Bismillah…
Doa setelah azan, tidak asing di telinga kita. Setiap petang tiba, saat matahari beranjak kembali ke peraduannya, hampir semua stasiun TV Nasional menayangkan azan maghrib, disusul doa setelah azan. Coba pembaca sekalian perhatikan, hampir setiap doa azan yang ditayangkan, ditutup dengan kalimat “Innaka Laa Tukhliful Mii’aad”.
Tambahan kalimat inilah yang perlu dikaji.
Adapun kalimat doa sebelumnya, sudah tepat sesuai hadis shahih, alhamdulillah. Karena, beragama sangat tidak cukup hanya berkiblat kepada televisi. Meski televisi dianggap sebagai media yang paling digandrungi masyarakat Indonesia. Kita beragama berdasarkan dalil Al Quran dan Hadis yang shahih, dan tentu saja di atas bimbingan pemahaman para sahabat -semoga Allah meridhoi mereka-.
Menyoal Kalimat “Innaka Laa Tukhliful Mii’aad” Pada Doa Setelah Adzan
Nabi shallallahu alaih wasallam bersabda,
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ القَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الوَسِيلَةَ وَالفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barangsiapa yang berdoa tatkala mendengar seruan azan: Ya Allah, Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna dan salat yang tetap ditegakkan, karuniakanlah kepada Muhammad wasilah dan kemuliaan, serta tempatkanlah ia pada kedudukan yang telah Engkau janjikan.
Maka ia akan menerima syafa’atku hari kiamat.”
Takhrij
Hadis ini diriwayatkan oleh :
– Al Bukhari dan Ahmad bin Hanbal,
– Abu Dawud dari Ahmad bin Hanbal,
– Ibnu majah, dari Muhamad bin Abul Hasan, Adz Dzuhli dan Al Abbas bin Al Walid,
– Demikian juga Ibnu hibban meriwayatkan melalui jalur Adz Dzuhli,
– At Tirmidzi, dari Muhammad bin Sahl Al Baghdadi dan Ibrahim bin Yakub.
– An Nasai, dari Amr bin Manshur,
– Ibnu Khuzaimah, dari Musa bin Sahl ar Ramli,
– At Thahawi dan Ath Thabarani, dari Abu Zurah Ad Dimasyqi,
– At Thusi, melalui jalur Al Juzajani,
– Ibnu Abi Ashim, dari Muhammad bin Muslim bin Waarah,
– Sedangkan Al Baihaqi meriwayatkan melalui jalur Muhammad bin ‘Auf, dengan tambahan kalimat :
إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ المِيْعَادَ
(sesungguhnya Engkau tidak menyelisihi janji)
di akhir doa.
Semua perawi (yang tertulis tebal) menerima hadis tersebut dari (P) Ali bin Ayyasy, dari Syu’aib bin Abu Hamzah, dari Muhammad bin Al Munkadir, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, dari nabi shallallahu alaih wasallam.
Skema Sanad
Telaah Kritis Kalimat إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ المِيْعَادَ
Poros (P) jalur hadis adalah ‘Ali bin Ayyasy.
Bila kita cermati, maka dapat terlihat bahwa Muhamad bin ‘Auf adalah satu-satunya perawi yang menyebutkan tambahan
إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ المِيْعَادَ .
Padahal ada puluhan perawi yang menerima hadis ini dari Ali bin ‘Ayyasy.
Diantara mereka para ulama kredibel yang menguasai seluk beluk hadis, seperti; imam Ahmad dan imam Al Bukhari. Namun tak satu pun dari mereka yang menyebutkan tambahan tersebut.
Memang, Muhammad bin ‘Auf termasuk perawi kredibel dan penghafal hadis ulung. Tapi, apakah dalam situasi ini tambahan kalimat yang ia sebutkan bisa diterima?
Al Hafidz ibnu Hajar dalam an-Nukat memberikan sebuah kesimpulan dari pernyataan para ulama kritikus hadis untuk kasus seperti ini. Kata beliau,
فَحَاصِلُ كَلَاِم هَؤُلَاِء الأَئِمَّةِ أَنَّ الزِيَادَةَ إِنَّماَ تُقْبَلُ مِمَّنْ يَكُوْنُ حَافِظًا مُتْقِنًا حَيْثُ يَسْتَوِي مَعَ مَنْ زَادَ عَلَيْهِمْ فِي ذَلِكَ، فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ عَدَدًا مِنْهُ أَوْ كَانَ فِيْهِمْ مَنْ هُوَ أَحْفَظُ مِنْهُ أَوْ كَانَ غَيْرَ حَافِظٍ وَلَوْ كَانَ فِي الأَصْلِ صَدُوقًا فَإِنَّ زِيَادَتَهُ لَا تُقْبَلُ
“Kesimpulan dari pernyataan para imam tersebut, bahwa tambahan (kata/kalimat) dapat diterima dari seorang Perawi yang hafidz/penghafal hadis ulung, lagi mutqin/kuat hafalan. Dimana perawi tersebut (kualitas hafalannya) setingkat dengan perawi yang tidak menambahkan (kata).
