Home Artikel Adab Menasehati (Bag.5): Etika dalam Memberi Nasehat

Adab Menasehati (Bag.5): Etika dalam Memberi Nasehat

544
0

Dalam menasehati sering kali seseorang mendapatkan respon yang tidak nyaman, atau bahkan umpatan-umpatan dari orang yang dinaehati, hal tersebut dikarenakan nasehat yang di sampaikan boleh jadi serampangan, tanpa pandang bulu, dengan kemarahan dan semisalnya, sehingga sering kali kita mendapatkan respon negatif.

Dalam artikel kali ini akan kami lanjjtkan terkait etika dalam menasehati yang berikutnya,

Ketiga, Etika dalam menasehati yang jitu salah satunya adalah, memilih metode yang tepat tatkala hendak menasehati seseorang, tentunya caranya berbeda-beda sesuai kondisi orang yang akan dinasehati,

a. Hal ini dicontohkan oleh nabi Muhammad ﷺ tatkala beliau mentahdzir dari ‘nenek moyang’ Khawarij di hadapan para sahabat, dengan tujuan naseht kepada para sahabat beliau, agar tidak terpengaruh mencontoh maupun kagum terhadap amal ibadah mereka, yaitu Abdullah bin Dzi al-Khuwaishirah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنه سيخرج من ضئضئي هذا قوم يقرؤون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية

“Akan muncul dari keturunan orang ini; generasi yang rajin membaca al-Qur’an, namun bacaan mereka tidak melewati kerongkongan (tidak memahami apa yang mereka baca). Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah yang menancap di tubuh buruan lalu melesat keluar dari tubuhnya.” (HR. Ahmad (III/4-5). Para muhaqqiq Musnad (XVII/47) menshahihkan isnadnya. Hadits ini aslinya dalam Bukhari (no. 6933) dan Muslim (II/744 no. 1064))

donatur-tetap

b. Kondisi lain tatkal beliau nabi Muhammad ﷺ mendengar ada tiga orang yang bertanya kepad istri beliau tentang ibadah beliau,

ـ عن أنس رضي الله عنه: (أن نفراً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم سألوا أزواج النبي صلى الله عليه وسلم عن عمله في السر، فقال بعضهم: لا أتزوج النساء، وقال بعضهم: لا آكل اللحم، وقال بعضهم: لا أنام على فراش .. فحمد الله وأثنى عليه فقال: ما بال أقوام قالوا كذا وكذا ، لكني أصلي وأنام، وأصوم وأفطر، وأتزوج النساء، فمن رغب عن سنتي فليس مني) رواه مسلم.

Diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu bahwasanya ada sekelompok orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tentang amalan rahasia beliau. Sebagian dari mereka berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita. Sebagian lagi berkata, “Saya tidak akan makan daging.” Sebagian yang lain berkata, “Saya tidak akan tidur d atas kasur.” Kemudian (Rasulullah pun berkhutbah) dan memuji dan mengagungkan Allah. Beliau berkata, “Sungguh mengejutkanku (apa yang dikatakan oleh) sebagian kaum, mereka mengatakan ‘ini’ dan mengatakan ‘itu’. Akan tetapi sesungguhnya aku shalat dan juga tidur, aku puasa dan juga berbuka dan aku pun menikahi wanita-wanita. Barang siapa yang benci dengan sunnah-ku maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Muslim no. 3469)

Imam An-Nawawy berkata mengomentari hadis di atas, “Jika nabi tidak menyukai sesuatu, nabi menyebutkan ketidaksukaannya dan nabi tidak menunjuk orang yang melakukannya, dan ini dari keagungan akhlaknya nabi ﷺ , karena yang dituju adalah orang yang hadir pada saat khutbah dan semua orang yang mendengar sabda beliau tersebut, dan menjelekan kepada orang-orang yang disebutkan dalam hadits di depan umum tidak terjadi”.

c. Kondisi lain dikisahkan ada seorang sahabat yang bernama Mu’awiyah Ibnu Alhakam, tatkala beliau makmum dibelakang rosul ﷺ ada salah satu makmum yang bersin, Mu’âwiyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu mengatakan :

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ ، فَقُلْتُ : يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ ، قَالَ : فَقُلْتُ : وَاثَكْلَ أُمَّاهُ مَا لَكُمْ تَنْظُرُونَ إليَّ فِي الصَّلاةِ فَضَرَبُوا بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ ، فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ ، فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَانِي فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ ، مَا سَبَّنِي ، وَلا نَهَرَنِي ، وَلا شَتَمَنِي ، قَالَ : إِنَّ هَذِهِ الصَّلاةَ لا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلامِ النَّاسِ ، إِنَّمَا هُوَ التَّكْبِيرُ وَالتَّسْبِيحُ ، وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَالتَّحْمِيْدِ

