Penyebutan mahar pada saat akad nikah menjadi bagian yang sering terdengar dikalangan masyarakat. Penyebutannya membuat masyarakat semakin yakin akan keseriusan dan komitmen laki-laki dalam menafkahi istri kedepannya. Sehingga ketika kalimat ijab qobul berakhir, masyarakat akan memberikan tanggapan “SAH” dengan penuh antusias.
Berangkat dari penyebutan mahar pada saat ijab qobul yang sering terdengar di Masyarakat, Bagaimana hukumnya bila tidak menyebut mahar pada saat itu?
Para ulama membagi bentuk tidak adanya mahar dalam nikah. mereka membagi dengan dua bentuk:
Pertama, Tafwidhul Budh`i yaitu seorang wali yang menikahkan putrinya tanpa ada mahar. Sebagai contoh seorang wali mengatakan “Aku menikahkan anakku dengan engkau” kemudian pengantin laki-laki menjawab “saya terima” tanpa penyebutan mahar sama sekali.
Kedua, Tafwidhul Mahri yaitu pada saat ijab qobul disebutkan adanya mahar tapi tidak disertai jumlahnya. Seperti perkataan pengantin laki-laki kepada wali pengantin perempuan “Saya akan memberikan mahar sesuai yang engkau inginkan” atau seperti perkataan wali pengantin perempuan kepada pengantin laki-laki “Berilah mahar sesuai yang engkau ingin berikan” dan yang semisalnya.
Dengan adanya bentuk ijab qobul seperti di atas dan pengantin perempuan tidak mendapat kepastian mahar maka pengantin perempuan akan mendapat mahrul mitsli. Sehingga Mahrul mitsl ini menjadi hak pengantin perempuan.
Para ulama tidak menjadikan penyebutan mahar dalam akad sebagai syarat sah nikah sehingga akad nikah yang sudah terlaksana tanpa adanya penyebutan mahar tetap dihukumi sah. Ibnu Qudamah Rahimahullohu Ta`ala mengatakan : “Nikah tetap sah walaupun tanpa disebutkan maharnya menurut pendapat mayoritas para ulama. Yang menjadi dalil akan hal ini adalah firman Allah Subhanahu Wata`ala:
لَّا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِن طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمۡ تَمَسُّوهُنَّ أَوۡ تَفۡرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya”.
Dalil berikutnya adalah riwayat yang dibawakan oleh ibnu mas`ud ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi perempuan yang dia belum ditentukan maharnya dan belum mencampurinya sampai dia meninggal. Maka ibnu mas`ud mengatakan “perempuan tersebut mendapat mahar seperti mahar yang didapat saudari-saudarinya tanpa pengurangan dan tidak berlebih-lebihan, berlaku juga baginya `iddah dan waris”.
Mendengar apa yang disampaikan oleh Ibnu Mas`ud, sahabat Ma`qil bin Sinan langsung berdiri dan berkata: “Rasulullah Shallallohu Alaihi Wasallam pernah memberikan keputusan tentang mahar mitsil yang didapat oleh Barwa` binti Wasyiq sama seperti yang telah engkau putuskan”. Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Dia berkata: “Hadis ini hasan shohih”.
Penentuan Mahar Mitsil
Penentuan mahar mitsil oleh pengadilan yang tujuannya adalah supaya terhindar dari persengketaan. Akan tetapi kalau dari kedua belah pihak saling setuju terkait jumlah mahar mitsil, maka tidak perlu pergi ke pengadilan. Hal ini pernah disampaikan oleh syaikh Utsaimin rohimahullohu ta`ala ketika memberikan penjelasan terkait hal ini. Dalam kitabnya beliau mengatakan :
“Jika kedua belah pihak yang bersepakat tentang ketentuan jumlah mahar mitsil maka tidak perlu menyerahkan masalah mereka kepada hakim karena jika sudah bersepakat disitulah letak kebenarannya”.
Dengan adanya mahar mitsil yang diterima oleh sang istri setelah suami meninggal menunjukkan bahwa tanpa adanya penyebutan mahar di akad nikah hukum nikahnya tetap sah. Sehingga sang perempuan tetap mendapat hak maharnya karena setatusnya sebagai istri. Adapun mahar yang tidak disebutkan tersebut akan diterima oleh istri dengan jumlah yang disepakati oleh pihak suami dan istri jika tidak maka yang berwenang menentukan adalah hakim.
Sumber: https://islamqa.info
Ditulis Oleh: Malki Hakum, S.H