu:
Pertama, Ditanam atau dikubur di tempat yang jauh dari kunjungan orang-orang. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah dan madzhab Hanabiklah. Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
وأما المصحف العتيق و الذي تخرق وصار بحيث لا ينتفع به بالقراءة فيه، فإنه يدفن في مكان يصان فيه، كما أن كرامة بدن المؤمن دفنه في موضع يصان فيه
“Adapun mushaf using yang telah sober, tercecar sehingga tidak bisa dimanfaatkan lagi untuk dibaca, maka mushaf tersebut dikubur di tempat yang jauh dari kunjungan orang-orang (tidak sering dilewati orang). Sebagaimana diantara bentuk memuliakan badan seorang mukmin setelah meninggal adalah dengan menguburkan (demikian pula dengan Al-Quran). (Majmu Al-Fatawa 12/599)
Kedua, Dibakar dengan api, ini adalah pendapat madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyyah hal ini berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu ketika membakar mushaf-mushaf yang menyelisihi Mushaf Al-Imam, yaitu mushaf yang dijadikan pedoman bagi seluruh umat islam pada waktu itu agar manusia tidak disibukkan dnegan banyak perselisihan tulisan mushaf. Perbuatan Utsman ini tidaklah ditentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat dan seluruh umat, bahkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata: “Bila Utsman tidak melakukannya, maka akulah yang akan melakukannya (membakarnya)”. (Al-Mashahif, Ibnu Abi Daud hlm.68).
As-Suyuti rahimahullah berkata,“Membakar Al-Quran yang rusak itu tidak mengapa, sahabat Ustman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pernah membakar mushaf-mushaf yang di dalamnya masih terdapat ayat dan qiroat yang sejatinya telah di nashahk oleh syariat, dan tidak ada sahabat yang mengingkari perbuatan Utsman bin Affan tersebut. Dan Sebagian ula berpendapat bahwa membakar (mushaf robek atau rusak) lebih utama dibandingkan menucinya (sampai tinta dan lafahdznya hilang).”
Al-Halimi rahimahullah berpendapat dengan cara direndam dalam air hingga tinta-tintanya hilang, namun pendapat ini hanya diikuti oleh sedikit dari golongan ulama.
Bagi setiap pendapat di atas, baik dibakar atau dikubur keduanya memiliki sisi pendalilan yang cukup kuat oleh karena itu bagi setiap muslim tidak mengapa baginya untuk memilih salah satu dari keduanya insyaallah. Hanya saja membakar lebih utama karena adanya atsar dari sahabat terkait hal tersebut berbeda dengan dikubur dimana tidak ada atsar dari sahabat akan hak tersebut. Wallahu ta’ala alam
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Bila ada lembaran (rusak tidak bermanfaat) yang tertulis di atasnya ayat-ayat Al-Quran, basmalah, dzikir dan lafadz Allah maka wajib untuk dibakar atau dikubur.”
Wallahu a’lam
Referensi: Hilyatu Ahlil Quran fii Adabi Hamalatil Quranil Karim