Bismillah..
Mengajarkan Al-Quran merupakan amanat yang mulia, sebuah tugas yang dulunya juga diemban oleh Malaikat Jibril ‘alaihissalam saat mengajarkannya kepada Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam. Pun begitu dengan Nabi Muhammad sendiri, beliau ajarkan kitabulloh kepada para sahabatnya. Mereka kemudian mengajarkannya kepada generasi yang datang kemudian, para tabi’in, dan begitu seterusnya hingga saat ini.
Seiring berjalannya waktu banyak diantara pengemban tugas mulia ini yang tak mengindahkan rambu-rambu yang termaktub dalam Al-Quran itu sendiri.
Mereka hanya berfokus untuk menguasai cara mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar tanpa mengaplikasikan apa yang mereka baca dalam kehidupan sehari-hari.
Prihatin dengan fakta menyedihkan yang terjadi, para ulama lantas berbondong-bondong menelurkan karya-karya indah yang menggambarkan sifat para penghafal dan pengajar Al-Quran dengan harapan bisa mengingatkan mereka terhadap para pendahulunya. Salah satu diantaranya ialah karya seorang ulama fenomenal, Ibnul Jazary rohimahulloh yang beliau beri judul :
“Munjid Al Muqriin wa Mursyid At Tholibin”.
Disini kami hanya ingin sedikit menukil apa yang telah digoreskan oleh beliau dalam karangannya ini yang berhubungan dengan sifat seorang Muqri atau pengajar Al-Quran :
[1] Ikhlas
Ikhlas amat dibutuhkan dalam setiap amalan termasuk dalam mengajarkan Al-Quran. Tanpanya sebuah amalan sholeh akan berubah menjadi bencana. Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah mengisahkan bahwa diantara golongan pertama yang akan merasakan pedihnya api neraka adalah mereka yang membaca Al-Quran demi mendapatkan pujian manusia (HR At Turmudzi No. 2382)
Dan diantara tanda keikhlasan seseorang dalam mengajarkan Al-Quran ialah ia tidak marah atau cemburu saat muridnya belajar kepada guru yang lain.
[2] Paham ilmu tajwid.
Ilmu tajwid merupakan bekal utama yang harus dimiliki oleh seorang pengajar Al-Quran. Bagaimana dia akan mengajar anak muridnya jika belum menguasai ilmu tajwid yang merupakan pondasi utama dalam membaca Al-Quran?
[3] Memahami Ilmu Waqf wal Ibtida.
Ilmu ini juga perlu dipahami dengan baik oleh seorang pengajar Al-Quran. Sebab seringkali seorang yang baru belajar Al-Quran akan salah berhenti pada suatu kalimat dan berakibat merubah makna suatu ayat.
Jika sang pengajar tidak memahami ilmu ini dengan baik ia akan menganggap benar dan tidak memperingatkan muridnya. Kesalahan yang dilakukan oleh anak didiknya tersebut akhirnya akan terus melekat hingga dewasa serta sulit untuk diperbaiki.
[4] Menghiasi diri dengan berbagai ilmu syar’i.
Menjadi pengajar Al-Quran bukan berarti boleh mengesampingkan ilmu-ilmu syar’i yang lain. Ia memiliki kewajiban untuk mempelajari berbagai ilmu agar bisa beribadah kepada Alla ta’ala dengan sebaik mungkin.
Mulai dari ilmu Akidah, Fiqh, Bahasa Arab serta berbagai cabang ilmu Al-Quran supaya ia bisa memahami dengan betul apa yang ia baca.
[5] Berakhlak mulia dan jauh dari perbuatan maksiat.
Maksiat merupakan musuh utama bagi penghafal Al-Quran yang harus senantiasa diperangi. Waki’ yang merupakan guru dari Imam Syafi’i rohimahumalloh pernah menasehatkan. Sesungguhnya ilmu merupakan cahaya, dan cahaya Allah tidak akan dimiliki oleh pecandu maksiat”
[6] Memiliki sifat zuhud dan menjauhi pakaian yang tidak pantas.
Termasuk didalamnya ialah menjauhi gaya dan model rambut yang tidak baik dan menurunkan wibawa seorang guru dihadapan para muridnya. Sebab selain mengajarkan ilmu ia juga memiliki kewajiban untuk mengajarkan adab mulia kepada mereka. Ia harus sadar bahwa dirinya akan menjadi uswah bagi para muridnya.
[7] Hiasi diri dengan tawadhu’ serta buang jauh-jauh sifat ghibah dan meremehkan orang lain.
Sebagaimana peribahasa “Jadilah seperti padi yang semakin berisi semakin merunduk”. Oleh karenanya, jangan sampai ia merasa lebih baik dari orang lain serta bangga terhadap dirinya, sebab ini merupakan penyakit berbahaya yang akan mengotori hati dan membuatnya selalu dihantui rasa kecewa.
[8] Saat mengajarkan Al-Quran hendaknya senantiasa dalam keadaan suci, menghadap kiblat dan fokus.
Tidak memalingkan pandangan ke kanan dan kiri saat mengajar akan membuat murid merasa diawasi dan diperhatikan. Berbeda halnya jika ia justru mengobrol atau bahkan sibuk memainkan gadget yang ada ditangannya.
[9] Meluaskan tempathalaqot.
Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
“خير المجالس أوسعها”
“Sebaik-baik majlis adalah yang paling luas”
(HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Bani)
[10] Mendahulukan murid yg datang pertama.
Kecuali jika murid tersebut berkenan apabila murid yang datang belakangan mengambil jatah antriannya.
Inilah beberapa sifat seorang Muqri yang dipaparkan oleh Ibnul Jazari rohimahulloh dalam karya tulisnya.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan langkah kita dalam mempelajari dan mengajarkan kitab-Nya.
Ditulis oleh : Afit Iqwanudin, A.Md
(Alumni PP Hamalatulqur’an Yogyakarta, mahasiswa Pascasarjana jurusan Ilmu Qiro’at, Fakultas Qur’an di Universitas Islam Madinah KSA)
Hamalatulquran.com
***
Mari bergabung menanam saham Jariyah dalam pembangunan PP Tahfidz Hamalatul Qur’an, Sanden, Bantul.
Klik gambar :