Home Artikel Alquran Gugurnya Para Penghafal Al-Quran di Perang Yamamah

Gugurnya Para Penghafal Al-Quran di Perang Yamamah

16122
0

Gugurnya Para Penghafal Al-Quran di Perang Yamamah

Alhamdulillah washolatu wassalam ‘ala rosulillah, waba’du.

Kita merupakan generasi yang tumbuh dengan berbagai kemudahan dalam mengerjakan berbagai hal. Fasilitas yang hadir dalam genggaman mampu membantu kita dalam melakukan aktivitas sehari-hari, tak terkecuali dalam membaca Al-Quran.

Namun tahukah anda bahwa mushaf Al-Quran yang sekarang ada di dalam rumah atau bahkan dalam genggaman kita sejatinya telah melewati beberapa fase hingga akhirnya bisa dinikmati seperti saat ini?. Berbagai peristiwa penting dalam sejarah islam memiliki andil besar dalam prosesnya. Selain itu, segudang faedah juga siap untuk dinikmati saat kita menggalinya. Hal ini juga semakin menegaskan janji Allah ta’ala dalam firmanNya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

donatur-tetap

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya (Al-Hijr: 9)

Artikel kali ini merupakan kelanjutan dari tulisan kami sebelumnya yang berjudul: Sejarah Penulisan Al-Quran. Bagi anda yang belum membacanya silahkan klik link dibawah ini:
Sejarah Penulisan Al Quran

Peristiwa Perang Yamamah
Sebagian kaum muslimin mungkin hanya mengenal sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq rhodiyallohu ‘anhu sebagai sosok Khalifah pertama yang berhasil menyatukan kembali barisan kaum muslimin paska munculnya kaum murtaddin. Namun jika menelisik sejarah kepemimpinan beliau lebih mendalam, akan kita sadari bahwa sahabat terbaik ini telah membuat sebuah keputusan cerdas yang menjadi langkah awal penulisan Al-Quran dalam sebuah mushaf.

Kisah ini berawal saat kaum muslimin dihadapkan dengan segerombolan kelompok yang memilih murtad dari agama islam. Alih-alih tetap berada di jalan yang lurus, mereka justru memilih berpaling dari ajaran Nabi Muhammad sholllallohu ‘alaihi wasallam. Bahkan diantara mereka ada yang memilih untuk mendukung si nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab.

Menanggapai hal tersebut, Abu Bakar kemudian mengutus 11 batalion pasukan ke berbagai penjuru negri. Ikrimah bin Abi Jahal rhodiyallohu’ anhu ditunjuk sebagai panglima untuk memimpin pasukan ke daerah Yamamah, tempat Musailamah Al-Kadzab.

Peperangan berlangsung dengan amat sengit, kaum muslimin dilanda kesulitan yang amat berat. Disaat demikian, muncul seseorang yang mengobarkan kembali semangat jihad dengan sebuah teriakan:

يا أصحاب سورة البقرة، يا أهل القرآن زينوا القرآن بالفعال

“Wahai para penghafal surat Al-Baqoroh, wahai para penghafal Al-Quran, hiasilah Al-Quran dengan perbuatan kalian (jihad)”

Dengan izin Allah subhanahu wata’ala, kaum muslimin berhasil memukul mundur barisan musuh dan mengepung mereka. Peperangan berakhir dengan tewasnya Musailamah Al-Kadzab di tangan Wahsyi rhodiyallohu ‘anhu.

Jumlah korban dari barisan musuh mencapai belasan ribu. Sedangkan jumlah syuhada dari kaum muslimin sekitar 1200 orang. Satu hal yang perlu gita garis bawahi, banyak diantara pasukan yang gugur merupakan para penghafal Al-Quran.

Fakta diatas kemudian memunculkan kekhawatiran dalam diri Umar bin Khotob rhodiyallohu ‘anhu. Sang Al-faruq akhirnya menyampaikan usulan kepada Abu Bakar untuk menuliskan Al-Quran dalam lembaran-lembaran yang disatukan (shuhuf).

Saat pertama kali mendengar usulan tersebut, Abu bakar menolaknya dengan alasan bahwa Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam tak pernah memerintahkannya. Namun setelah Umar berulangkali membujuk, akhirnya Allah subhanahu wata’ala melapangkan dada Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.

Abu Bakar kemudian menunjuk Zaid bin Tsabit rhodiyallohu ‘anhu untuk memimpin proyek besar tersebut. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab Zaid merupakan sosok yang paling memenuhi kriteria untuk mengemban tugas penting ini, sebagaimana diungkapkan langsung oleh Abu Bakar:

إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ لَا نَتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ

“Sesungguhnya engkau (Zaid) adalah seorang pemuda yang cerdas, kami sama sekali tidak curiga sedikit pun padamu. Dan sungguh, kamulah yang telah menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, telusurilah Al Qur`an dan kumpulkanlah.” (HR Al-Bukhori)

Baca Juga: Serial Ahli Qiroat #3 : Zaid Bin Tsabit Sang Penulis Wahyu

Mendengar permintaan tersebut, Zaid merasa amat berat untuk melaksanakannya. Ia bahkan mengungkapkan:

فَوَ اللهِ، لَوْ كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآن

“Demi Allah sekiranya mereka memerintahkanku untuk memindahkan gunung, niscaya hal itu tidaklah lebih berat daripada apa yang mereka perintahkan padaku, yakni mendokumentasikan alquran.” (HR Bukhori)

Allah subhhanahu wata’ala akhirnya melapangkan dada Zaid untuk mengemban tugas tersebut. Ia bergegas mengumpulkan Al-Quran dari berbagai media yang dahulu digunakan untuk menuliskan wahyu di zaman Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam, seperti pelepah kurma, batu yang pipih dan kulit binatang. Disamping itu, ia juga memanfaatkan hafalan para sahabat Nabi rhodiyallohu ‘anhum ajma’in.

Mengapa Al-Quran tidak dikumpulkan dalam sebuah mushaf di zaman Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam?

Sebagaimana kami sampaikan sebelumnya, Al-Quran belum dikumpulkan dalam satu mushaf di zaman Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam. Para ulama menjelaskan beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, diantaranya ialah:

1. Al-Quran tidaklah turun secara sempurna kecuali menjelang wafatnya Nabi Muhammad shollalohu ‘alaihi wasallam. Oleh karenanya, tidak tepat jika mushaf sudah dituliskan saat Nabi masih hidup, sebab wahyu masih terus turun dan belum sempurna.

2. Selama Nabi masih hidup, akan ada kemungkinan terdapat ayat yang dimansukh (dihapuskan). Sehingga jika saat itu Al-Quran dituliskan dalam satu mushaf, justru akan menimbulkan kesulitan saat ada ayat yang dimansukh.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (AlHijr: 106)

Dua faktor diatas kemudian hilang seiring wafatnya Nabi Muhammad shollallohuu ‘alaihi wasallam. Sebab saat itu Al-Quran telah sempurna dan tak ada lagi kemungkinan adanya ayat yang dimansukh.

Artikel selanjutnya insyaAllah akan membahas seputar penulisan mushaf Al-Quran di zaman Khalifah Utsman bin Affan rhodiyallohu ‘anhu.

Referensi:
– Dalil Al-Hairon, Ibrohim Al-Marighni

***

Ditulis oleh: Afit Iqwanuddin, Lc. (Alumni PP Hamalatul Quran dan mahasiswa Pascasarjana Jurusan Ilmu Qiroat, fakultas ilmu Al Quran, Universitas Islam Madinah)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here