Dalam bahasa Arab kata syawal diambil dari kata شال yang berarti ekor unta yang naik atau diangkat, dan pada bulan ini orang-orang jahiliyyah zaman dahulu menangkat atau menggantungkan senjata-senjata mereka agar tidak melakukan peperangan. Maka sejatinya pada bulan ini setiap muslim harus meninggikan dan meningkatkan kembali semangat ibadahnya dibandingkan sebelum-sebelumnya.
Oleh karenanya pula pada bulan syawal ini kita dianjurkan untuk puasa selama 6 hari sebagaimana Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh”. (Riwayat Muslim no. 1164).
Apa Keutamaan Puasa 6 Hari Di Bulan Syawal?
1. Puasa tersebut setara dengan puasa satu tahun.
Yang demikian itu terjadi karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipatnya, sehingga puasa Ramadhan setara dengan sepuluh bulan, dan enam hari setara dengan dua bulan. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat Tsauban –radhiyallahu `anhu dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan maka satu bulan setara pahalanya seperti sepuluh bulan, dan (bila ditambah lagi) puasa enam hari setelah idul fitri maka dengan itu menjadi sempurna satu tahun”. (HR. Ahmad 5/280)
Mengapa Puasa Ramadhan ditambah puasa 6 hari di bulan Syawal pahalanya setara dengan setahun?
Karena puasa 1 bulan Ramadhan adalah 30 hari yang bila dilipatgandakan pahalanya 10 kali lipat maka sama dengan puasa 300 hari, sedangkan puasa 6 hari di bulan Syawal yang bila dilipatgandakan pahalanya 10 kali lipat maka sama dengan puasa 60 hari, sehingga jika digabungkan kedua jenis puasa tersebut menjadilah puasa 360 hari alias satu tahun. Hal ini karena Allah berfirman:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya”. (QS. Al-An`am: 160).
Ini merupakan balasan paling sedikitnya, dan bisa menjadi banyak tergantung niatnya, keikhlasannya, aqiidahnya, keimanannya.
2. Amalan sunnah bisa menambal kekurangan pada amalan wajib, demikian pula dalam ibadah puasa.
Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat. Allah -`Azza wa Jalla- berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu: Lihatlah pada shalat hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun jika dalam shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman: Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah?. Jika hamba-Ku memiliki amalan sunnah, Allah berfirman: sempurnakanlah kekurangan yang ada pada amalan wajib dengan amalan sunnahnya. Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini”. (HR. Ibnu Majah no. 1426)
3. Ketaatan yang dilakukan seseorang adalah pertanda bahwa ketaatan sebelumnya merupakan amalan yang diterima oleh Allah.
Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Lathaif al-Ma’arif mengatakan: “sesungguhnya kembali berpuasa setelah berpuasa Ramadhan adalah pertanda diterimanya puasa Ramadhan, karena sesungguhnya Allah Ta`ala apabila menerima amalan seorang hamba niscaya Dia akan memberi taufiq untuk dapat mengerjakan amalan shalih lagi setelahnya. Sebagaimana para salaf bertutur: Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula sebaliknya, barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan”. ( Latha’iful Ma`arif hlm.388).
4. Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah setelah dimudahkan berpuasa Ramadhan.
Sesungguhnya puasa Ramadhan akan menjadikan sebab terampuninya dosa-dosa di masa lalu, sebagaimana sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa (di Bulan) Ramadhan (dalam kondisi) keimanan dan mengharapkan (pahala), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”. (HR. dan Muslim no. 760).
Dan tentu pengampunan dosa adalah sebuah nikmat yang besar yang wajib disyukuri, maka kembali berpuasa setelah Ramadhan (6 hari di bulan Syawal) merupakan bentuk bersyukur atas nikmat ini, tidak ada nikmat yang lebih agung disbanding diampuninya dosa-dosa. Bahkan Nabi sampai bengkak-bengkak kedua kaki beliau, dan ketika ditanyakan kepada beliau: apakah engkau masih melakukan ini semua padahal Allah telah mengampunimu dosa-dosamu yang telah lalu maupun yang akan datang? Beliau justru menjawab:
أَفَلَا أَكُونَ عَبْدًا شَكُوراً
“Tidakkah aku pantas menjadi hamba yang bersyukur??”. (HR. Muslim no. 2820).
