Pada tulisan kali ini akan dipaparkan hal yang berkenaan dengan; tata cara puasa Syawal, Menggabungkan niat puasa, serta keyakinan-keyakinan yang menyangkut bulan Syawal.
TATA CARA PUASA SYAWAL
Boleh puasa Syawal secara berturut-turut maupuan tidak berturut-turut sesuai dengan apa yang mudah dan memungkinkan baginya. Maka jika ada yang berpuasa di akhir-akhir bulan tidak mengapa, terutama untuk orang yang kedatangan banyak tamu atau kumpul bersama keluarga di awal bulan.
Terdapat larangan berpuasa khusus di hari Sabtu sebagaimana dalam hadis,
لاَ تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ
“Janganlah berpuasa di hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan.”[1]
Akan tetapi diperbolehkan puasa pada hari Sabtu di bulan Syawal bukan karena mengkhususkan hari Sabtu namun karena dia menjalankan niat puasa Syawal.
Seorang dibolehkan memutus puasa sunah dengan uzur maupun tanpa uzur. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Tirmidzi
الصائمُ المتطوعُ أمينُ نفسِه ، إن شاء صام ، وإن شاء أَفْطَرَ
“Orang yang melakukan puasa sunah adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Jika dia mau dia bisa berpuasa, jika dia mau dia bisa tidak berpuasa.”[2]
Hadis ini juga menjadi dasar dibolehkannya puasa Syawal secara berurutan maupun tidak berurutan.
MENGGABUNGKAN NIAT PUASA
Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid berpendapat tidak diperbolehkan menggabungkan niat puasa Sunah dengan niat qada puasa wajib. Namun tidak menutup mata bahwa ada pendapat yang membolehkan dalam masalah ini. Namun hal tersebut berbeda jika menggabungkan niat antar puasa sunah.
Dinatara puasa sunah yang dituntunkan adalah; puasa tiga hari tiap bulan, puasa setiap Senin—Kamis, puasa Dawud dan puasa Syawal.
Syeikh Abdul Aziz ibn Baz serta Syeikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin berperndapat bolehnya menggabungkan niat antar puasa sunah. Seperti puasa ayyamul bidh, puasa Senin – Kamis dengan puasa sunah Syawal. Diharapkan orang yang melakukan ini mendapatkan dua pahala sekaligus.
Karena orang yang melakukan puasa Syawal bertepatan dengan hari Senin atau Kamis telah tepat dikatakan kepadanya ia puasa Syawal, Senin-Kamis dan puasa sunah tiga hari setiap bulan. Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, ‘Telah benar orang yang puasa enam hari di bulan Syawal dikatakan (pula) ia telah puasa sunah tiga hari tiap bulan.’
Syariat puasa sunah tiga hari setiap bulan[3] boleh dilakukan di hari manapun dan tidak diharuskan berurutan. Akan tetapi yang lebih utama dikerjakan pada pertengahan bulan yang lebih dikenal dengan istilah puasa ayyamul bidh[4].
KEYAKINAN TERKAIT BULAN SYAWAL
Beberapa keyakinan yang keliru dan telah tersebar di masyarakat kini maupun di masa lampau di negeri kita maupun di negeri lainnya, antara lain;
Pertama, orang yang berpuasa sunah pada sauatu tahun maka wajib baginya puasa di tahun-tahun berikutnya.
Kedua, siapa yang telah memulai puasa Syawal diharuskan melakukan secara berturut-turut dan tidak boleh putus.
Ketiga, mengkhususkan hari pada tujuh atau delapan Syawal sebagai perayaan. Sebagian kalangan merayakan hari tersebut sebagai kebahagiaan karena telah menyelesaikan puasa Syawal. Tidak dibolehkan menjadikan satu hari sebagai hari raya selain yang telah ditetapkan dalam syariat. Demikian pula tidak boleh melakukan syiar-syiar hari raya di hari-hari tersebut.
Keempat, adanya kesialan bagi orang yang menikah di bulan Syawal. Orang Arab memiliki keyakinan adanya kesialan menikah di bulan Syawal bahkan menuntut seorang istri menolak didatangi suami pada bulan Syawal sebagaimana unta betina setelah dibuahi menolak unta jantan dengan mengangkat ekornya.
Sebagian ulama menjelaskan terkait penamaan bulan Syawal diambil dari syalat bi dzanabiha – waktu ketika unta betina menaikkan ekornya (menolak unta jantan).
Kelima, siapa yang menikah diantara dua hari raya maka salah satunya akan meninggal dunia atau keduanya akan bercerai. Keyakinan ini tidak ada dasarnya bahkan mengaku-aku mengetahui masa depan padal tidak ada yang mengetahui masa depan serta hal ghaib kecuali Allah ta’ala.
Keyakinan seperti ini juga menodai iman dengan qada dan qadar serta termasuk tathoyyur – anggapan sial yang terlarang.
Bahkan dianjurkan menikah dan menikahkan pada bulan Syawal sebagaimana nabi shallallahu ‘alai wa sallam menikahi ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pada bulan Syawal[5]. Perbuatan nabi ini sebagai bentuk penolakan dan pengingkaran terhadap keyakinan orang jahiliyah.
Semoga Allah ta’ala menerima ibadah kita dan membantu kita untuk mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya dan bedibadah dengan baik untuk-Nya.
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayak kepada kita, memperbaiki hati, lisan serta perbuatan kita dan memudahkan kita untuk mengerjakan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa dengan nilai dan ganjaran yang besar.
Wallahu a’lam
Referensi: 21 Faidah fi Shiyam 6 Syawal karya Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid
[1] Hr. Abu Dawud no. 2421, Tirmidzi no. 744, Nasa’I no. 2762 dan Ibnu Majah no. 1726
[2] Hr. Ahmad no. 26894 dan Timidzi no. 732
[3] Hr. Bukhori no. 1979
[4] Hr. Tirmidzi no. 761 dan Nasa’I no. 2425
[5] Hr. Muslim no. 1423
Oleh: Fahmi Izuddin, S.Ag