Tetapi, jika mereka (yang tidak menambahkan kata) lebih unggul secara kuantitas, atau di Antara mereka ada yang kualitas hafalannya lebih bagus, atau si perawi yang menambahkan (kata) tadi bukan seorang hafidz, meskipun ia seorang yang jujur, maka tambahan tersebut tidak bisa diterima.”
Berdasarkan ketentuan di atas, maka tambahan إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ المِيْعَادَ dianggap lemah, bahkan masuk kategori syadz. Sebab, imam Ahmad, imam al-Bukhari dll, secara kualitas maupun kuantitas lebih unggul dari Muhammad bin ‘Auf.
Alasan inilah yang menjadikan Syekh Al Albani dalam Irwa al-Ghalil menghukumi syadz kalimat tambahan tersebut.
Katanya,
زِيَادَةُ: إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ المِيْعَادَ فِي آخِرِ الحَدِيْثِ عِنْدَ البَيْهَقِى. وَهِيَ شَاذَّةٌ لِأَنَّهَا لَمْ تَرِدْ فِي جَمِيْعِ طُرُقِ الحَدِيْثِ عَنْ عَلِي بْنِ عَيَّاشٍ، اللَّهُمَّ إِلَّا فِي رِوَايَةِ الكُشْمِيْنِى لِصَحِيْحِ البُخَارِي خِلَافًا لِغَيْرِهِ فَهِيَ شَاذَّةٌ أَيْضًا لِمُخَالَفَتِهَا لِرِوَايَاتِ الآخَرِيْنَ لِلصَّحِيْحِ، وَكَأَنَّهُ لِذَلِكَ لَمْ يَلْتَفِتْ إِلَيْهَا الحَافِظُ، فَلَمْ يَذْكُرْهَا فِي الفَتْحِ عَلَى طَرِيْقَتِهِ فِي جَمْعِ الزِيَادَاتِ مِنْ طُرُقِ الحَدِيْثِ وَيُؤَيِّدُ ذَلِكَ أَنَّهَا لَمْ تَقَعْ فِي أَفْعَال العِبَادِ لِلْبُخَارِي وَالسَّنَدُ وَاحِدٌ.
“Tambahan إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ المِيْعَادَ di akhir teks riwayat Al Baihaqi adalah syadz. Karena tidak tercantum di seluruh jalur hadis dari Ali bin ‘Ayyasy. Kecuali dalam sahih Al Bukhari riwayat versi Al Kusymini (Al Kusymihani). Namun itu berbeda dari riwayat sahih al-Bukhari yang ada. Maka status riwayat itupun syadz, karena menyelisihi riwayat sahih Al Bukhari yang lainnya.
Boleh jadi, karena alasan ini Al Hafidz ibnu Hajar tidak menyinggungnya. Beliau tidak menyebutkan riwayat (Al Kusymihani) tersebut dalam fathul Bari, sebagaimana kebiasaan beliau dalam menggabungkan tambahan-tambahan (kata/kalimat) dari beberapa jalur hadis. Hal ini dikuatkan, bahwa tambahan tersebut tidak tercantum dalam karya Al Bukhari : khalqu af’al al-Ibad, padahal sanad hadisnya sama (dengan yang tercantum di kitab sahih nya).”
Kesimpulan
Tambahan إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ المِيْعَادَ sangat lemah, dan tidak termasuk dari bagian doa yang dianjurkan setelah adzan.
Wallahu a’lam.
________
Referensi :
Shahih al-Bukhari no. 614 dan 4719
Musnad Ahmad, jilid. 23, hal. 120, no. 14817
Sunan Abu Dawud, no. 529
Jami’ At Tirmidzi, no. 211
Sunan An Nasai, no. 680
Sunan ibnu Majah, no. 722
Sahih ibnu khuzaimah jilid. 1, hal. 249, no. 420
Sahih ibnu Hibban, jilid. 4, hal. 586, no. 1689
Mustakhraj Ath Thusi, jilid. 2, hal. 34
Syarh Ma’ani al Atsar, jilid. 1, hal. 146, no. 895
Musnad Asy Syamiyin, jilid. 4, hal. 149, no. 2972
As Sunnah, ibnu Abi Ashim, jilid. 2, hal. 395, no. 826
As Sunan Al Kubra, jilid. 1, hal. 603, no. 1933
An Nukat, hal. 498
irwa al-Ghalil jilid. 1, hal. 260-261
****
Ditulis oleh: Abu Hurairah, BA
(Beliau adalah mahasiswa magister (S2) Ilmu Hadis, di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia. Alumni PP. Hamalatulqur’an Yogyakarta, S1 fakultas Hadis Univ. Islam Madinah KSA)
Hamalatulquran.com