Kemudian, di antara contoh bentuk syukur adalah dengan berdzikir kepada Allah, bukankah Allah Ta`ala memerintahkan untuk bersyukur atas nikmat puasa Ramadhan dengan cara menampakkan dzikir (takbir mengagungkan Allah di akhir Ramadhan), dan dengan sejenisnya sebagai wujud syukur? Allah berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah: 185).
Kesyukuran tersebut karena seorang hamba telah diberi taufiq oleh Allah untuk berpuasa Ramadhan, dan telah ditolong oleh Allah untuk menunaikannya, dan mendapat ampunan Allah karenanya, maka hendaknya ia berpuasa (6 hari di bulan Syawal) sebagai balasannya (bentuk syukurnya).
5. Kembalinya seseorang untuk berpuasa (6 hari di bulan Syawal) setelah Idul Fitri adalah pertanda seseorang memiliki semangat dalam berpuasa.
Sesungguhnya suatu amalan yang seorang hamba terus mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan tersebut di bulan Ramadhan mestinya tidak menjadi mandeg dengan berlalunya Ramadhan, bahkan mestinya ia tetap dikerjakan setelah Ramadhan selama masih hidup.
Karena banyak manusia yang yang justru senang dengan berhentinya bulan Ramadhan karena merasa terbebani dengannya, bosan karenanya, dan merasa penat di dalam hari-harinya. Siapa yang demikian perasaannya niscaya ia tidak akan segera berpuasa (6 hari di bulan Syawal).
Kembalinya seseorang untuk berpuasa (6 hari di bulan Syawal) setelah Idul Fitri adalah pertanda semangat seseorang memiliki semangat dalam berpuasa, dan pertanda bahwa ia tidak bosan dan tidak merasa berat dan tidak membenci amalan tersebut.
Bolehkah Puasa 6 Hari Di Bulan Syawal Sebelum Menyelesaikan Hutang Qhadha Ramadhan?
Sebaiknya menyelesaikan terlebih dahulu hutang qhadha’ puasa Ramadhan, karena hutang puasa Ramadhan hukumnya WAJIB untuk dibayar, sedangkan puasa sunnah hukumnya adalah sunnah, maka yang wajib lebih dicintai oleh Allah untuk ditunaikan ketimbang yang sunnah, sebagaimana Rasulullah shallallahu `alahi wa sallam bersabda:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
(Allah berfirman dalam hadits qudsi): Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. (HR. Bukhari no. 6502).
Sebaiknya selesaikan terlebih dahulu hutang qhadha’ Ramadhan, karena itu pertanda seorang segera hamba membesakan dirinya dari kewajibannya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Apabila seorang wanita memiliki utang puasa Ramadhan, maka dia tidak boleh puasa syawal kecuali setelah selesai membayar (qadha) puasa Ramadhan. Berdasarkan sabda Nabi -shallallahu `alaihi wa sallam-: “Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan, kemudian dia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal…”. Sedangkan orang yang masih memiliki utang puasa ramadhan maka mereka belum disebut telah berpuasa ramadhan. Sehingga dia tidak mendapatkan pahala puasa 6 hari di bulan Syawal, kecuali setelah selesai qadha.
Kapan Waktu Utama Pelaksanaan Puasa 6 Hari di Bulan Syawal?
Dalam hal ini setidaknya ada 3 pandangan, yaitu:
1. Imam Asy Syafi’ berpendapat bahwa waktu utama pelaksanaan puasa syawal adalah berturut-turut di awal bulan.
2. Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak ada afdholiyyah (keutaman khusus) dalam waktu pelaksanaannya.
3. Said bin Zubair berpendapat sebaiknya puasa 3 hari dilakukan pada tanggal 13,14 dan 15 syawal serta 3 hari sisanya dilakukan sebelum atau sesudahnya.
Wallahu Ta’ala a’lam
Referensi:
- Lathaiful Ma’arif karya Ibnu Rajab al-hanbali
- Matan Abi Suja’ Tahqiq oleh Majid Al-Hamawi