Saya shalat bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ada seseorang yang bersin, maka saya mengatakan ‘Yarhamukallâh’. Orang-orangpun memandang ke saya. Saya mengatakan, ‘Aduh, mengapa kalian memandang ke saya ?’ Merekapun memukulkan tangan mereka ke paha, maka saya paham bahwa mereka ingin saya diam, dan sayapun diam. Setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil saya. Sungguh, –ayah ibu saya adalah tebusan beliau- saya tidak pernah melihat guru yang lebih baik dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengajar. Beliau tidak mengumpat, tidak memaki atau tidak membentak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Dalam shalat ini tidak boleh ada perbincangan manusia. Shalat adalah takbîr, tasbîh, membaca al-Qur`ân dan tahmîd’.” (HR. Muslim no. 537)

Keempat,Tanam jasa sebelum memberikan nasehat, yaitu dengan berbuat baik kepada orang yang hendak kita beri nasehat, tidaklah disyaratkan berupa materi, bisa dengan senyum salam sapa dan kebaikan-kebaikan yang lainnya, dan usaha ini adalah tanda keseriusan seseorang tatkala hendak memberikan nasehat, dicontohkan oleh nabi ﷺ dalam hadits berikut,

عن حكيم بن حِزَام رضي الله عنه قال: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم فأعطاني، ثم سَألته فأعطاني، ثم سألته فأعطاني، ثم قال: «يا حكيمُ، إن هذا المال خَضِرٌ حُلْوٌ، فمن أخذه بِسَخاوَة نفس بُورِك له فيه، ومن أخذه بإشراف نفس لم يُبَارَك له فيه، وكان كالذي يأكل ولا يَشَبَع، واليدُ العُليا خيرٌ من اليد السُفلى» قال حكيم: فقلت: يا رسول الله، والذي بعثك بالحق لا أرْزَأُ أحدًا بَعدك شيئاً حتى أفارق الدنيا، فكان أبو بكر رضي الله عنه يَدعو حكيماً ليُعطيه العَطَاءَ، فيأبى أن يقبل منه شيئاً، ثم إن عمر رضي الله عنه دعاه ليُعطيه فأبى أن يَقبله. فقال: يا معشر المسلمين، أُشهدكم على حكيم أني أعْرِض عليه حقه الذي قَسَمَه الله له في هذا الفَيْء فيَأبى أن يأخذه. فلم يَرْزَأْ حكيم أحدًا من الناس بعد النبي صلى الله عليه وسلم حتى تُوفي

Dari Ḥakīm bin Ḥizām -raḍiyallāhu ‘anhu- berkata, “Aku pernah meminta kepada Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, lalu beliau memberiku. Aku minta lagi pada beliau, beliau pun memberiku lagi. Aku meminta lagi, lalu beliau pun memberiku. Selanjutnya beliau bersabda, “Wahai Ḥakīm! Sesungguhnya harta ini sesuatu yang hijau dan manis. Siapa mengambilnya dengan jiwa kedermawanan, maka ia mendapatkan keberkahan dalam hartanya. Siapa mengambil harta dengan ketamakan, niscaya tidak akan mendapatkan keberkahan. Ia seperti orang yang makan tetapi tidak kenyang. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.” Ḥakīm berkata, Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak ingin lagi menerima apa pun dari orang sepeninggalmu nanti, sampai aku menutup mata.” Abu Bakar -raḍiyallāhu ‘anhu- pernah memanggil Ḥakīm untuk memberikan sesuatu padanya, tapi Ḥakīm menolak untuk menerima pemberian itu. Umar -raḍiyallāhu ‘anhu- pun pernah memanggilnya untuk memberinya sesuatu, tapi ia juga enggan menerimanya. Lantas Umar berkata, “Wahai kaum Muslimin! Aku mempersaksikan kalian semua atas diri Ḥakīm, bahwa saya memberikan kepadanya harta rampasan perang yang telah Allah bagi untuknya, tapi ia menolak untuk mengambil haknya.” Ḥakīm memang tidak pernah menerima suatu pemberian pun setelah Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- wafat hingga ia meninggal dunia.”  (Hadis sahih – Muttafaq ‘alaih).

Ini adalah bagian terakhir dari artikel seri adab memberi nasehat, semoga coretan ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca didunia maupun diakhirat kelak, jika ada salah dalam penulisan kami mohon maaf, Wallahu a’lam bis-showaab.

 

Refrensi : Syarh Bulughul Marom Kitaabul Jaami’ hadis pertama oleh Ustadz Abdulloh zaen, Lc. Ma

Ditulis Oleh: Badruz Zaman, Lc

Artikel: HamalatulQuran.Com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here