Alhamdulillah washsholatu wasaalam ‘ala rosulillah wa’ ala âlihi washohbihi waman wâlâh, Amma ba’du.
Seringkali kita dapati sebagian orang merubah jalan hidup mereka karena sebuah tragedi yang terjadi. Hal tersebut bisa jadi merupaka tragedi yang besar seperti musibah yang menimpa atau mungkin suatu hal yang terlihat biasa namun mampu mengetuk pintu hati orang tersebut.
Pada artikel kali ini penulis akan menghadirkan beberapa kisah tentang perubahan seseorang karena kejadian yang mungkin sering dianggap “sepele”.
• Syaikh Mubarok Buwudzinah
Beliau merupakan salah seorang pakar ilmu qiroat yang berasal dari sebuah desa yang subur di belahan bumi Maghrib. Semangatnya yang tinggi dalam menimba ilmu qiroat berawal dari sebuah kejadian yang tak terduga.
Saat masih muda , beliau pernah berkunjung ke sebuah desa di pedalaman negri Maghrib. Tak terasa waktu untuk melaksanakan sholat Maghrib tiba, beliau segera melangkahkan kaki menuju masjid di desa tersebut. Tanpa diduga, beliau diminta untuk menjadi imam kala itu. Setelah membaca Al Fatihah, beliau segera melanjutkan dengan beberapa ayat Al-Quran. Saat itu beliau salah dalam membaca suatu ayat.
Selepas salam, imam tetap di masjid tersebut lantas melontarkan sebuah pertanyaan kepadanya:
“Nampaknya buah tin tumbuh subur di desa kalian”
Sebuah pertanyaan yang mungkin kita anggap biasa, namun tidak demikian dengan Syaikh Mubarok muda. Beliau paham betul bahwa kalimat tersebut merupakan sindiran yang ditujukan kepada beliau. Seakan-akan sang imam mengatakan bahwa penuntut ilmu di desa syaikh Mubarok hanya pandai makan buah-buahan namun tak pintar membaca Al-Quran. Sebab desa beliau memang terkenal dengan buah-buahan yang tumbuh subur.
Sindiran tersebut mampu mengobarkan semangat beliau untuk melakukan perjalanan jauh dalam rangka mempelajari Al-Quran serta ilmu qiroat. Hingga akhirnya beberapa tahun kemudian beliau berubah menjadi sosok ulama yang pandai dalam ilmu satu ini.
• Syaikh Ibnu Maryam
Saat masih muda beliau pernah mengunjungi sebuah halaqot Al-Quran di desanya. Setelah mengucapkan salam kepada Syaikh yang mengajar, terjadilah sebuah percakapan singkat.
“Siapa namamu?” tanya syaikh
“Saya biasa di panggil Ibnu Maryam oleh teman-temanku” jawabnya
“Nama ibumu -Maryam- , apakah dibaca dengan tafkhim atau tarqiq?”
Beliau yang kala itu masih muda dan belum belum mengetahui hal tersebut akhirnya terdiam saat mendengar pertanyaan itu.
Beliau akhirnya menjawab pertanyaan tersebut dengan melakukan perjalanan yang amat jauh dalam rangka menuntut ilmu dan tidak pulang kecuali setelah menguasai ilmu qiroat sab’ah dengan baik.
• Syaikh Ahmad Anjar
Diantara kisah menarik dalam mempelajari ilmu qiroat adalah kisah Syaikh Ahmad bin Ibrohim Al Bujirfawi atau yg lebih dikenal dengan julukan Syaikh Anjar. Beliau merupakan seorang Qori mutaakhirin yg berasal dari daerah Maghrib. Kisah hidup beliau sungguh sangat menginspirasi.
Diceritakan bahwa setelah selesai menghafalkan Al-Quran beliau segera menuju desa lain untuk mewarisi sanad berbagai qiroat. Sanad yg pertama kali beliau ambil adalah riwayat Qolun dari Imam Nafi’ sebagaimana lazimnya penuntut ilmu di kota tersebut.
Suatu hari beliau menyempatkan diri pulang ke kampung halaman dalam rangka melihat keadaan kedua orang tua. Saat memasuki masjid tempatnya belajar dahulu terlihat sekelompok anak yg sibuk menghafalkan Al-Quran dengan cara menuliskannya diatas papan. Sebuah keadaan yg dahulu telah beliau lalui.
Tanpa diduga, beliau diminta untuk ikut membantu mengoreksi tulisan para santri. Kebetulan saat itu mereka sedang mempelajari riwayat Warsy. Ditengah kegiatan tersebut terjadilah obrolan singkat dengan musyrif halaqot yg juga guru beliau saat masih belia.
“Sudah sampai mana kamu mengoreksinya?” tanya sang guru
“Sampai ayat : ومن لستم له برازقين ya syaikh”
“Bagaimana cara membaca kalimat برازقين yg tepat? apakah dengan tarqiq ataukah tafkhim?” tanya guru beliau dengan sedikit bercanda
Syaikh Anjar yg saat itu memang belum begitu memahami kaidah riwayat Warsy merasa malu lantaran tak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Dalam riwayat Warsy sendiri memang terdapat kaidah membaca huruf ro’ yg berharokat fathah dan dhommah dengan tarqiq pada keadaan2 tertentu.
Beliau pun bergegas pamit dengan semangat berkobar untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Beliau bahkan berjanji tidak akan pulang sebelum menguasai dengan baik ilmu qiroat baik sab’ah maupun ‘asyroh.
Ditengah perjalanan menuntut ilmu, beliau harus melewati daerah pegunungan dengan berjalan kaki. Saat itu terlihat keramaian di sebuah jalan yg cukup sempit. Setelah mendekat barulah diketahui bahwa terdapat ular cukup besar yg menghalangi para pejalan kaki untuk lewat.
Syaikh Anjar segera mengambil kayu hendak mengusir ular tersebut meskipun telah dilarang oleh sebagian orang lantaran khawatir akan keselamatan beliau.
Tanpa keraguan sedikitpun beliau langsung memukul ular tersebut sembari berkata :
“Pergilah engkau wahai ular, sesungguhnya racunmu tak lebih berbisa dari racun (kebodohanku) saat tak bisa menjawab kalimat : برازقين
Ya, kebodohan memang bisa dimisalkan sebagai racun dimana obat penawarnya adalah menuntut ilmu.
Dengan izin Allah ta’ala ular tersebut akhirnya pergi dan membuat para pejalan kaki bisa lewat dengan tenang termasuk Syaikh Anjar.
Bertahun-tahun berlalu, Syaikh Anjar berubah menjadi sosok ulama yg amat disegani ditempatnya. Semangat beliau dalam menuntut ilmu menurun kepada anak keturunan beliau hingga saat ini.
Inilah beberapa kisah tentang semangat dalam menuntut ilmu yg dilatarbelakangi oleh sebuah kejadian kecil yg mungkin sering dianggap biasa. Pernahkah hal serupa terjadi pada diri anda??
Referensi :
Qurro wa Qiroat, Abdul Hadi Hamitu
***
Ditulis oleh : Afit Iqwanudin, A.Md, Lc
(Alumni PP Hamalatulqur’an Yogyakarta, Mahasiswa Pascasarjana jurusan Ilmu Qiro’at, Fakultas Qur’an di Universitas Islam Madinah KSA)